Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Jengki dan Berbagi Sadel

19 Juni 2015   14:26 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:39 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

*ilustrasi :jengki

Sepeda dulu adalah barang yang sangat diinginkan sewaktu saya masih bersekolah di SD. Dari sekian banyak murid, kebanyakan yang memiliki sepeda adalah murid laki-laki dengan sepeda BMX nya. Saya baru bisa naik sepeda waktu kelas 3 SD, itupun belajar dengan sepeda milik teman.

Dari sepeda saya memiliki banyak pengalaman seru. Saya memiliki teman, namanya Rini. Saya memanggilnya mbak, karena memang usianya lebih tua dari saya. Dia teman sekaligus sahabat , meskipun usia kami berbeda 3 tahun. Dari bermain bersama dialah saya memiliki cerita bersepeda yang tidak akan terlupakan. Bahkan sampai sekarang kalau mengingat masa-masa itu kami akan tertawa sendiri.

Waktu itu macam sepeda hanya ada sepeda jengki dan sepeda onthel atau kalau di daerah saya disebut sepeda unto yang sering dipakai oleh simbah-simbah . Jaman itu sepertinya sepeda mini belum familiar di daerah saya.

Mbak Rini memiliki sepeda jengki, sepeda itu merupakan sepeda kakaknya yang lalu diwariskan padanya. Jangan dibayangkan sepeda jengki itu bagus. Warna sepedanya hijau tua yang catnya sudah kusam, ditambah sepeda itu tidak memiliki boncengan. Akan tetapi di situlah letak kenangan itu.  

Saya sendiri belum bisa naik sepeda waktu itu. Alhasil kalau kami pergi bermain dengan naik sepeda, maka saya dibonceng di sadel, jadi bisa dibayangkan, sadel yang tidak seberapa lebarnya itu untuk duduk dua orang. Saya duduk di sebelah belakang, sementara Mbak Rini sambil mengayuh sepeda itu duduk di bagian depan. Berbagi sadel ? Mungkin seperti itulah sebutannya.

Setiap kali saya naik sepeda bersama mbak Rini maka saya akan pegang erat kedua pundaknya. Karena hanya dengan begitulah saya tidak jatuh. Belum lagi kondisi jalan di kampung yang masih bebatuan.  Banyak yang mengingatkan saya untuk hati-hati ketika dibonceng karena itu bahaya, tetapi kami selalu mengulangi dan mengulanginya lagi.

Kami bisa berboncengan sepeda dengan berbagi sadel itu kemanapun kami mau. Ke sawah untuk mencari ikan, pergi ke TK untuk main perosotan, atau sekedar keliling kampung. Dulu dimana ada saya dan mbak Rini pasti ada sepeda jengki itu.

Kebiasaan itu kami hentikan setelah sepeda jengki itu rusak dan Mbak Rini memutuskan untuk minta sepeda yang baru kepada bapaknya. Lalu sepeda itu pun dijual ke tukang rongsok.

Bagi saya dan Mbak Rini meskipun sepeda jengki jauh dari kata bagus akan tetapi memberikan kenangan masa kecil, cerita bersepeda yang tidak akan terlupakan bagi kami.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun