Mohon tunggu...
Ata Serani
Ata Serani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membawa Golkar ke Tiang Gantung

8 Januari 2016   08:14 Diperbarui: 8 Januari 2016   08:38 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Ata Serani 

RAPAT Kosultasi Partai Golkar di Bali pada 4-5 Januari 2016 yang dihadiri seluruh DPD 1 Partai Golkar merekomendasikan delapan hal. Salah satunya (butir 6) berbunyi: Merekomendasikan kepada DPP Partai Golkar agar mengawali langkah-langkah politik dan hukum supaya Kemenhumkam mengesahkan hasil Munas Bali.

Rekomendasi itu, menurut Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Partai Golkar versi Munas Bali, Akbar Tandjung, membuktikan adanya pengakuan bahwa DPP Golkar hasil Munas Bali memang tidak sah.

Pernyataan Akbar tidak berlebihan. Menurut UU Partai Politik, kepengurusan partai politik ditetapkan dengan keputusan Menteri dalam hal itu Menteri Hukum dan HAM. Sedangkan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Bali tidak pernah ditetapkan oleh Menkumham. Menkumham justru menetakan DPP Golkar hasil Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono.

Keputusan Menkumham yang menetapkan DPP Golkar hasil Munas Jakarta itulah kemudian disengketakan oleh Golkar hasil Munas Bali. Keputusan Kasasi Mahkamah Agung memerintahkan Menkumham mencabut/membatalkan keputusan penetapan kepengurusan Golkar hasil Munas Jakarta, namun tidak ada perintah bagi Menkumham untuk mengesahkan Golkar hasil Munas Bali.

Sejak awal memang Golkar hasil Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie tidak mengantongi satu pun dokumen pengesahan dari Menkumham. Namun anehnya, pimpinan DPR lebih mempercayai dan menerima surat Aburizal Bakrie yang menetapkan Ade Komaruddin sebagai Ketua Fraksi Golkar DPR dan Bambang Soesatyo sebagai Sekretaris Fraksi Golkar DPR. Pimpinan DPR saat itu, Setya Novanto mengabaikan surat Agung Laksono yang menetapkan Ketua Fraksi Golkar DPR adalah Agus Gumiwang Kartasmita dan Sekretaris Fraksi Golkar adalah Zainuddin Amali. Padahal Agung Laksono mengantongi legalitas formal dari Menkumham.

Kini kasus itu berulang. Setelah Setya Novanto mundur sebagai Ketua DPR karena tersandung kasus ‘Papa Minta Saham Freeport’, kubu Aburizal Bakrie yang tidak memiliki legalitas formal dari pemerintah mengajukan Ade Komarudin sebagai Ketua DPR menggantikan Novanto, sedangkan Novanto sendiri kembali menjadi Ketua Fraksi Golkar menggantikan Ade Komaruddin. Pergantian itu diusulkan oleh DPP Golkar yang belum mendapatkan pengesahan dari pemerintah.

Novanto langsung membuat gebrakan. Dia menggantikan Bambang Soesatyo sebagai Sekretaris Fraksi Golkar dengan Aziz Sjamsoeddin dan Ahmadi Noor Supit yang menjabat Ketua Banggar dengan Kahar Muzakir.

Noor Supit mengatakan pergantian dirinya itu aneh karena Novanto diusulkan DPP Golkar yang belum mendapatkan pengesahan dari Menkumham. Namun Noor Supit tidak mempersoalkan, pengusulan Ade Komaruddin menjadi Ketua DPR juga sama anehnya karena diusulkan DPP Golkar yang juga belum mendapatkan pengesahan Menkumham.

Yang lebih mengherankan, baru sekarang elite Golkar membicarakan asas legalitas formal Partai Golkar. Selama satu tahun ini azas legalitas formal sama sekali tidak dihiraukan bahkan ditabrak begitu saja hanya karena merasa ada persekongkolan yang kuat di parlemen. Mereka tidak memikirkan dampak dari azas legalitas formal tersebut di kemudian hari. Dampak dari tiadanya azas legalitas formal DPP Golkar hasil Munas Bali namun menguasai DPR itu berakibat bagi tatanan ketatanegaraan kita.

Seluruh produk dari DPR satu periode yang lalu dengan menyertakan Fraksi Golkar yang diajukan partai yang tidak memiliki legalitas formal, akan berimplikasi sangat luas.

Sikap Pelaksana Tugas Ketua DPR Fadli Zon yang mengatakan masih menganggap pengajuan Ade Komaruddin sebagai Ketua DPR adalah sah, semakin membuat runyam. Fadli Zon beralasan, pencalonan Ade Komaruddin diajukan Fraksi Golkar yang sah karena dilakukan sebelum 31 Desember 2015.

Fadli Zon mestinya paham bahwa Ade Komaruddin bukanlah Ketua Fraksi Golkar versi hasil Munas Riau sehingga mempunyai limit masa bhakti pada 31 Desember 2015. Ade Komaruddin adalah kepanjangan tangan Partai Golkar hasil Munas Bali yang tidak memiliki legalitas formal hingga hari ini.

Pimpinan DPR harus bijak dan bersikap netral. Pimpinan DPR jangan memperlihatkan sikap berpihak tetapi sebaiknya menyerahkan kepada mekanisme internal Golkar untuk menyelesaikan masalah mereka. Jangan bermain mata dengan kubu Aburizal semata karena ingin menahan Aburizal agar tetap berada dalam gerbong Koalisi Merah Putih (KMP) setelah rakor Golkar di Bali pada 4-5 Januari 2016 menyatakan mendukung pemerintah. Sekali lagi pengabaian azas legalitas formal berimplikasi jauh ke masa depan yang bisa mengakibatkan seluruh produk perundangan-undangan menjadi cacat.

Pimpinan DPR harus menahan diri, tidak menjadi partisan yang memainkan politik belah bambu. Pimpinan DPR harus menjaga agar Ketua DPR tetap menjadi ‘jatah’ Golkar sepanjang UU MD3 belum diamandemen. Pimpinan DPR harus mencegah terjadinya ‘kocok ulang’ jika UU MD3 belum diubah. Tetapi sebaliknya pimpinan DPR juga tidak perlu ‘pasang badan’ menjadi bemper untuk menahan keinginan fraksi-fraksi yang menghendaki adanya revisi UU MD3, karena UU MD3 sudah berkali-kali direvisi hanya dalam tempo singkat untuk mengakomodasi berbagai tuntutan dan kepentingan DPR.

Kembali ke Golkar, seluruh elite Golkar harus menyadari pentingnya mempertahankan partai itu. Kalau Golkar hancur mestinya ketika di awal reformasi tatkala tuntutan pembubaran Golkar mengalir deras. Namun Akbar Tandjung bisa menahan suara deras tersebut sehingga Golkar survive. Sayang kalau Golkar harus mengubur dirinya sekarang justru di saat Golkar masih mendapat kepercaaan yang besar dari masyarakat.

Elite Golkar nampaknya sedang membawa partai ini ke tiang gantung hanya untuk mempertahankan ego masing-masing. Mereka lupa bahwa Partai Golkar jauh lebih berharga daripada kerakusan dan kecongkakan mereka. Partai Golkar bukan milik elite tetapi milik rakyat. Rakyat sudah tahu bahwa Golkar hanya dijadikan tunggangan oleh para elite untuk menggelembungkan pundi-pundi mereka.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun