"Kalau itu keputusanmu, ambilah. Aku tidak mau ikut campur, itu urusan hati. Toh selama ini aku hanya mendengar cerita dari mu saja, hanya dari satu sisi." Dia memandangku terdiam. Badannya ia senderkan di tembok.
"Aku hanya takut kalau terjadi apa-apa, kalau dia nekat."
"Maksudmu kalau cewek mu itu bunuh diri? Lari ke jalan terus nabrakin diri ke motor apa mobil gitu?"
"Semacam itu" helaan napas dalam itu terdengar
"Itu resiko." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Sebagai perempuan aku pasti akan sakit hati banget kalau diperlakukan seperti itu. Kejam.
Tangannya menepuk bahuku. "Lu memang sahabat terbaikku, La. Beruntung aku punya sahabat kaya lu."
Tiba-tiba mengalun lirih dari playlist di handphoneku
jangan berdiri di depan ku
karna ku bukan pengikut yang baik
jangan berdiri di belakang ku
karna ku bukan pemimpin yang baik
berdirilah di sampingku
sebagai kawan
kawan kawan kawan kawan
sebagai kawan
Dalam hati aku berkata "kutukan apalagi ini ya Tuhan." Hari semakin malam, dan aku menyudahi obrolan menyakitkan itu dengan berpura-pura ojek online yang ku pesan sudah datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H