Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Fiksi Click] Nostalgia Stasiun Kebahagiaan

18 Oktober 2016   12:25 Diperbarui: 19 Oktober 2016   00:31 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki yang duduk bersamaku ini usianya genap tujuh puluh sembilan tahun hari ini. Tangannya yang sudah keriput sedang memijat-mijat kedua kakinya yang diselonjorkan. Dia akan mengajakku berkeliling di Stasiun Kebahagiaan. Ah iya tentu itu nama yang dikarangnya sendiri. Mana ada nama stasiun Kebahagiaan?

“Capek Kung? Masak jalan segitu saja capek.” Ledekku padanya. Aku memanggilnya Kung. Ya, dia adalah ayah dari wanita yang melahirkanku.

Gimana menurutmu?”

“Di sini kumuh, lagian stasiun ini juga sudah nggak dipakai lagi sekarang. Serem juga” Aku mengamati bangunan yang memang sudah kumuh ini atau lebih tepatnya mengerikan, Karena dikeilingi rumput tinggi dan di beberapa bagian tembok ada yang sudah roboh.

“Dulu stasiun ini ramai, dan menjadi bagian sejarah dari hidup Kung.”

Aku mengambil duduk di sebelah kanannya. Lelaki yang merupakan pensiunan pegawai PJKA itu memiliki kenangan sendiri dengan stasiun ini. Dulu stasiun ini adalah tempat kerja pertamanya semenjak diterima sebagai pegawai PJKA. Kurang lebih delapan tahun Kung mengabdi di stasiun ini, sebelum akhirnya dipindahkan tugas di kota lain.

“Kung, bentuknya lucu ya?” aku menunjuk beberapa lingkaran yang berada di tembok sebelah atas.

“Memang begitu bentuknya, beberapa stasiun yang dibangun jaman Belanda dulu juga begitu bentuk ventilasinya.”

Kung pernah bercerita, dulu ada kereta uap yang hilir mudik melalui stasiun ini. Kalau orang dulu menyebutnya “sepur grenjeng”. Kereta uap yang beroperasi dari Yogyakarta sampai Kutoarjo saja. Kereta itu penumpangnya kebanyakan para pedagang atau pelajar, maklum jaman dulu bis belum banyak. Kung waktu itu bertindak sebagai pengatur perjalanan kereta api di stasiun ini. Itu lho yang membawa tongkat yang ujungnya berbentuk bulat yang berwarna hijau dan memakai topi warna merah.

Karena pekerjaannya itu Kung sering melihat banyak orang yang naik turun di stasiun ini. Kata Kung rata-rata mereka selalu tersenyum ketika melihat kereta datang. Ada yang tersenyum karena akan segera bertemu dengan saudara atau keluarga yang sudah lama tidak bertemu, Ada yang tersenyum karena ada harapan dagangannya akan terjual hari ini, ada yang tersenyum karena akhirnya ada kereta untuk pergi ke sekolah dan masih senyum yang lain.

“Pasti Kung gagah banget waktu itu ya?” aku berdiri menirukan gaya seorang pengatur perjalanan kereta api dengan sandal di tangan kiri ku.

“Hahaha...hush...itu sandal.” Kung terkekeh melihat gayaku

“Stasiun ini dulu juga sering jadi tempat untuk mengirimkan logistik, makanan atau keperluan perang yang lain untuk pejuang kita.”

“Oya Kung? Wah berarti stasiun ini sudah dibangun lama banget ya?”

Kung mengangguk. “Jauh sebelum Kung lahir malah.”

Aku beranjak ke sebuah ruangan. Mencoba mengajak Kung bernostalgia dengan tempat kerjanya dulu.

“Ini dulu tempat apa?”

“Ini dulu ruang tunggu. Nah penumpang yang mau naik dul menunggu di sini. Bawaan mereka banyak kalau mau naik kereta.”

Kung beranjak ke ruangan lain “Kalau ini tempat jual tiket.” Ruangan kecil yang berada di sisi ruang tunggu.

“Kalau tempat Kung kerja di sebelah mana?” Kung berjalan lagi menunjukkan sebuah ruangan yang berada di ujung bangunan tua ini. Meskipun masih ada pintu dan jendelanya, namun keduanya sudah rusak. Langit-langitnya pun sudah rusak parah dan membuatku mengurungkan niat untuk memasukinya karena takut sesuatu menimpaku. Stasiun ini sudah lama tidak beroperasi, resminya sejak tahun 2007. Tidak ada renovasi atau pemugaran untuk stasiun ini dari pihak PT KAI. Hal ini tentu membuat kerusakan-kerusakan semakin parah.

Melihat Kung yang sudah terengah-engah napasnya, aku mengajak Kung duduk lagi. Menyodorkan sebotol air putih yang aku bawa tadi.

“Sudah puas bernostalgia kan Kung? Habis ini pulang ya?”

“Dari tadi kita di sini belum ada kereta lewat.”

“Kita mau nunggu sampai ada kereta lewat baru pulang?” Kung mengangguk. Baiklah aku memang selalu kalah dengan permintaan lelaki yang rambutnya sudah beruban semua ini.

Tak berapa lama aku mendengar suara kereta dari kejauhan. Aku berdiri, menengok kiri dan kanan. Menebak-nebak arah datangnya kereta. Jalur kereta ini sudah dua jalur, beda dengan dulu yang masih satu jalur saja. Ternyata bukan cuma aku dan Kung yang menunggu kereta lewat sore itu. Di seberang ada seorang bapak dan beberapa anak kecil. Anak-anak itu tampai antusias menunggu kereta lewat sambil tepuk tangan menyanyikan lagu yang aku tidak mendengarnya dengan jelas.

Suara semakin lama semakin jelas. Kung sudah berdiri di sampingku. Ikut menunggu kereta yang akan lewat. Anak-anak di seberang itu semakin keras bernyanyi dan bertepuk tangan. Jam menunjuk pukul enam belas lebih sepuluh menit ketika sebuah rangkaian kereta api ekonomi melintas di depanku.

“Benar apa kata Kung, Stasiun Kebahagiaan. Lihat bocah-bocah itu deh Kung.”

Kung tersenyum sembari berbalik badan menuju tempat motorku diparkir.

“Hal yang paling membuat Kung bahagia, karena di stasiun ini Kung bertemu pertama kali dengan Uti.”

Aku hampir saja berteriak, “Pantas saja, tapi Kung belum pernah cerita soal itu sama aku.”

“Lain kali saja, sekarang ayo pulang. Nanti kita dicari bapakmu.”

Aku berjalan mengikuti Kung yang meskipun dengan napas terengah-engah dia nampak bahagia hari ini. Aku pun juga.

Kota Istimewa, 18102016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun