Mohon tunggu...
Nurhawati
Nurhawati Mohon Tunggu... Administrasi - -

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serpihan Kehidupan

18 Desember 2023   14:20 Diperbarui: 18 Desember 2023   14:47 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari: https://pixabay.com/id/photos/tunawisma-jalan-seni-realitas-2223116/

Dinginnya angin malam sampai menusuk tulang. Pada saat itu malamnya Jakarta seperti tidak bersahabat dengan badan ini. Hal tersebut seperti kehidupan yang kejam yang dialami oleh Dina dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kondisi Rumah yang hanya sepetak gubuk reyot yang berada di pinggir kota. Hal tersebut terasa semakin sepi ketika langit kondisi gelap gulita. Maka saat itu hanya dapat diterangi oleh lampu remang-remang yang memancar dari jendela kaca tetangga yang menyinari sebagian kecil ruangan mungil tempat Dina tinggal bersama ibunya.

Di dalam sudut ruangan yang terdapat sebilah kayu tua yang melengkung. Dimana kayu tersebut menjadi saksi bisu dari serpihan kehidupan atas keluarga kecil Dina. Ibunya yang bernama Nyonya Ani merupakan perempuan yang gigih dalam berjuang untuk menyambung hidup sebagai buruh pabrik. Kaki-kaki kecilnya sudah terbiasa merasakan sakit dan lelah karena perjalanan hidup yang berat.

Dina merupakan gadis kecil saat ini sudah berada pada usia sepuluh tahun. Kondisi pertumbuhan yang terjadi oleh Dina berada di tengah-tengah kemiskinan yang tidak berkesudahan tanpa henti. Bahkan disetiap pagi Dina berserta ibunya dalam kondisi mata yang lelah harus dipaksa untuk bergerak dalam menumbuhkan setitik harapan saat matahari terbit. Kehidupan yang dijalani tersebut seolah-olah mendapatkan cobaan yang tidak berkesudahan bagi mereka.

Dari: https://pixabay.com/id/photos/tunawisma-jalan-seni-realitas-2223116/
Dari: https://pixabay.com/id/photos/tunawisma-jalan-seni-realitas-2223116/

Seiring malam berganti menjadi pagi dimana Dina mulai merangkak keluar dari kasur tipisnya. Matahari yang terbit sudah mulai menampakkan diri dari ufuk timur. Sehingga akan membawa semangat baru yang tidak pernah merasuki hati Dina. Seketika hari itu menjadi hari berbeda dari pada hari-hari sebelumnya. Kini Dina akan merasakan pahit getirnya hidup di jalanan kota besar.

Di trotoar yang kotor dan penuh dengan debu Dina bersama anak jalanan yang lain memulai perjuangannya. Walaupun masih tergolong anak kecil tetapi mereka tetap berusaha untuk mendapatkan uang sekeras mungkin dengan cara mengamen. Hasil mengamen tersebut digunakan untuk mencari sesuap nasi di antara hiruk-pikuk kehidupan metropolitan yang terus bergerak tanpa henti. Mata Dina yang polos menyembunyikan kepedihan dan kekecewaan yang semakin dalam.

Suara deru dari kendaraan bermotor ditambah dengan cibiran orang-orang kaya menjadi santapan sehari-hari mereka. Sesekali Dina menoleh ke arah jendela mobil mewah yang melintas. Saat itu ia merenungkan akan apa yang salah pada kehidupannya dan mengapa ini harus berjuang sejak usia belia hanya untuk bertahan hidup.

Tidak jauh dari lokasi Dina mengamen terdapat seseorang wanita tua yang duduk di pinggir jalan sambil membawa sekeranjang bunga mawar di depannya. Wanita tersebut dikenal oleh masyarakat dengan nama Mbok Sri. Mbok Sri merupakan seseorang penjual bunga yang sama-sama hidup di pinggiran kota. Meskipun hidup dalam keterbatasan tetap saja selalu tersenyum dan menawarkan bunga dengan penuh kehangatan.

Suatu pagi Dina terdampar di depan sekeranjang bunga yang dimiliki oleh Mbok Sri. Matanya saat itu terlihat sangat sayu memandang indahnya bunga-bunga tersebut. Tanpa sengaja pada saat itu Dina bertemu dengan mata lembut Mbok Sri yang seolah-olah bisa membaca kepedihan dalam hati Dina.

Akhirnya pada saat itu Mbok Sri menghampiri Dina sambil menawarkan seikat mawar putih yang sangat cantik. “Bunga ini adalah simbol dari keindahan dan kebaikan” ujar Mbok Sri dengan suara lembut “Meskipun kehidupan yang sedang dijalani sangatlah keras tetapi hati harus tetap bersinar seperti kelopak bunga yang tak pernah pudar warnanya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun