Mohon tunggu...
Hakamsyah D
Hakamsyah D Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelanggaran Kode Etik: Salah Siswa atau Guru BK?

3 April 2024   20:00 Diperbarui: 3 April 2024   20:01 3049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kasus pemukulan yang terjadi pada seorang siswa SMA di Kota Kupang, NTT, dan kasus penganiayaan Guru BK terhadap muridnya di SMPN 17 Gresik, menyoroti seriusnya dampak pelanggaran kode etik profesi dalam bidang Bimbingan dan Konseling. Dari dua kasus tersebut, kita dapat melihat betapa pentingnya memahami implikasi dari tindakan pelanggaran tersebut bagi klien, konselor, dan profesi secara keseluruhan. Dalam artikel ini, kita akan mengulas kedua kasus tersebut serta dampaknya secara menyeluruh, serta implikasinya terhadap kepercayaan publik terhadap Bimbingan dan Konseling.

Dua kasus kekerasan fisik yang melibatkan guru bimbingan konseling (BK) terhadap muridnya memunculkan keprihatinan dan refleksi mendalam terhadap profesi Bimbingan dan Konseling. Kasus pertama melibatkan seorang Guru BK di SMA Negeri 11 Kota Kupang, NTT, yang memukul muridnya, menyebabkan telinganya berdarah. Kejadian ini menggambarkan kurangnya pengendalian emosi seorang pendidik, yang seharusnya menjadi contoh dan pembimbing bagi siswanya.

Kasus kedua terjadi di SMPN 17 Gresik, di mana seorang Guru BK diduga melakukan penganiayaan terhadap muridnya, mengancam kepercayaan dan keselamatan siswa. Kedua kasus ini mencerminkan pelanggaran serius terhadap kode etik profesi Bimbingan dan Konseling, yang menuntut kualifikasi konselor dalam nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan, dan wawasan.

Dapat diketahui beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh konselor terhadap konseli mencakup beberapa nilai kode etik bimbingan konseling, berupa: kualifikasi konselor dalam nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan dan wawasan, penyimpanan dan penggunaan informasi, dan hubungan dengan konseli. Adapun kesalahan yang dilakukan ialah proses layanan yang terjadi tidak sesuai dengan prosedur yang ada, konselor memberikan informasi konseli kepada pihak luar tanpa izin konseli, dan konselor menyalahgunakan kuasa atas konseli dan menempatkan kepentingan pribadi 

Tentunya tindakan ini sangatlah merugikan berbagai pihak. Bagi klien, seperti CYL dan murid SMPN 17 Gresik, mereka mengalami trauma dan kehilangan kepercayaan pada proses konseling. Sulit bagi mereka untuk membuka diri dan menerima bantuan, mengganggu proses penyembuhan dan pertumbuhan pribadi yang seharusnya didukung oleh konselor.

Bagi konselor yang terlibat, kekerasan fisik terhadap siswa dapat merusak reputasi dan kredibilitas mereka dalam profesi. Tindakan tersebut tidak hanya melanggar kode etik, tetapi juga dapat menghasilkan sanksi disiplin dan pencabutan izin praktik. Dampak ini tidak hanya dirasakan secara individual, tetapi juga mencoreng reputasi profesi Bimbingan dan Konseling secara keseluruhan, mengurangi kepercayaan masyarakat dan memperkuat stigma negatif terhadap profesi tersebut.

Dalam menghadapi kasus semacam ini, penting bagi pihak berwenang untuk menegakkan proses hukum yang adil dan memberikan sanksi yang sesuai. Lebih dari itu, perlu adanya pendidikan dan pelatihan yang intensif bagi para Guru BK untuk memahami pentingnya pengendalian emosi, komunikasi yang efektif, dan kebijakan anti-kekerasan dalam lingkungan pendidikan. Hanya dengan langkah-langkah konkret seperti itu, profesi Bimbingan dan Konseling dapat memulihkan kepercayaan dan menjaga integritasnya sebagai garda terdepan dalam membimbing generasi mendatang.

Dengan menggunakan pedoman kode etik profesi bimbingan konseling, alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah pelanggaran profesi  bk yang serupa bisa dengan melakukan peningkatan kualifikasi konselor dengan diadakannya kegiatan pelatihan, pemahaman etika konseling dan kegiatan supervisi untuk memastikan kualitas layanan konselor dalam kegiatan Bimbingan dan Konseling.

Selain itu para pendidik khususnya Guru BK dapat menjaga sikapnya dan menjadi teladan bagi peserta didik di sekolah dengan cara memasifkan kampanye anti kekerasan. Mencegah kekerasan agar tidak marak terjadi salah satu upayanya adalah dengan melakukan kampanye anti kekerasan sebagai bentuk sosialisasi dan edukasi kepada peserta didik, pendidik, dan warga sekolah serta lingkungan perlu menjadi subjek sekaligus objek dalam menyemarakkan kampanye anti kekerasan tersebut. Melalui kampanye ini, ajakan dan himbauan kepada seluruh aspek masyarakat agar lebih menyadari dampak yang ditimbulkan dari adanya kekerasan yang terjadi khususnya di lingkungan sekolah

Dengan adanya organisasi khusus bimbingan konseling, diharapkan dapat membantu menyerukan kampanye tersebut, dan memastikan konselor yang ada di tiap jenjang Pendidikan memiliki sertifikasi khusus sehingga bisa melakukan praktik yang sesuai dengan kode etik yang ada.

Penulis : 

FITRI FIRDAUZI NUR AFNI (230111600430)

HAKAM SYAH DINDA WIJAYA (230111608207)

HASNA' HILWATUN NABILA (230111607797)

INDRI L RAHMAWATI YUSMARINA (230111608642)

KHAIRUNNISA AN NAJWA (230111604972)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun