Membaca tulisan Kampretos kemarin Sabtu tentang “jebul”membuat saya penasaran. Awalnya saya tidak tahu apa itu jebul karena saya tergolong baru di Kompasiana ini, tahu soal ada “kampret” pun belum lama. Alhasil setelah ngubek-ngubek tulisan sebelumnya, ternyata jebul adalah jepret bulanan. Dan tema kali ini adalah tentang “rumah”. Hmm walaupun saya bukan anggota kampret dan juga tidak pinter dalam foto (boro-boro pinter ya)…lha wong moto aja cuma sesukanya dan seadanya tapi saya tetep ingin ikutan jebul ini.
Membicarakan soal rumah, bagi saya rumah adalah salah satu tempat semua cerita bertemu. Setelah setiap anggota rumah sibuk dengan kegiatan masing-masing lalu rumah adalah sebagai tempat untuk cerita dari masing-masing itu bertemu dan bertukar.
Setiap jengkal bagian rumah pun juga memiliki ceritanya sendiri, entah itu dari peralatan dapur, elektronik atau yang lainnya. Berawal dari “lincak”, kursi panjang dari bambu. Lincak ini ditaruh di teras, biasanya setiap sore saya dan orang tua saya duduk-duduk di lincak sambil menunggu waktu maghrib tiba. Di situ pula biasanya tukar cerita itu berlangsung.
lincak bambu
Bapak membeli lincak itu kurang lebih sudah 4 tahun yang lalu. Waktu itu sore hari juga, seorang penjaja lincak keliling dengan motor lewat di dekat rumah kami. Penjaja itu menawarkan lincaknya kepada kami yang kebetulan sore itu sedang nyantai di teras. Setelah tawar-menawar, lincak itu bisa bapak beli dengan harga 50.000 rupiah. Sampai sekarang kondisi nya masih bagus, tidak “bubuken” atau lapuk bambunya. Adakah yang juga punya di rumah kursi seperti itu ?
Bergeser ke pojokkan teras, disitu ada satu tanaman. Bunga dari tanaman itu sangat wangi, apalagi kalau malam hari. Pernah suatu ketika saya keluar ke teras. Di teras itu saya mencium wangi yang begitu menusuk hidung. Saya tidak menyadari kalau tanaman itu sedang berbunga.
Bulu kuduk sudah merinding mengira itu adalah aroma dari hal-hal yang ada di film-film horror :D. Langsung saja saya masuk ke rumah lagi, setelah bilang ke ibu kalau saya mencium aroma wangi di teras, ibu bilang kalau itu berasal dari tanaman di pojokan teras itu. Kemudian saya keluar lagi untuk membuktikannya. Benar saja, ketika saya mendekat ke bunga itu wanginya semakin tercium.
Setelah teras, kita menuju ke halaman. Di halaman rumah ada pohon mangga manalagi. Kebetulan sekarang sedang berbuah. Pohon mangga ini ditanam oleh bapak, waktu itu kalau saya tidak salah ingat waktu saya masih TK. Pohon mangga ini juga hanya pemberian. Entah dalam program apa pemerintah membagikan 3 bibit pohon untuk setiap kepala keluarga. Pembagian pohon itu ada dua macam yakni bibit pohon mangga dan rambutan. Bapak memilih 3 bibit pohon mangga semua. Alasannya sederhana saja, rambutan sudah ada di tempat simbah. Tahun ini pohon mangga depan rumah berbuah lebih banyak dari biasanya. Dari 3 pohon itu biasanya paling banyak hanya ada 5 buah yang bisa bertahan sampai masak. Lainnya kalau tidak jatuh saat masih kecil karena kering, juga busuk karena ulat.
Memasuki dalam rumah, kalau kepanasan pasti butuh AC atau kipas angin tapi adakah yang di rumah punya barang satu ini ?
Kipas bambu. Ya, atau kebanyakan orang mungkin menyebutnya kipas sate. Hal itu karena penjual sate biasanya menggunakan kipas semacam itu untuk mempercepat matangnya sate. Kuno sudah tidak jaman bagi sebagian orang. Tapi tidak untuk bapak. Bapak masih setia menggunakan itu jika kepanasan. Tidak membuat masuk angin katanya, berbeda dengan AC atau kipas angin.
Selain kipas bambu itu, ada juga gelas yang saya menyebutnya “gelas kebesaran”. Selain karena memang ukurannya yang jumbo juga karena gelas itu adalah gelas khusus milik bapak. Kebiasaan bapak minum teh tubruk sudah dari dulu. Kebiasaan ini sepertinya nurun dari mbah kakung. Setiap harinya, teh tubruk untuk bapak dibuat dengan gelas itu. Gelas ini sebenarnya merupakan gelas pengganti.
Gelas kebesaran sebelumnya ukurannya justru lebih kecil dari yang sekarang. Warna gelas itu merah bening. Gelas itu sudah lama, kata ibu sudah dari ibu dan bapak awal-awal nikah. Lama banget ya, tapi akhirnya gelas itu pecah beberapa tahun yang lalu. Setelah gelas itu pecah diganti dengan gelas yang ukurannya hampir sama dengan yang lama, warnanya biru. Tapi itu hanya bertahan beberapa saat karena saya memecahkannya. Dan akhirnya diganti lagi dengan yang sekarang. Awalnya bapak sempat protes karena gelas yang baru kenapa warnanya putih bening. Bukan merah atau biru seperti sebelumnya. Alasan saya, itu yang gede yang ada di toko yang berwarna justru lebih kecil. Dan akhirnya bapak menerimanya. Hihihi
Mainan milik keponakan ini juga menjadi bagian dari isi rumah. Mainan berbentuk donat warna-warni itu hanya keluar dari tempat penyimpanan ketika keponakan datang saja. Karena kakak tidak serumah lagi dengan kami. Setelah mereka pulang, otomatis mainan ini juga masuk ke tempat penyimpanan lagi.
Bergeser ke sudut lain, ada beberapa diktat dan buku milik saya sewaktu masih kuliah dulu yang saya jejer di rak.
Selain laptop satu benda ini juga setia menemani saya di waktu luang. Headset, mendengarkan musik adalah salah satu hobi saya. Siapa sih yang tidak suka dengan musik?
Dan melihat Kuprit serius membaca novel di hari yang mendung seperti ini dari pada mengganggu, sepertinya lebih enak menikmati pisang goreng dan teh manis hangat ya… Yuk goreng dulu ..hihihi
Tulisan lain yang lebih menarik cek di sini ya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H