Mohon tunggu...
Ata Serani
Ata Serani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok di Pusaran Skandal Reklamasi, Suap Mohammad Sanusi dan Kasus Sumber Waras

7 April 2016   09:59 Diperbarui: 7 April 2016   10:23 2437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

BEGITULAH tabiat koruptor. Bersenang-senang sendirian, bersusah-susah inginnya bersama. Ketika tangan menerima upeti, menghambur senyum ceria, ketika ditangkap KPK, tangan yang sama mesti diborgol.

Meski paham bahwa KPK tidak pernah tidur, meski tahu bahwa posisi sebagai penyelenggara negara rawan terjerat korupsi, tetapi pemujaan terhadap uang telah mengaburkan mata dan nurani.

Satu kali menerima upeti dan lolos di rasa aman. Rasa was-was, mawas diri pun mulai menumpul. Terbukalah peluang kedua. Lancarrrrr. Tetapi kali ketiga, KPK pun menggebrak. Tangan pun diborgol. Segala atribut terhormat pun tanggal. Kemewahan yang dibangun di atas uang haram pun sirna. Segala keangkuhan, kesombongan dan kepongahan, rontok sesaat menyisakan wajah yang pucat.

Tangan pun mulai mengarah ke mana-mana, mulut pun komat-kamit menyebut nama-nama. Padahal ketika menerima upeti, penuh senyum dan ucapan ‘terima masih’.

Itulah koruptor. Semua koruptor pengecut. Panik ketika ditangkap KPK dan dalam upaya membersihkan diri mereka pun menyeret nama petinggi sampai tukang sapu. Nama yang tidak terkait pun dibawa-bawa, apalagi korupsi berjamaan terkait politisi.

Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi baru saja dicokok KPK. Saat ditangkap Sanusi mengantongi uang Rp1,1 miliar. Itu penerimaan kedua dari pengembang kenamaan. Penerimaan pertama sekitar Rp1 miliar, rupanya lolos dari pantauan KPK, atau dibiarkan KPK sampai transaksi berikutnya, hanya KPK yang tahu.

Mohammad Sanusi ditangkap KPK pekan lalu (Kamis, 31/3) bersama karyawan PT Agung Podomoro Land (APL) Trinanda Prihantoro. Setelah itu Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaya menyerahkan diri. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka, dicegah ke luar negeri dan ditahan KPK. Satu nama lain yang diminta KPK untuk dicegah ke luar negeri adalah Sugianto Kusuma atau Aguan Sugianto, Chairman Agung Sedayu Group, sebuah perusahaan pengembang raksasa. Pengembang-pengembang raksasa itulah yang terlibat proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Politisi Partai Gerindra yang disebut Bendahara Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Nuri Shaden sebagai salah satu kader terbaik partainya.itu, tentu tak ingin menanggung sendirian. Mohammad Sanusi berjanji akan membuka semua yang terlibat. Dan seperti sudah diduga nama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan ditarik ke dalam pusaran kasus korupsi terkait upeti reklamasi Teluk Jakarta itu.

Sebuah nama mulai dimunculkan ke dalam skandal suap menyuap terhadap Mohammad Sanusi dalam reklamasi Teluk Jakarta itu. Dialah Sunny Tanuwidjaya. Pengacara Mohammad Sanusi, Krisna Murti mengatakan Sunny terlibat dalam penyuapan terhadap Sanusi. Penyebutan nama Sunny, apalagi mengatakannya sebagai ipar Ahok, tentu untuk mendekatkan Ahok pada skandal reklamasi yang melibatkan Sanusi.

Ahok pun berang dan menyebut pengacara Mohammad Sanusi itu ngarang. "Aku mana pernah pakai nama Tanuwidjaja. Bu Vero (istri Ahok, Veronica Tan) juga. Istri saya orang Medan, Sunny orang Jakarta. Ngarang-ngarang tuh," kata Ahok di Balai Kota Jakarta seperti dilaporkan Kompas.com. Selasa (5/4).

 Namun demikian, Ahok terus terang mengaku mengenal Sunny. Menurut Ahok, Sunny merupakan salah satu staf ahlinya. "Sunny itu enggak lebih dari anak magang. Dia ikut saya karena mau buat disertasi doktornya," ujar Ahok.

 Untuk memperkuat dugaan keterlibatan Sunny, entah dari mana sumbernya, dihembuskan kabar bahwa Sunny telah dicekal KPK. Namun Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati tegas membantah ada seseorang berinisial S yang diminta untuk dicegah ke luar negeri karena terkait kasus dugaan suap yang melibatkan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi.

Selain soal Sunny yang disebut sebagai ipar Ahok, ada pula opini lain yang dibentuk bahwa Gubernur DKI Jakarta tidak berhak mengeluarkan keputusan reklamasi Teluk Jakarta. Alasannya, reklamasi hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urutan logikanya adalah, jika sampai ada keputusan reklamasi oleh Gubernur DKI Jakarta berarti melanggar UU. Berarti pula ada kerja sama antara pemerintah Provinsi DKI dengan DPRD DKI untuk bersama-sama melanggar UU. Artinya lagi, suap tidak mungkin hanya terjadi di DPRD DKI karena usulan Raperda Reklamasi Teluk Jakarta itu berasal dari Pemprov DKI. Intinya suap menyuap terjadi juga di Pemprov DKI.

Diskusi lain yang menghadirkan para aktivis lingkungan, nelayan, masyarakat pesisir, semuanya menolak proyek reklamasi itu dengan argumen masing-masing. Nelayan merasa pendapatan mereka berkurang sejak reklamasi, aktivis mengatakan biota laut pada mati, dan tuduhan bahwa Pemprov DKI membiarkan pengurukan dan pembangunan terjadi di atas lahan reklamasi padahal Perda Reklamasi belum ada, malah berpotensi melanggar UU karena Gubernur DKI Jakarta tidak mempunyai kewenangan melakukan reklamasi.

Ketika tudingan begitu gencar mengarah ke Ahok bahwa Gubernur DKI Jakarta tidak berwenang melakukan reklamasi Teluk Jakarta, Ahok enteng saja menjawab bahwa sebaiknya hal itu ditanyakan ke Sekretariat Negara. Dia akan menjawab setelah Setneg menjelaskan soal ada atau tidaknya kewenangan Gubernur DKI Jakarta melakukan reklamasi di Teluk Jakarta.

Sekretaris Kabinet, Pramono Anung pun tanggap.  Proyek reklamasi, kata Pramono Anung di Istana Presiden pada Rabu (6/4), pada dasarnya merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Namun, reklamasi Pantai Utara Jakarta memiliki kekhususan.

Melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 52 Tahun 1995, lanjut Pram, pemerintah pusat telah mendelegasikan wewenang reklamasi Jakarta kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

"Dalam Pasal 4 Kepres itu, wewenang dan tanggung jawab reklamasi Pantura Jakarta itu berada pada Gubernur DKI Jakarta," ujar Pramono di kantornya pada Rabu (6/4/2016).

Artinya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memiliki wewenang untuk melaksanakan reklamasi pantai utara Jakarta.

Skandal Reklamasi Teluk Jakarta itu mencuat saat DPRD DKI membahas Perda Reklamasi. Satu pasal yang krusial adalah soal tambahan kontribusi pengembang. Ahok bersikeras agar tambahan kontribusi itu sebesar 15% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan dari luas available area diberikan pengembang kepada Pemprov DKI. Namun DPRD DKI meminta agar tambahan kontribusi itu hanya sebesar 5%. Selain itu DPRD juga meminta agar soal tambahan kontribusi diatur dalam Pergub dan tidak perlu dalam Perda. Ahok menolak keras usul itu. Menurut dia, itu berpotensi terjadi tindak pidana.

Mestinya, jika DPRD DKI memihak rakyat maka harus menaikan kewajiban pengembang kepada rakyat Jakarta dengan menyetujui pasal tambahan kontribusi sebesar 15%, bukan mengecilkan kewajiban pengembang menjadi 5%.

Proyek reklamasi Teluk Jakarta itu memang mega proyek. Yang direklamasi adalah 17 pulau di Teluk Jakarta.  Setiap pengembang pulau reklamasi, harus menyisakan lahan sebesar 20% untuk dijadikan ruang terbuka hijau publik sebagai bentuk kewajiban. Kemudian, pengembang juga harus memberikan lahan 5% kepada DKI untuk fasilitas umum dan sosial seperti jalan dan rusun.

Pasal tambahan kontribusi kepada pengembang itu dilakukan sebagai bentuk subsidi silang antara pengembang dengan warga sekitar yang nantinya akan terkena dampak reklamasi.

Menurut Ahok, di saat awal pembicaraan memang tidak ada penolakan dari sejumlah pengembang terkait angka yang ditawarkan Pemprov DKI. "Selama ini pengembang iya-iya saja. Tapi kalau mereka (pengembang) nego dengan DPRD, ini pengkhianatan," kata Ahok (Metrotvnews.com, 3/4).

Ahok sudah memutuskan menunda proyek reklamasi itu. Bahkan kalau perlu sampai hasil Pemilu 2019. Dan seluruh kegiatan di pulau reklamasi dihentikan serta akses menuju pulau reklamasi itu ditutup.

Itu namanya, main air basah, main api hangus. Ingin menyuap agar proyek lancar, aelah malah kena batunya. Proyek terbengkalai, diri sendiri harus masuk bui. Niat Mohammad Sanusi menjadi Gubernur DKI Jakarta pun mesti disimpan entah sampai kapan.

Seperti umumnya kasus korupsi, apalagi korupsi kebijakan, tentu tak mungkin hanya solo karir, pemain tunggal. Korupsi selalu dilakukan berjamaah. Mohammad Sanusi, kader Gerindra itu sudah berjanji akan membuka siapa saja yang terlibat kasus Reklamasi Teluk Jakarta. Ahok pun sudah menyatakan siap diperiksa KPK terkait kasus itu. Mudah ditebak akan terjadi ‘cuci tangan’ masal.

KPK tentu tak perlu diajari untuk menelisik kasus itu. Yang sok pintar mengajar KPK, malah ketangkap. Yang sok keras berteriak menantang KPK, malah diborgol. Lalu siapa menyusul Mohammad Sanusi? Siapa yang berdebar-debar?.

Seorang kawan mengirim WA. ‘’Bro, apa benar kasus Rumah Sakit Sumber Waras yang didorong-dorong DPRD DKI ke KPK itu, untuk mengalihkan kasus Reklamasi Teluk Jakarta?’’.

Setahu saya KPK tak akan mungkin didorong-dorong, direkayasa, atau didikte untuk memeriksa atau tidak memeriksa sebuah kasus korupsi. KPK memiliki independensi penuh. Pedoman mereka hanya satu yakni alat bukti. Jika dua alat bukti terpenuhi, tak perduli itu menteri, anggota DPR, gubernur, bupati, anggota DPRD, pengusaha kakap, akan langsung diperiksa. Saatnya pasti tiba.

Karena itu mari menunggu kerja KPK. Dalam satu dua bulan ini rasanya akan semakin banyak nama yang mencuat dari permukaan pulau reklamasi. Akan semakin banyak orang (ogah sebut tokoh) yang mengenakan rompi oranye. Mereka tentu bukan sembarang orang, tetapi orang-orang terhormat yang suka berteriak lantang. Seperti yang dikatakan Ruhut Sitompul: Sebelas-duabelas, em-te-em (MTM), maling teriak maling.*

Ata Serani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun