Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Pasar Anyar

9 Mei 2016   16:41 Diperbarui: 10 Mei 2016   00:05 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi: surabaya.panduanwisata.id

Belum juga suara adzan subuh terdengar dari masjid, Marni sudah terjaga dari tidurnya. Wanita lima puluh enam tahun ini sudah berkutat di dapur. Sepagi itu hampir semua masakannya sudah matang. Kegiatan seperti itu sudah dijalaninya lebih dari separuh hidupnya. Hal yang sudah menjadi rutinitasnya semenjak masih sekolah dulu.

Pardi, sang suami pun tidak kalah sibuknya. Lelaki berkumis itu sedari tadi sudah menata barang dagangan untuk dibawa ke pasar. Hari ini adalah Selasa pahing, hari pasaran untuk Pasar Pahing,  yang hanya berjarak kurang dari dua kilometer dari rumahnya. Mereka berdua berjualan bumbu-bumbu dapur di lapak berukuran dua kali dua meter. Pahing adalah dimana mereka akan buka lebih pagi karena hari pasaran itu pembeli akan lebih banyak dibanding hari lain.

Setelah sholat subuh mereka bersiap berangkat. Marni membangunkan Adi, anak bungsunya yang masih terlelap di kamar.

“Mas, ibu berangkat yo.” Seperti biasa, dengan mata yang masih setengah terpejam Adi bangun dan mencium tangan ibunya.

Tiba- tiba terdengar suara motor datang dan masuk ke halaman. Misno, adik Marni datang dengan wajah panik.

“Ayo Kang cepat… ke pasar..ayo. Mbakyu mana?” suara Misno terbata-bata.

“Lha kenapa to? Kamu kenapa kok kelihatan bingung?”

“Pasar kebakaran Kang…kobongan! Cepet Ayo!

Suara Misno terdengar sampai ke dalam. Marni segera keluar dari kamar Adi setengah berlari.

“Yang benar kamu Mis?” teriak Marni dari dalam.

“Ayo cepat, bonceng aku aja.” Misno sudah memutar motornya.

Pardi sudah memacu motornya terlebih dulu, diikuti Marni yang membonceng Misno.

Setibanya di pasar, kerumunan orang menyemut. Terlihat asap hitam membumbung ke langit. Teriakan dan tangisan para pedagang bersautan. Ada yang berlarian mencoba menyelamatkan apa yang masih tersisa.

Lapak yang dimiliki Pardi dan Marni berada di agak pinggir. Api mulai menjalar ke arah lapaknya. Dengan dibantu Misno, Marni dan Pardi mencoba menyelamatkan “harta”nya. Kucuran keringat, nafas yang tersengal karena asap tebal. Dagangan selamat, hanya itu yang ada di pikiran mereka. Hanya barang yang diluar gerobok* saja yang mampu mereka selamatkan. Kotak uang yang berada di dalam gerobok pun ikut terbakar. Sedikitnya 10 juta lebih ada di kotak itu. Sisanya ludes.

Marni terduduk lemas di pinggir jalan seberang pasar, tenggorokannya tercekat. Peluh membasahi wajahnya yang kuyu. Air mata itu hampir tumpah. Dunianya pagi itu terbalik. Sementara suaminya memindahkan barang yang bisa diselamatkan itu ke tempat yang lebih aman, sambil menunggu Misno yang pergi mencari charteran mobil pickup. Di sekelilingnya orang masih lalu lalang, suara sirine mobil kebakaran, teman pedagang yang tak berhenti menangis, teriakan orang-orang yang mencoba memadamkan api dengan peralatan seadanya. Riuh. Suara-suara itu seperti hilang di telinga Marni, yang ia dengar hanya suara ledakan ledakan dari dalam pasar. Entah dari barang apa suara itu berasal.

4 hari berlalu

Subuh baru saja berlalu, Marni sudah selesai menata dagangannya. Sejak kemarin Marni sudah mulai berdagang kembali. Kepalanya harus ia tegakkan lagi. Demi masa depan anak semata wayangnya. Meskipun untuk sementara lapaknya, juga pedagang lain, berpindah di parkiran, sambil menunggu perbaikan yang entah kapan.

Selesai menata dagangannya, Marni teringat akan lapaknya yang dulu. Sejak kejadian itu. Dia belum melihatnya lagi. Hanya suaminya yang kemarin mengatakan bahwa tidak ada yang tersisa. Rasa penasaran membuatnya melangkahkan kaki menuju ke dalam. Bau asap masih tercium. Hitam, hanya bersisa arang hitam. Helaan napas panjang menyudahi rasa penasaran itu.

Paringono kekuatan, Gusti” (berilah kekuatan, Tuhan) gumamnya.

Sebelum menuju lapaknya Marni melihat dua orang lelaki, tak jauh dari tempatnya berdiri. Mereka seperti tidak meyadari keberadaan Marni.

Bodo, Kenapa Pasarnya yang kobong cuma separo? Kalau begini kapan mereka pergi? Kapan proyeknya bisa dimulai? ” kalimat itu terdengar jelas di telinga Marni. Marni melangkah keluar perlahan. Dia menyadari tidak seharusnya dia ada di situ. Mungkin saja sudah ada pembeli yang menunggunya.

NB :

Kobong/kobongan : kebakar/kebakaran

Gerobok : peti kayu yang digunakan untuk menyimpan barang

Pahing : salah satu nama hari pasaran dalam Bahasa Jawa

Anyar : baru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun