Pagi itu masih pukul delapan kurang ketika saya meninggalkan rumah salah satu Kompasianer yang memang asli Bandung, teh Mega Sari. Saya dan kakak saya menginap semalam di rumah teh Mega, awalnya kami berniat untuk mencari penginapan di sekitar stasiun Kiara Condong, tetapi teh Mega menawarkan untuk menginap di rumahnya saja. Lumayan bisa menghemat budget..hehe.
Dari rumah teh Mega, kami diantar ke terminal Leuwi Panjang oleh adik ipar teh Mega. Begitu sampai terminal Leuwi Panjang, saya bertanya ke salah satu petugas DISHUB yang sedang berjaga angkot mana yang mengarah ke Ciwidey. Beliau memberitahu agar kami mencari kendaraan yang berbentuk elf. Kami pun masuk ke terminal, untuk meyakinkan lagi, di dalam saya bertanya lagi ke salah seorang petugas DISHUB juga, beliau menunjuk antrian elf yang berada di sebelah belakang. Kami pun bergegas menuju elf itu.
Ketika elf sudah penuh terisi penumpang, elf yang kami tumpangi pun berangkat menuju Ciwidey. Setiap elf diisi 20 penumpang. Bisa dibayangkan bagaimana kami berdesakkan di dalam kendaraan itu. Perjalanan dari Terminal Leuwi Panjang ke Terminal Ciwidey membutuhkan waktu sekitar 1, 5 jam, hal itu karena sang sopir harus mencari rute alternatif dikarenakan ada pawai Bobotoh. Ya, kemarin hari Minggu (9/11) seperti yang ramai diberitakan, Bandung membiru. Para Bobotoh turun ke jalan untuk merayakan kemenangan tim kesayangan mereka PERSIB setelah berhasil menjadi juara ISL 2014 setelah menanti 19 tahun untuk mampu memboyong trophy itu ke Bandung.
angkot dari terminal Ciwidey ke lokasi Kawah Putih
Jam menunjukkan pukul sepuluh ketika kami turun di Terminal Ciwidey, kemudian kami mencari angkot yang akan membawa kami ke Kawah Putih. Sama halnya dengan elf tadi, angkot ke Kawah Putih baru akan berangkat ketika sudah terisi full. Akan tetapi biasanya para sopir angkot menawarkan untuk menyarter angkot. Pengunjung yang akan ke Kawah Putih nanti akan diantar ke Kawah Putih dan ditunggu, jadi tidak perlu bingung untuk jalan pulang. Bagi pengunjung yang datang tidak dalam jumlah banyak, atau hanya sendirian harus mencari teman/ pengunjung lain yang bisa diajak bareng untuk menyarter angkot, tentunya agar biaya carter bisa lebih murah.
Kami kebetulan berbarengan dengan sepasang muda-mudi dari Jakarta yang juga bertujuan ke Kawah Putih. Setelah tawar menawar dengan salah sopir angkot, kami berempat menyewa/menyarter satu angkot dengan biaya total Rp 300.000 untuk 4 orang dengan dua lokasi yakni Kawah Putih dan Situ Patenggang. Perjalanan dari terminal Ciwidey ke Pintu Masuk Kawasan Wisata Kawah Putih memerlukan waktu sekitar 45 menit sampai satu jam. Kondisi jalan naik turun dan banyak kelokan. Sangat disarankan untuk membawa makanan dan minuman karena dikawasan Kawah Putih tidak ada penjual makanan/minuman. Biasanya sopir angkot akan menawarkan untuk berhenti dulu di minimarket jika ada yang belum membawa makanan/minuman.
Begitu tiba di pintu masuk, untuk tiket masuk kemarin kami harus membayar Rp 30.000 per orang. Angka itu dihitung dari tiket masuk + tiket masuk angkot dari pintu masuk ke lokasi. Apabila tidak menyarter angkot, maka pengunjung harus turun di Pintu Masuk, dari pintu masuk itu menuju lokasi kawah putih masih sekitar 5 km. Kendaraan yang bisa digunakan adalah ontang-anting. Sebuah minibus yang dimodifikasi sedemikian rupa yang menjadi transportasi menuju lokasi. Akan tetapi jika menggunakan mobil pribadi atau menyarter angkot seperti kami maka bisa langsung sampai lokasi Kawah Putihnya. Ongkos ontang anting jika belum berubah Rp 13.000 per orang.
Kondisi jalan dari pintu masuk sampai di lokasi kawah putih yang berkelok tajam, naik turun, dan juga berlubang ditambah “kelihaian” sang sopir angkot dalam mengemudi membuat saya menyebutnya sebagai “jalur aborsi”. Dalam perjalanan naik ke lokasi itu, kami sempat melihat ada beberapa mobil pribadi yang mogok karena tidak kuat untuk jalan menanjak. Kurang dari tiga puluh menit kami sudah sampai di lokasi, aroma belerang sudah tercium begitu turun dari angkot.
Satu hal lagi yang tidak boleh terlupa ketika akan berkunjung ke Kawah Putih adalah masker. Aroma belerang yang menyengat tidak baik untuk pernapasan. Akan tetapi jika lupa membawa masker maka banyak pedagang masker yang menawarkan dagangannya dengan harga per maskernya Rp 5.000. Kebetulan saya membawa kain yang bisa digunakan sebagai masker, jadi tidak perlu membeli.
Dari parkiran untuk sampai ke kawahnya kami harus menuruni anak tangga. Dari anak tangga aroma belerang semakin menyengat di hidung. Keindahan kawah putih sering digunakan pasangan yang ingin melakukan foto prewedding. Pengunjung Kawah Putih sangat ramai waktu kami ke sana, mungkin karena bertepatan dengan weekend. Warna air kawah yang putih kebiruan sangat kontras dengan sekelilingnya. Kawah Putih terbentuk akibat letusan gunung Patuha dan ditemuka pertama kali oleh seorang peneliti asal Jerman, Franz Wilhem Junghun. Di Kawah Putih itu terdapat hutan Cantigi, salah satu pohon yang mampu hidup paling dekat dengan kawah.
Selama di sana, beberapa kali terdengar pengumuman dari bagian informasi yang mengumumkan himbauan bagi para pengunjung yang ingin melanjutkan perjalanan ke Bandung agar mencari jalan alternative dikarenakan ada pawai Bobotoh.
Dari hal itu saya heran, pawai bobotoh hari itu ternyata berdampak yang luar biasa, hingga di tempat wisata yang notabene jauh dari lokasi para Bobotoh merayakan kemenangannya yakni di Gasibu sampai memberikan himbauan seperti itu. Sebenarnya dari pagi saya sudah diingatkan oleh teman saya untuk tidak jangan terlalu lama di kawah putihnya, dikhawatirkan saya bakal terjebak macet dan akan tertinggal kereta pulang.
Setelah puas mengambil foto kami pun memutuskan untuk segera kembali ke atas karena nafas sudah mulai berat dan tenggorokan sudah mulai kering. Bagi yang ingin mengabadikan momen di Kawah Putih juga tersedia jasa foto langsung cetak dengan harga Rp 10.000 per lembarnya.
Keluar dari Kawah putih, sang sopir angkot membawa kami ke destinasi kedua, yakni Situ Patenggang. Butuh waktu sekitar 25 menit dari kawah putih. Pemandangan selama perjalanan membentang area perkebunan teh Rancabali yang menyejukkan dan hijau sepanjang mata memandang. Perkebunan teh itu dikelola oleh PTPN VIII. Banyak pengunjung yang menepikan kendaraan mereka dan berhenti untuk berfoto-foto .
Situ Patenggang merupakan danau dengan pulau kecil ditengahnya yang terkenal dengan pulau Asmara dengan “batu cinta “ nya. Kemarin kami harus membayar Rp 20.500 per orang, itu adalah uharga untuk weekend. Mitos yang terkenal dari Situ Patenggang ini sendiri adalah tentang cinta Ki Santang dan Dewi Rengganis. Mereka berdua saling cinta tetapi berpisah cukup lama, kemudia bertemu kembali di titik yang disebut dengan “Batu Cinta”.
Setelah bertemu, Dewi Rengganis meminta untuk dibuatkan danau dan perahu. Diyakini perahu itu sekarang adalah pulau yang berbentuk hati dan masyarakat menyebutnya dengan “Pulau Asmara”. Untuk mengelilingi Pulau Asmara dan menuju Batu Cinta pengunjung bisa menumpang perahu dengan membayar Rp 30.000 per orang. Kepercayaan yang berkembang di masyarakat, bagi pasangan yang mengelilingi pulau Asmara dan datang ke batu cinta itu maka cintanya akan abadi.
Dikarenakan waktu yang terbatas, kami memutuskan untuk tidak pergi ke Pulau Asmara. Kami hanya sekitar 45 menit di Situ Patenggang. Kami segera kembali ke Terminal Ciwidey. Sedari awal sopir angkot sudah memperingatkan kami bahwa waktu kembali ke kota Bandung diusahakan jangan terlalu sore jika kami tidak ingin terjebak arak-arakan bobotoh. Dari situ saya kembali terheran, pengaruh pawai Bobotoh hari ini memang luar biasa sepertinya . Mendung sudah gelap dan hujan mulai turun. Kami sampai di terminal Ciwidey sekitar pukul empat kurang. Setelah melakukan pembayaran dengan sopir angkot, kami segera mencari elf yang akan membawa kami sampai Terminal Leuwi Panjang lagi. Kurang dari setengah jam elf yang kami tumpangi sudah penuh. Dan lagi-lagi kami berdesakan di dalam elf dengan jumlah penumpang 20 orang itu.
Perjalanan pulang kami menuju terminal Leuwi Panjang ternyata jauh lebih cepat dibanding waktu berangkat tadi. Kami hanya membutuhkan waktu 1 jam saja. Sampai di terminal Leuwi Panjang itulah kami mulai bingung. Kami belum jelas angkot mana yang harus kami cari untuk membawa kami kwe stasiun Kiara Condong. Setelah bertanya ke sopir elf, bapak itu menyarankan kami untuk menumpang angkot jurusan Cicaheum. Dari kejauhan kami mendengar seorang bapak berteriak..Caheum..caheum…Mendengar hal itu kami mendekati dan bertanya apakah melewati Kiara Condong atau tidak. Bapak itu justru menjawab, “Ada Persib Neng, Gatsu ditutup. Nanti saya turunkan di jalan Jakarta saja.” Satu lagi yang membuat saya terheran, pawai Bobotoh membuat jalan Gatot Subroto (Gatsu) ditutup.
Waktu semakin sore, kami mau tidak mau harus menumpang angkot itu. Begitu keluar dari terminal, kami langsung disambut kemacetan. Suara raungan motor terdengar, ya Bobotoh. Sekumpulan bobotoh mulai dari 5- 10 motor menyalip, mereka tentunya menggunakan atribut dan bendera. Sepanjang pinggir jalanpun yang ada warna biru semua. Penonton yang memadati pinggir jalan tidak kalah ramainya. Mereka mengacungkan jempol ketika rombongan itu melintas di depan mereka. Angkot yang kami tumpangi hanya mampu berjalan pelan, sementara kami terus dikejar waktu kedatangan kereta. Kami sempat khawatir kami akan terlambat sampai di stasiun.
[caption id="attachment_374516" align="aligncenter" width="448" caption="atribut yang tidak boleh ketinggalan"]
Perjuangan kami belum selesai, sopir angkot menurunkan kami di sebuah lampu merah. Suasana waktu itu macet sekali dan kami turun diantara antrian para bobotoh dengan raungan motornya. Sempat khawatir dengan keamanan diri kami sendiri. Setelah nya kami menyeberang dan mencari angkot jurusan Elang- Cicadas yang berwarna merah. Kami menunggu angkot diantara bobotoh yang berjejer di pinggir jalan. Akhirnya angkot yang kami tunggu datang. Beruntung saat kami menunggu angkot itu jalan Gatot Subroto sudah dibuka kembali walaupun masih membiru di kanan kirinya. Hampir satu jam kami terjebak dalam kemacetan itu, namun akhirnya kami bisa sampai dan masih punya waktu untuk makan sebelum kereta datang.
Akhirnya, waktu juga yang harus mengakhiri plesiran saya ke Bandung waktu itu. Banyak pengalaman dan keseruan yang saya dapatkan dari sana. Masih banyak tempat di negeri ini yang ingin saya datangi. Simak dan nikmati berbagai destinasi yang tidak kalah menarik di http://www.indonesia.travel/wonderfulindonesia/.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H