Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senyuman di Pintu Stasiun

2 Juli 2014   17:09 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:50 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Samar deru kereta pembawa musafir

Merayap perlahan menyusuri malam ratusan kilometer

Menuju kota-kota harapan dan impian

Demi sebuah senyuman di pintu stasiun

Suasana stasiun akhir minggu memang sedikit berbeda dengan hari biasa, lebih banyak orang dengan berbagai bawaan mereka dan berbagai tujuan. Sementara itu, aku masih menunggu kereta yang akan membawaku menuju kota tujuanku. Di tiket tertulis kereta berangkat pukul 22.35 WIB, sementara di tangan kiriku jam masih menunjukkan pukul 22.15 WIB. Sebentar lagi gumamku. Aku menikmati suasana malam stasiun yang sedikit berbeda setelah ada kebijakan bahwa pedagang asongan tidak boleh memasuki kawasan stasiun. Memang suasana lebih nyaman, tidak semrawut. Walaupun cukup prihatin juga dengan nasib para pedagang asongan, bagaimana mereka mendapat penghasilan setelah pemberlakuan kebijakan itu. Ah, suatu kebijakan memang selalu menjadi dilema untuk satu atau dua pihak.

Bel khas stasiun dibunyikan, pengumuman menggema pertanda ada kereta yang datang. Itu kereta yang akan membawaku. Kali ini tujuanku adalah kota yang dikenal ramah, budaya yang masih kental, dan dikenal juga dengan kota pendidikan. Yogyakarta. Aku menuju kota ini bukan untuk liburan, bukan juga untuk masalah pekerjaan, salah satu teman kuliah dulu mengundangku ke pernikahannya. Dia memang berasal dari kota dengan slogan berhati nyaman ini.

Di dalam kereta aku duduk bersama penumpang lain. Di sampingku seorang bapak pensiunan TNI, sementara yang di depanku, sepasang suami istri dengan seorang anak yang masih berumur 2 tahun. Sesekali kami berbincang, tidak mungkin juga kami duduk berhadapan untuk tidak berbicara, meskipun hanya sekedar menanyakan tujuan. Kereta melaju membelah kesunyian malam dengan lampu dan klakson yang menggema. Dari balik kaca jendela aku memandang kerlap lampu kota yang perlahan tertinggal di belakang. Semakin malam suasana kereta semain senyap. Tidur. Hampir semua dari penumpang tertidur, mengayam mimpi mereka masing-masing. Sesekali aku mendengar suara batuk dari seorang penumpang. Hanya suara itu yang terdengar selain suara deru kereta ini sendiri. Mata ini belum juga bisa terpejam, aku justru menikmati perjalanan malam yang panjang ini.

Satu stasiun lagi, dan aku akan sampai di tujuanku. Matahari mulai naik ketika aku lihat jam di tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 6.45. Penumpang di sebelah kananku sudah turun, sementara pasangan suami istri yang duduk didepanku akan turun di stasiun yang sama denganku. Aku menurunkan tas ranselku, bersiap dan memastikan tidak ada barang bawaan yang tertinggal.

***

Melangkah keluar dari stasiun, aku melihat beberapa tukang becak dan ojek yang berusaha menawarkan jasanya kepadaku. Berdasarkan saran Resti, temanku aku hanya perlu berjalan sebentar dari stasiun maka aku akan menemukan angkutan umum yang akan mengantarku menuju rumahnya. Aku menolak ketika Resti menawarkan akan menjemputku. Aku pikir calon pengantin tidak boleh pergi kemana-mana, apalagi H-1 menjelang acara pernikahannya., orang jawa menyebutnya “pingitan”.

Tidak jauh dari halaman stasiun, ada satu yang menarik mataku. Seorang ibu yang aku tebak usianya sudah lebih dari 70 tahun duduk di trotoar jalan dekat pintu keluar stasiun. Aku mendekat, ternyata ibu itu berjualan pecel. Dengan senyum ramah ibu itu menawarkan pecelnya sebagai sarapanku. Melihat ekspresi ibu itu, entah apa yang membuat tenggorokanku menjadi sakit saat aku mencoba untuk menelan ludah. Akhirnya aku meng-iya-kan tawaran ibu itu. Aku pesan satu untuk sarapan pagiku, perutku memang minta diisi, dan aku baru ingat dari semalam aku tidak makan apa-apa.

Aku mengajak ngobrol ibu penjual pecel yang aku tahu namanya adalah Ngatinah. Beliau berjualan pecel di depan stasiun semenjak 8 tahun yang lalu, setelah suaminya meninggal dunia. Mata beliau menjadi berkaca-kaca ketika aku bertanya tentang anaknya. Sungguh aku tidak bermaksud membuka luka lama beliau. Beliau mengatakan anaknya pergi dari rumah ke Jakarta setelah bertengkar dengan sang Bapak. Hingga saat ini beliau belum bertemu dengan anak laki-laki semata wayangnya itu.

Peristiwa gempa Yogyakarta delapan tahun silam telah merobohkan rumahnya. Sepeninggal suami, ibu Ngatinah pindah ke kota sebelah. Jika beliau tetap bertahan di tempat itu, beliau akan terus teringat suaminya yang meinggal tertimpa runtuhan rumah. Juga akan teringat pertengkaran anak dan suaminya yang menjadikannya sekarang beliau hidup sendirian. Lagi-lagi tenggorokanku tercekat mendengar kisahnya. Anak macam apa dia yang membiarkan ibunya hidup dalam kesendirian seperti ini. Ketegaran yang harus aku contoh dari seorang ibu yang bernama “Ngatinah”.

Sepincuk pecel di tanganku sudah aku lahap habis, setelah aku membayar. Aku segera pamit, beliau berterima kasih karena kebetulan pagi itu aku menjadi pembeli pertamanya. Segera kulangkahkan kaki, dari kejauhan sudah ada angkot yang menungguku. Di dalam angkot pikiranku melambung, masalah apa yang membuat anak kabur dari rumah dan si ibu yang harus hidup sendirian sekarang? Apakah anak itu tidak mencari ibunya? Apakah anak itu sudah tahu kalau bapaknya sudah meninggal? Banyak pertanyaan yang muncul ketika aku mengingat kembali cerita tadi. Lamunanku bubar ketika sang sopir angkot meneriaki nama daerah dimana aku harus turun.

***

Hari ini adalah hari penting untuk Resti. Dia akan dipersunting oleh lelaki pujaannya. Haru, gembira, sedih membaur jadi satu. Perasaan yang bagi kebanyakan orang akan susah untuk diungkapkan. Aku ikut merasakan perasaan itu. Ketika apa yang menjadi harapan setiap anak manusia kini tinggal di depan mata, maka kebahagianlah yang terasa.

Resti tampil cantik dan anggun dengan kebaya putih panjangnya, sementara Andro, pengantin laki-laki tampak gagah dengan setelah jas warna senada. Mereka duduk berdampingan, aku melihat mereka dari belakang. Ikut merasakan suasana tegang ketika ijab-qobul dilaksanakan. Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Andro mampu mengucap qobul satu kali tanpa harus diulangi. Ketika para saksi mengucap kata “SAH” tidak terasa air mata meluncur tanpa terbendung. Haru melihat sahabatku hari ini telah mengubah statusnya menjadi seorang istri.

Setelah akad nikah selesai, acara resepsi digelar. Dalam resepsi itu aku bertemu beberapa teman kuliah dulu, mereka ternyata banyak yang berubah. Ada yang lebih gemuk, ada yang terlihat lebih langsing tapi keramean dan kekonyolan mereka masih sama. Mungkin kalau tidak ada acara seperti ini kami akan sangat sulit untuk bertemu dan bercanda seperti hari ini.

Bernostalgia dengan berbagai cerita dan kenangan masa kuliah memang mengasyikkan. Beberapa kali berfoto sekedar sebagai kenangan. Sang pengantin yang berdiri di pelaminan terlihat iri denganku karena tidak bisa ikut membaur dan cerita ngalor-ngidul dengan teman lain. Dari kejauhan Resti memanyunkan bibirnya kearahku, dan justru itu membuat aku dan teman lain menertawakannya. Teman yang seru, acara berjalan lancar dan hidangan yang enak menjadikan hari ini terleati dengan sempurna.

***

Acara utama sudah berlalu, saatnya aku harus kembali ke kotaku. Aku berangkat menuju stasiun dengan angkutan umum. Sekali lagi aku menolak tawaran Resti untuk mengantarku. Aku ingin menikmati perjalananku, itulah alasan yang aku berikan padanya. Kereta pagi yang aku pilih. Kereta kelas tiga yang namanya diambil dari nama sungai, Bogowonto. Sengaja aku berangkat lebih pagi agar aku bisa mampir untuk makan pecel bu Ngatinah lagi. Entah apa yang membuatku tertarik, ketika aku memikirkan kata”pulang” seperti ada yang mengharuskanku untuk mampir lagi menemui ibu penjual pecel itu lagi.

Benar saja, ibu Ngatinah baru saja selesai menata dagangannya ketika aku menghampiri beliau. Beliau ternyata masih ingat dengan wajahku. Segera tanpa bertanya tangan terampil itu menyiapkan sepincuk pecel lengkap dengan rempeyek kacangnya. Aku meminta ijin beliau untuk mengambil beberapa foto dengan HPku. Jawaban lugu yang aku dengar, “mau buat apa mbak foto orang jelek kaya saya ini”. Aku tersenyum mendengar kalimat itu. Segera aku melahap pecel karena takut aku terlambat masuk stasiun. Ibu Ngatinah berpesan agar aku berhati-hati dan jika aku berkesempatan untuk ke kota ini lagi jangan lupa untuk mampir. Setelah membayar dan berpamitan dengan bu Ngatinah, aku melangkahkan kaki dengan tergesa. 10 menit lagi kereta datang.

Suara bel khas stasiun terdengar melenting ke seluruh bagian stasiun, kereta ku datang. Aku akhiri ceritaku di kota kecil ini ketika aku melangkah masuk ke kereta.

***

Matahari sudah mulai tenggelam ketika aku keluar dari stasiun Senen. Aku tersenyum ketika melihat kotaku lagi, kota yang penuh dengan masalah dan keruwetan ini. Aku menuju taksi dan langsung meluncur ke rumah. Badan ini rasanya sudah begitu merindukan kasur.

Setelah aku mandi, aku melirik laptop di atas meja. Ada sesuatu yang ingin aku tuliskan di sana. Segera saja setelah aku mentransfer foto dari HP ke laptop, aku mengetikkan beberapa paragraf tentang pengalamanku bertemu dengan ibu Ngatinah di blog pribadiku.  Pengalaman yang memberikan pelajaran hidup untukku. Mata yang sudah tidak kuat menahan kantuk membuatku mematikan laptop dan tidur lebih awal, besok aku harus kembali dengan rutinitas kerjaku.

Sementara di bagian lain kotaku ada seorang lelaki yang sedang membaca tulisanku. Tangannya gemetar ketika meninggalkan satu komentar di tulisanku. Ingatannya kembali ke 10 tahun yang lalu, ketika dia bertengkar dengan sang bapak. Dia yang ngotot ingin ke Jakarta, sementara ayahnya melarang. Entah apa yang menjadi alasan sang bapak sehingga dia tidak diperbolehkan pergi ke kota itu. Hingga akhirnya dia nekat pergi ke Jakarta tanpa ijin kedua orang tua, hanya meinggal selembar tulisan untuk ibunya “ Bu, aku ke Jakarta, jangan kuatir aku bisa jaga diri baik-baik”. Dua tahun berlalu dan dia tidak mengirimkan kabar apapun. Hingga suatu kabar diliatnya dari televisi. Terjadi gempa 5.9 SR di kampung halamannya. Dua hari setelah melihat berita itu, lelaki itu pulang ke kampung halamannya. Apa yang dia dapat, rumahnya rata dengan tanah. Sepasang suami istri yang dicarinya tidak dapat ditemukannya, hampir seluruh pengungsian dia datangi, tapi kedua orang itu tidak juga mampu dia temui. Hingga seminggu sudah dia di sana, menyerah. Dan memutuskan untuk kembali ke Jakarta.

***

Sebelum mulai berkutat dengan pekerjaan, aku sempatkan membuka blog pribadi. Aku terkejut ketika membaca sebuah komentar “Apakah sekarang ibu ini masih berjualan di sana? Saya ingin menemuinya.” Tanpa ada dugaan lain, aku langsung menebak, apakah lelaki ini adalah anak dari ibu Ngatinah?  “Iya beliau masih jualan di depan stasiun itu. Beliau berjualan dari pagi sampai siang saja. Semoga tulisan saya membantu”…..KIRIM…Aku menjawab komentar itu dengan harapan jika memang benar lelaki itu adalah anak dari ibu Ngatinah maka semoga lelaki itu segera menemui beliau.

Seminggu berlalu, setiap hari aku menanti komentarku dibalas oleh lelaki itu. Penasaran. Apakah lelaki itu benar anak ibu Ngatinah atau siapa. Hingga akhirnya di hari ke delapan sebuah email masuk.

Selamat siang,

Terima kasih sudah membuat tulisan tentang Ibu Ngatinah. Tulisan itu sangat membantu saya. Saya sudah bertahun-tahun mencari beliau dan akhirnya berkat tulisan anda, saya bisa bertemu dengan beliau kembali. Beliau juga menitipkan salam untuk anda, terima kasih sudah menjadi membeli pecel buatannya.

Sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih.

Salam,

Hardi

Email itu juga menyertakan sebuah foto seorang lelaki bersama ibu Ngatinah di depan stasiun itu. Di foto terlihat ibu Ngatinah tersenyum.  Aku pikir lelaki itu mungkin benar adalah anaknya yang sudah lama tidak kembali itu. Aku turut senang, ibu Ngatinah bisa bertemu dengan anaknya kembali dan yang paling penting sekarang beliau tidak hidup sendiri lagi. Tidak terasa air mata meluncur bebas di pipi ketika aku mengetik balasan email itu.

*ilustrasi : DI SINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun