Mohon tunggu...
Septiana Hasmita
Septiana Hasmita Mohon Tunggu... Lainnya - Istri dan Ibu, fikrul Islam, menulis keprihatinan dan keresahan yang terjadi di masyarakat.

“Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad)

Selanjutnya

Tutup

Financial

Polemik Kenaikan Harga Mi Instan, Dapatkah Proyek Lumbung Pangan Sorgum Menjadi Solusi?

11 September 2022   18:15 Diperbarui: 11 September 2022   18:20 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Tingginya Konsumsi Mi Instan Indonesia

Realitas konsumsi mi instan dunia, menunjukkan bahwa gandum merupakan komoditas strategis. Indonesia sendiri termasuk negara pengkonsumsi mi instan kedua dunia setelah Cina. Berdasarkan data World Instant Noodles Association (10/08/2022), dalam lima tahun terakhir sampai 2021, konsumsi mi instan masyarakat Indonesia terus meningkatkan.

Lebih-lebih sejak pandemi (2020---2021), pada 2020 konsumsi mi instan Indonesia sebesar 12,64 miliar porsi. Angka tersebut naik dibandingkan pada 2019 yang besarnya 12,6 miliar porsi. Berikutnya sepanjang 2021, total konsumsi mi instan di tanah air meningkat lagi, yakni sebanyak 13,27 miliar porsi.

Tingginya konsumsi mi instan ini tergambar dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020. Hasil survei itu mendapati bahwa 92% atau sekitar 248,7 juta penduduk Indonesia pernah mengonsumsi mi instan (satuan bungkus sekitar 80 gr).

Mi instan juga tidak mengenal kelas ekonomi sosial. Susenas mencatat bahwa persentase rumah tangga (RT) menengah atas dengan pengeluaran >Rp5---10 juta per bulan adalah kalangan dengan jumlah terbesar konsumsi mi instan. Sebanyak 95,79% atau 16,1 juta RT menengah atas menyantap mi instan.

Proyek Lumbung Pangan Sorgum, Sebenarnya untuk apa?

Adanya ancaman krisis pangan global, membuat negera-negera dunia berupaya mengantisipasi hal ini, termasuk Indonesia. Pemerintah  melalui Mentan, Syahrul Yasin Limpo memerintahkan agar semua importir gandum mau menyerap sorgum produksi lokal sebagai bahan baku perbuatan berbagai olahan makanan yang biasanya menggunakan tepung terigu. Pemerintah berharap setidaknya perusahaan makanan dapat beralih pada sorgum, mengingatkan masih tingginya impor gandum Indonesia per tahun 2021/2022 sebanyak 11,6 ribu ton, yang sangat memberatkan devisa negara.

Menanggapi hal ini Franciscus Welirang, Komisaris PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, produsen mi instan merek Indomie, mengungkapkan bahwa sampai saat ini pihaknya belum memikirkan untuk beralih ke sorgum, "10 tahun lalu kami telah mencoba dan menyiapkan alat pengolahannya, hasilnya bangkrut karena tidak konsisten suplai dan harganya lebih mahal dari terigu." (CNN Indonesia, 19/08/2022).

Mencermati semua ini, peran sorgum memang akan sangat efektif menggantikan gandum dan bisa menjadi pemain penting dalam industri pangan. Namun, apalah arti substitusi sorgum terhadap gandum jika masalah utama di Indonesia perihal pangan masih terletak pada level distribusi? Yaitu kemampuan produk pangan ini terserap oleh pasar domestik. Selama ini, realitasnya komoditas sorgum di Indonesia dianggap tidak memiliki bernilai ekonomi.

Sorgum di Indonesia telah kalah saing dengan komoditas yang bernilai ekonomi lebih tinggi, seperti jagung, kacang hijau, padi gogo, atau ubi kayu. Tampaknya, ketiadaan pasar ini telah menjadi "pemusnah" tanaman sorgum dari lahan petani. Apa pula yang hendak diharapkan dari keberadaan sorgum? Pasalnya sorgum bukan salah satu sumber pangan orang Indonesia. Walaupun jumlah konsumsi mi instan Indonesia sangat tinggi. Namun, Indonesia sendiri masih menjadi negara dengan bahan pangan utama berbasis padi (beras).

Wacana untuk mencari pengganti tepung terigu yang berbasis gandum sudah berkali-kali beredar di masyarakat. Telah banyak dilakukan riset-riset dan uji coba yang dilakukan oleh para ahli. Sebelumnya ada tepung mocaf (tepung dari singkong), hingga saat ini telah banyak produsen yang memproduksinya. Meskipun demikian, pasar kurang melirik tepung ini disebabkan harganya yang lebih mahal dari tepung terigu. hal serupa juga terjadi pada bahan subtitusi tepung berbasis gandum lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun