Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serendipity [2]

13 Oktober 2014   22:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:11 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ilustrasi : meja

Cerita sebelumnya baca di sini ya

#Gara- Gara Berbagi Meja

“Lohh…ka...mu ?”

“Tish…shaa?” lelaki itu sama kagetnya ketika melihat perempuan yang dihadapannya sekarang adalah Tisha.

Tisha mengambil langkah mundur, dia enggan bersama satu lift dengan lelaki itu. Seorang lelaki setengah baya memasuki lift, lelaki itu menjadi bagian dari meeting pagi ini. Mau tidak mau dia harus ikut naik lift itu juga.

“Tisha baru datang juga?”

“Iya Pak.” Tisha melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift.

Paling tidak dia tidak hanya berdua di dalam lift dengan lelaki yang berdiri di belakangnya sekarang. Tidak ada pembicaraan dengannya. Memang seharusnya seperti itu pikir Tisha. Pintu lift terbuka di lantai 3.

“sepertinya kita sudah terlambat.”

“semoga saja tidak pak, meeting masih akan dimulai 5 menit lagi Pak.”

Tisha keluar beriringan dengan lelaki paruh baya itu. Melirik ke belakang, lelaki dengan kemeja biru tadi tidak keluar. Artinya dia tidak menuju lantai yang sama dengannya. Begitu memasuki ruangan meeting, Tisha menghela nafas panjang.

Meeting berjalan lancar, Tisha merasa lega dia bisa fokus pada meeting tadi setelah kejadian yang mengejutkan di lift pagi tadi. Selepas meeting, Tisha kembali ke kantornya. Sepanjang perjalanan banyak pertanyaan di benaknya. Memorinya terlempar pada masa dua tahun lalu. Kenangan  yang sudah dia buang jauh tetapi tiba-tiba saja muncul dihadapannya pagi tadi. Tisha memilih memejamkan mata sepanjang perjalanan ditemani alunan musik dari handphonenya. Beruntung  dia mendengarkan kata kakaknya yang menyuruhnya untuk disopiri Pak Nomo.

*8*

“Gimana tempat  baru?” tanya Lusi, kakak Tisha.

“ Not bad. Hanya belum terbiasa dengan macetnya.” Tisha menghamburkan badannya di sofa ruang tengah.

“Makanya aku minta pak Nomo yang anter jemput kamu. Kamu juga belum hafal jalan kan.”

Tisha hanya mengangguk. Dia mengurungkan niatnya untuk menceritakan kejadian tadi pagi. Tisha tahu, dua tahun yang lalu tidak hanya dia yang merasakan  sakit tapi juga kakaknya. Biarlah sementara dia diam, toh hanya bertemu di lift dan tidak ada pembicaraan apa-apa. Jadi mungkin memang lebih baik tidak diceritakan. Malam ini rasanya dia ingin tidur cepat, energinya terkuras lebih dari hari biasanya.

Dua hari berselang, Tisha harus menuju kantor itu lagi untuk meeting lanjutan. Jantungnya berdegup lebih kencang ketika grand livina berwarna hitam itu memasuki halaman gedung itu. Menghela nafas panjang ketika pak Nomo menghentikan mobilnya tepat di depan lobby gedung.

“Pak, bapak nggak usah pulang ya, saya cuma sebentar kok meetingnya, paling lama dua jam.”

“Iya mbak, saya nunggu di parkiran.”

Dalam hati Tisha berharap semoga tidak bertemu lagi dengan lelaki itu. Dia agak ragu melangkah memasuki lobby dan menuju lift. Trauma. Sampai lift berhenti di lantai tiga lalu menuju ruang meeting, tidak ada. Lelaki itu tidak ada. Lega, Tisha menghela nafas panjang lagi. Meeting berjalan dengan lancar  hingga di akhir meeting  salah satu perwakilan dari kantor itu menyampaikan bahwa manajer perusahaan akan datang untuk bertemu dengan perwakilan dari kantor Tisha.

“Perkenalkan, beliau adalah manajer kami yang baru. Dalam meeting sebelumnya beliau tidak bisa hadir. Bapak Adrian Wicaksono. “

Seketika itu pula Tisha merasa jantungnya seakan loncat keluar.

“Aa…drian?” lirih Tisha menyebut nama itu.

“Selamat pagi, saya Adrian, manajer baru di sini. Maaf tempo kemarin saya tidak bisa hadir.” Adrian menyapa dan tersenyum kepada semua orang di ruangan itu, tidak terkecuali Tisha. Sementara Tisha hanya menunduk, mencoba menenangkan diri, tangannya gemetar, keringat dingin.

Keempat rekannya berdiri untuk bersalaman dengan Adrian, hingga giliran Tisha, dia masih duduk menunduk diam.

“Ini pasti  Saudari Tisha. Iya kan? “ Adrian mengulurkan tangannya mengajak Tisha bersalaman. “Pak Joni banyak cerita tentang presentasi yang Anda sampaikan kemarin lusa.”

Tisha sedikit mengangkat wajahnya, berdiri lalu mengulurkan tangannya.

“Iya saya Tisha, senang bertemu dengan Bapak.”

Adrian menyadari kehadirannya membuat Tisha kaget. Pertemuan di lift kemarin lusa sebenarnya juga membuat kaget Adrian. Lelaki separuh baya yang bersama dalam lift itu adalah Pak Joni. Adrian sempat memberi kode kepada Pak Joni untuk berlaku seolah  tidak mengenalnya. Seharusnya pagi itu Adrian  juga turun di lantai tiga, sama dengan Tisha dan Pak Joni. Akan tetapi, melihat reaksi Tisha ketika begitu melihatnya dan enggan satu lift dengannya itu membuat Adrian memutuskan untuk tidak menghadiri meeting pagi itu.

Tidak lama dari perkenalan dan berbincang santai sebentar, Adrian mohon diri. Kelegaan buat Tisha, waktu lima belas menit itu seperti bertahun-tahun. Tisha pamit duluan kepada teman-temannya, bergegas menghubungi pak Nomo.

*8*

Sudah hampir jam makan siang, Tisha meminta pak Nomo mengantarnya ke rumah makan di seberang kantor itu. Soto Lamongan. Tempat itu selalu ramai di jam makan siang, Tisha sudah beberapa kali ke tempat itu.

Di pesannya satu porsi soto beserta satu gelas es jeruk. Lima menit makanan yang dipesan datang. Semakin siang tempat semakin ramai. “Maaf boleh duduk di sini? Tempat yang lain sudah penuh.” tanya pembeli lain. Tisha menjawab tanpa begitu memperhatikan orang yang mengajaknya bicara,  “ silahkan.”

Dua orang dalam satu meja itu tanpa ada obrolan, Tisha memperhatikan orang yang di depannya lalu tersenyum begitu juga sebaliknya. Lalu mereka kembali menikmati pesanan mereka masing-masing. Hingga mereka teringat sesuatu, mata mereka bertemu.

“kamu?” Tisha dan orang itu serempak

“Ehh…maaf, kalau gak salah ingat sepertinya kita pernah ketemu ya?” tanya Tisha ragu

“Sepertinya, saya juga merasa seperti itu, tapi dimana ya ?”

“ Iya, saya juga lupa, tapi maaf wajah Anda sepertinya tidak asing.” Tisha menggaruk kepala berusaha mengingat

“kereta.” Mereka serempak lagi lalu tertawa.

“ Iya benar, beberapa bulan yang lalu ya. Kita naik kereta yang sama, duduk sebelahan. “

“huum… 10 E dan 10 D. aku minta tukeran tempat.”

“sebentar..nama kamu……….Tis…Tisha kalau gak salah ingat.”

“Wah ingatanmu masih bagus. Yudha kan?”

“Hahaha…kamu malah lebih bagus ingatannya.”

“Kerja di sekitar sini ya ?” tanya Tisha.

“Gak sih..mau nemuin temen. Tapi berhubung sudah makan siang mampir ke sini dulu.”

“urusan perut gak bisa ditunda ya?”

“Bener banget. Itu urusan paling urgent.” Keduanya tertawa

“Gak nyangka ketemu kamu di sini. Kerja di sini sekarang ?”

“Iya..baru sebulan sih pindah ke kota ini.”

“Lalu gimana, betah?”

“Asal kita bisa lebih bersabar dengan keadaan kota yang kurang manusiawi ini pasti bisa betah.”

Yudha hanya tersenyum sambil mengangguk mendengar jawaban Tisha. Handphone Yudha berdering di tengah obrolan mereka.

“Halo..dimana loe? Gue di tempat makan soto deket kantor loe.”

“Sama siapa loe?”

“tadi sih sendiri, tapi kebetulan gue ketemu temen gue di sini. Loe ke sini nggak ?”

“10 menit lagi gue ke situ.”

Yudha menutup telephonnya.

“Masih mau lama gak di sininya? Temenku mau ke sini.”  tanya Yudha

“Aku setengah jam lagi harus sudah di kantorku, kenapa?”

“Sekalian entar aku kenalin temenku maksudnya.”

“Boleh aja.”

Lima belas menit berlalu, teman Yudha yang ditunggu belum juga datang. Tisha melihat ke arah jam di tangan kirinya.

“Yud…kayaknya aku harus pergi duluan deh. Ada meeting lagi soalnya di kantorku. Gak apa-apa kan?”

“Okelah…oh iya aku boleh minta no HP mu?”

“Ohh iya lupa. Boleh.”

Akhirnya mereka bertukar no HP. Setelah membayar pesanannya, Tisha pamit. Begitu Tisha berdiri dan berjalan keluar, tiba-tiba dia melihat Adrian memasuki tempat makan itu. Ternyata yang dimaksud Yudha dengan teman itu adalah Adrian.

“Lama banget sih loe, hampir aja temen gue cabut.”

Sorry. Lil bit busy with my job.”

“Kenalin, temen gue Tisha.”

Adrian hanya tersenyum memandang Tisha.

“gue sudah kenal lama. Tisha ini kantor nya kan kerja sama ama kantor gue.”

“jadi kalian sudah kenal?”

Tisha hanya mengangguk tanpa sepatah kata. Dia berusaha berlaku sebiasa mungkin.

“Yud..aku harus pergi sekarang. Takut telat.”

“Oh..iya. ati-ati ya Tish. Sampai ketemu lagi.”

Tisha kembali mengangguk dan bergegas melangkahkan kakinya keluar dari tempat makan itu. Melihat Tisha yang buru-buru keluar dari tempat makan itu, Adrian berusaha mengejarnya.

“Tish..tunggu.” Namun Tisha tetap berjalan setengah berlari menuju parkiran.

Yudha menyadari ada yang tidak beres setelah sempat melihat wajah Tisha yang berubah ketika Adrian datang tadi. Yudha hanya berdiri terheran dengan perilaku aneh mereka berdua.

“Ada apa dengan mereka? Apa tadi kata Adrian, sudah kenal lama?”

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun