[caption caption="unsplash.com"][/caption]Minggu ketiga : terinsiprasi lagu
Tawamu menguasai meja makan pagi itu. Masakan pertamaku gagal. Rambutku pun tak lolos dari tangan jahilmu.
“Terima kasih Tuhan, Engkau memberi istri yang membuat ku tertawa di sepagi ini.” Itu candamu ketika selesai menyantap sarapan. Buatmu itulah caramu. Meski terkadang membuat aku kesal.
Sewajibnya suatu kisah, konflik diciptakan oleh sutradara. “Ini justru akan membuat kisah kita semakin menarik. Berwarna!” Kalimat macam itu yang kamu katakan, ketika aku terisak di dadamu. Layaknya bermacam film yang terpampang di dinding bioskop. Yang mampu membuat jutaan orang berduyun-duyun mengantri tiket.
Kopi yang ku tuang ke dalam cangkir warna kuning gading, sepuluh menit yang lalu, belum kamu sentuh.
“Masih panas kopinya?” Kamu menggeleng.
“Terus?” kamu tak menoleh ketika aku bertanya. Tangan kananmu mengelus perut buncitmu yang selalu membuatku tersenyum tiap kali melihatnya.
“Hanya dengan kopi buatanmu aku bisa khusyu’ menikmati pagi. Entah ini sudah pagi yang keberapa aku menikmati kopi yang sama.” Dari samping aku melihat guratan keriput di sekitar matamu. Semakin banyak. Katamu akulah penyebabnya. Aku sering membuatmu tertawa.
“Terima kasih Tuhan, Engkau telah memberi suami berperut badut yang menggemaskan.”
Kamu menoleh, sekian detik kamu pun tertawa. Tiga puluh empat tahun berlalu, melesat cepat seperti cahaya meteor di langit subuh. Aku mencintaimu selalu.