Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Pasar Anyar

9 Mei 2016   16:41 Diperbarui: 10 Mei 2016   00:05 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ayo cepat, bonceng aku aja.” Misno sudah memutar motornya.

Pardi sudah memacu motornya terlebih dulu, diikuti Marni yang membonceng Misno.

Setibanya di pasar, kerumunan orang menyemut. Terlihat asap hitam membumbung ke langit. Teriakan dan tangisan para pedagang bersautan. Ada yang berlarian mencoba menyelamatkan apa yang masih tersisa.

Lapak yang dimiliki Pardi dan Marni berada di agak pinggir. Api mulai menjalar ke arah lapaknya. Dengan dibantu Misno, Marni dan Pardi mencoba menyelamatkan “harta”nya. Kucuran keringat, nafas yang tersengal karena asap tebal. Dagangan selamat, hanya itu yang ada di pikiran mereka. Hanya barang yang diluar gerobok* saja yang mampu mereka selamatkan. Kotak uang yang berada di dalam gerobok pun ikut terbakar. Sedikitnya 10 juta lebih ada di kotak itu. Sisanya ludes.

Marni terduduk lemas di pinggir jalan seberang pasar, tenggorokannya tercekat. Peluh membasahi wajahnya yang kuyu. Air mata itu hampir tumpah. Dunianya pagi itu terbalik. Sementara suaminya memindahkan barang yang bisa diselamatkan itu ke tempat yang lebih aman, sambil menunggu Misno yang pergi mencari charteran mobil pickup. Di sekelilingnya orang masih lalu lalang, suara sirine mobil kebakaran, teman pedagang yang tak berhenti menangis, teriakan orang-orang yang mencoba memadamkan api dengan peralatan seadanya. Riuh. Suara-suara itu seperti hilang di telinga Marni, yang ia dengar hanya suara ledakan ledakan dari dalam pasar. Entah dari barang apa suara itu berasal.

4 hari berlalu

Subuh baru saja berlalu, Marni sudah selesai menata dagangannya. Sejak kemarin Marni sudah mulai berdagang kembali. Kepalanya harus ia tegakkan lagi. Demi masa depan anak semata wayangnya. Meskipun untuk sementara lapaknya, juga pedagang lain, berpindah di parkiran, sambil menunggu perbaikan yang entah kapan.

Selesai menata dagangannya, Marni teringat akan lapaknya yang dulu. Sejak kejadian itu. Dia belum melihatnya lagi. Hanya suaminya yang kemarin mengatakan bahwa tidak ada yang tersisa. Rasa penasaran membuatnya melangkahkan kaki menuju ke dalam. Bau asap masih tercium. Hitam, hanya bersisa arang hitam. Helaan napas panjang menyudahi rasa penasaran itu.

Paringono kekuatan, Gusti” (berilah kekuatan, Tuhan) gumamnya.

Sebelum menuju lapaknya Marni melihat dua orang lelaki, tak jauh dari tempatnya berdiri. Mereka seperti tidak meyadari keberadaan Marni.

Bodo, Kenapa Pasarnya yang kobong cuma separo? Kalau begini kapan mereka pergi? Kapan proyeknya bisa dimulai? ” kalimat itu terdengar jelas di telinga Marni. Marni melangkah keluar perlahan. Dia menyadari tidak seharusnya dia ada di situ. Mungkin saja sudah ada pembeli yang menunggunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun