Mohon tunggu...
Catatan

Jika Hilang Segera Temukan yang Baru

17 April 2015   07:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:00 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah hal paling buruk dari perpisahan ?

Kehilangan seseorang ? Tempat ? Atau malah kenangan ?

I now want to tell you the worst...

Yang pertama terjadi, jauh, jauh, sangat jauh sebelum pertemuan adalah perasaan ingin menemukan. Atau ditemukan. Iya, terlebih karena aku adalah perempuan, aku ingin ditemukan. Terserahmu atau kalian atau mereka kalau dalam pikiran mengejek prinsip ini. Dalam jiwaku menyadari bahwa tidak ada yang lebih superior maupun yng lebih inferior dari laki-laki ataupun perempuan. Keduanya saling membutuhkan, saling memenuhi, dan saling melengkapi. Termasuk soal hati. Makanya aku menunggu sebagai perempuan, untuk ditemukan. Tapi dalam waktu menunggu itu bukan berarti hanya berdiam diri. Aku pun berusaha, berusaha agar dapat ditemukan. Masuk ke dalam lingkaran sosial tertentu. Nyaris semua kelompok sosial pernah 'ku perawani. Baik yang berwujud maupun hanya dalam tulisan maya. Aku seperti menantangnya, menantang orang yang aku harap menemukanku, tentunya tak bukan dan tak salah yang aku harap adalah jodohku. Benar. Jodoh, jodoh, jodoh, jodoh, aku ulangi sampai muak sampai kosong isinya. Kalian menamakannya apa ? Soulmate ? True love ? Belahan jiwa ? Yah, aku tak terlalu peduli. Itu urusan kalian, hahaha...

33. Tiga puluh tiga. Sebagai seorang Katolik, angka 33 merupakan angka yang sakral. Angka yang melambangkan awal dari suatu fase hidup, awal untuk mulai melayani, awal kematangan untuk menatap dunia yang katanya kejam ini. Pada usia 33 tahun, Yesus memenuhi hakikatnya sebagai Tuhan dan manusia. Yah walau sebenarnya saya baru sadar kalau kebetulan yang terjadi denganku berhubungan dengan angka 33 itu. Bukan 33 tahun melainkan 33 bulan. Itu masa kesendirianku. Jangan disela ! Aku paling benci ketika orang lain menyela lalu berkata," Dasar anak muda zaman sekarang ! Baru 33 bulan sendiri aja sudah seperti perawan tua berumur 60 tahun, bagaimana dengan mereka yang sampai akhir hayat tidak bertemu dengan belahan jiwanya ? Atau bahkan yang memang jatah jodohnya bukan dari dunia." Tolong jangan pancing keburukanku untuk membantai orang dengan kata-kata. Karena aku bukan barang taksiran yang bisa dibandingkan dengan benda serupa di toko seberang. Buatku, tiap manusia punya tanggungannya masing-masing. Tiap manusia punya jalan hidup yang harus dia jalani. Ketika dia berjalan tentunya dia akan mengenakan sepatunya sendiri. Dan tidak akan ada orang yang bisa cocok mengenakan sepatunya. Tidak ada yang bisa mengukur perjuangannya, kecuali dirinya dan Tuhan yang diyakini.

Sebenarnya, dalam 33 bulan itu aku tidak hanya menunggu dan berusaha ditemukah sih... Saat itu, aku sedang berusahan melupakan seseorang. I was trying so hard to move on. Berjalan, meninggalkan sesosok yang sampai saat ini membuatku jengah. Tidak nyaman. Uneasiness. Jijik. Benci. Merasa bodoh. Sia-sia. Sakit hati. Salah. Salah. Menyalahkan diri. Penyesalan. Harusnya aku tidak berjuang sekeras itu. Berbagai saran, mulai dari mencari persinggahan yang baru sampai mempraktikkan Yoga, semua aku coba. Tapi melepaskan sesuatu yang memang harus pergi itu berarti harus melepaskan ego yang berwujud. Dari hati yang satu ke lainnya, laki-laki yang pernah aku singgahi karena sangkaku mereka bisa melepaskan ego berwujud itu. Iya, melepaskan. Bukan melupakan. Melainkan melepaskan yang memang telah lepas. Melepaskan ego yang sebenarnya hanya genggaman tangan kosong.

Aku kira aku takkan segila itu lagi. Aku sampai lupa rasanya jatuh. Aku kira aku sudah sangat mumpuni menjaga keseimbanganku. Aku kira aku takkan terbentur keras, menghantam bumi, dan kenyataannya dengan brutal. Aku kira kondisi itu hanya terjadi satu kali seumur hidup.

Ternyata sendiri dalam waktu lama menyedot kesadaranku. Pada dasarnya aku memang pemimpi. Tukang khayal profesional golongan IV A. Aku tidak tahu jumlah gaji yang aku dapatkan kalau jabatan itu benar ada. Aku pasti sudah sangat kaya raya, tak perlu korupsi. Sayang sekali lagi itu semua hanya khayalan. Imajinasi. Dan yang paling parah, semakin lama kepalaku semakin meninggi. Oh ya, inilah salah alasan terkuat aku tidak minum alkohol, merokok, atau mencoba komposisi senyawa tertentu. Khayalanku mampu menggelamkanku ke dasar samudera yang tak berdasar sekalipun. Dan aku sangat bersyukur kenyataan bahwa aku adalah seorang Taurean membuatku selalu bisa meraih permukaan dan kembali menjejak tanah. Keras kepala yang membuatku dijauhi saat SD-SMP ternyata bukan pelengkap penderita semata. Tapi adakalanya keras kepala dan khayalan pemabuk itu saling bergesekan membentuk hingar-bingar yang sesaat terlihat indah. Seperti fireworks, indah 'kan ? Tentu, namun segera lenyap.

Dalam 33 bulan itu aku bertanya pada diriku, pada semesta, pada Tuhan. Apa aku akan begini terus sampai jodoh itu muncul ? Atau malah aku tidak mendapatkan jatah di dunia ini ? Di mana manusia berkromosom XY itu ? Sedang apa ? Dengan siapa ? Kapan sih datangnya sosok yang disebut jodoh itu ? Sialan... Lalu hidupku mulai diambil alih imajinasiku. Mungkin kalau aku ke sini atau ke sana, dia akan menemukanku. J.K. Rowling tidak sebanding denganku kalau urusan mereka cerita. Aku yang saat itu (dan sekarang pun) sedang kebingungan menentukan arah hidup perlahan merangkai konspirasi dengan alam bawah sadarku. "Mungkin kalau aku ke suatu negara dia akan menemukanku. Iya, benar. Karena dia beda benua dan terpisah oleh samudera makanya dia tak kunjung menemukanku. Lalu ketika aku berhasil membangun pondasi di negara itu, kami akan bertemu di suatu momen, mungkin acara, acara dengan tempat yang diselimuti warna merah dan emas. Ketika orang-orang mengangkat gelas anggur dan tertawa namun saling mencaci dalam angan. Oh, bukan berarti aku suka tempat dan kondisi seperti itu. Justru karena aku tak suka, dia akan menangkap sinyalku. Mungkin aku mengirimkan isyarat yang membuatnya mual dan memaksanya meninggalkan ruang besar itu dengan alasan mencari angin segar. Dan saat ia merasakan desiran lembut yang melegakan, saat itulah dia menemukanku. Dua orang yang sedang muak. Keduanya bingung menentukan penyebab rasa muak dan rasa mual yang tiba-tiba muncul. Muak karena terlalu banyak racun yang menciderai kemurnian jiwa atau mual karena organ-organ pencernaan dalam rongga perut yang bergejolak sembari menerka," Aku seperti pernah di sini. Dan rasanya telah lama aku menunggu saat ini."

HAHAHAHAHAHAHA

Hebat 'kan ? Aku tinggal tunggu dihubungi orang penerbit yang sedang depresi karena tak kunjung menemukan orang yang akan dijerumuskan ke dalam lembah yang bernama tenggat waktu.

Semua pikiran dan khayalan berbahaya itu melebur dan tercampur dengan keras kepala. Hasilnya seperti balon yang dengan sengaja dibiarkan terbang tak beraturan karena lubang pengisiannya dibuka seenaknya. Iya, seperti itu. Terbang kesana kemari. Mana ? Di mana ya ? Ah, jangan-jangan yang ini... Atau, jangan-jangan dia... Tapi udara yang membantunya terbang berantakan itu segera habis, semakin menipis, jatuhlah ia. Jatuh di tempat yang tak pernah dia ketahui.

Apa yang akan dilakukan orang normal ketika berada di tempat asing ? Umumnya akan mencari tempat yang aman lalu membatasi interaksi. Hahaha... Sayangnya saat itu aku tak normal. Aku membuka semua akses masuk dan satu per satu 'ku tendang sampah tak berguna. Aku benar-benar menurunkan pertahananku. Sampai aku kelelahan, sampai aku mulai putus asa, karena orang yang aku kira (setidaknya) bisa menjadi tempat berlabuh ternyata sama dengan tempat kami bertemu, bentuknya digital, tidak nyata. Lalu aku mulai menutup segala gerbang dan barikade. Perlahan. Entah perlahan karena terlalu lelah atau karena berharap orang itu akan datang. Mungkin karena alasan yang kedua. Dan selang tak lama kemudian, benarlah datang seseorang.

And the story began...

Aku tak perlu menceritakan awal kami bertemu. Caranya. Pembicaraan yang terjadi saat itu. Jelilah. Kamu, kalian, atau mereka akan tahu tempat dan keadaan kami bertemu. Tebaklah, jangan takut salah. Karena memang kenyataannya awal pertemuan kami penuh dengan tawa. Penuh dengan kesamaan yang tak disengaja. Dua orang yang benar-benar asing, yang baru kali itu saling berbicara, saling menyebut nama. Entah kesungguhan atau rasa mabuk yang semakin hebat, perlahan aku merasa itu bukan kebetulan. Di samping aku tahu tidak ada yang kebetulan, aku semakin yakin kalau inilah itu. Semesta berkonspirasi. Seluruh lapisan kehidupan, planet, asteroid,planetoid, angle astrologi bekerja sama dengan dua anak manusia yang berlawanan jenis sebagai porosnya. Bahu-membahu untuk mempertemukan keduanya. Ah, pasti saat itu aku sedang mabuk. Mabuk kepayang, susah payah untuk bernapas. Sayangnya kali ini aku bukan lagi kesulitan bernapas. Aku kesulitan mengingatnya...

I've got bills to pay...

Saatnya kenyataan beraksi. BERUBAH !!!

SIAPA KAMU ?!! AKU TIDAK KENAL KAMU !! TIDAK ! BUKAN ! BUKAN SEPERTI INI HARUSNYA !!! BUKAN INI YANG SEHARUSNYA TERJADI !!!

Kenyataannya seperti menelan racun yang semua orang tahu kalau tidak ada penawarnya. Kabut pekat, ilusi, kebohongan, kepalsuan, sisi munafik, kebodohan. Sampai kapan aku akan meminggirkan pil pahit itu ?

Bodohnya... Bodoh sekali... I knew, I actually already knew. This shouldn't be happening. We couldn't be together. We couldn't, we can't, and perhaps will never be. I knew he gonna be one of my biggest mistake. And my ultimate regret is something has told me before. Something has warned me. Something has pulled me back. But I was rebelled. I broke every wall I've built. I lost my balance. I was out of control. I lost myself.

Sesuatu dari dalam diriku telah memperingatkan. Sesuatu dari dalam diriku telah menahanku. Tapi ego kosong itu mengambil suatu wujud, kali ini dia tak ingin kalah. Dia mengajak ilusi sebagai sekutunya. Lalu ketika kenyataan datang menginvasi, yang tersisa hanyalah sebuah kenyataan pahit. Kebohongan yang ternyata menjadi pondasinya. Diriku berulang kali berteriak," Aku tahu ! Aku sudah tahu dari awal. Aku tahu, aku sudah tahu. Tapi tetap nekat menerjang, aku tak tahu maknanya. Aku belum tahu, mungkin belum muncul. Atau memang akan berlalu begitu saja."

Sekarang yang tersisa hanyalah diri ini. Tubuh dan jiwa ini. Yang sedang lega sekaligus bingung. Lega karena tahu bahwa tidak perlu lagi menyiksa diri terlalu lama. Namun bingung karena tersadar bahwa dari perpisahan itu terjadi kehilangan. Sayangnya lebih mudah melepaskan sesuatu yang bukan bagian dari satu kesatuan diri.

Here is the worst...

I lost myself... Aku kehilangan diriku. Sebagian besar. Sisanya masih mampu aku kais dan aku susun dari reruntuhan bencana itu. Bentuknya masih bisa 'ku ikuti. Tapi bagian penyusun yang hilang itu tidak diketahui caranya agar bisa kembali lagi membentuk suatu keutuhan. Dan sialannya lagi aku harus merasakan hal itu lagi, rasa jijik, rasa kesal, penyesalan, rasa bersalah, bodoh, bodoh, sialan !!

Oh ya, jangan salah paham. Aku masih punya kontrol diri, aku tetap menjaga diriku sebagai perempuan. Ah dasar, aku harus segera meng-cover dengan penjelasan agar tidak ada salah paham...

Aku tak suka membenci, tapi tak berarti ada kesempatan untuk kembali...

https://youtu.be/vNoKguSdy4Y

P.S. Pas banget lagi nyari lagu yang bisa semakin memicu daya ilusi. Tapi cerita di atas itu kenyataan loh. Oh iya, lain kali ceritanya astrologi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun