Setelah menemukan bukti kuat adanya transaksi suap, Komisi Pemberantasan Korupsi melancarkan Operasi Tangkap  (OTT) dan berhasil menyita uang tunai Rp 12 miliar, USD 500, dan  dokumen penting lainnya. Beberapa pelaku yang ditangkap dalam OTT ini antara lain petugas dinas PUPR dan kontraktor swasta.
Pasca OTT, Komisi Pemberantasan Korupsi terus melakukan penggeledahan dan pengumpulan barang bukti di banyak lokasi terkait kasus tersebut, antara lain kantor pemerintah, rumah pribadi, dan tempat usaha. Proses ini dilakukan untuk mendukung temuan awal dan memastikan bahwa semua bukti yang relevan telah dikumpulkan.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga memanggil sejumlah pihak untuk dimintai keterangan. Wawancara saksi ini melibatkan pejabat pemerintah daerah, kontraktor, dan pihak ketiga lainnya untuk mengungkap detail proses suap. Setelah cukup bukti dan keterangan saksi, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Sabirin Noor sebagai tersangka bersama enam orang lainnya yang  terlibat dalam  tender proyek tersebut dan diduga menerima suap.
Setelah menetapkan tersangka, KPK melakukan penyelidikan lebih detail untuk menelusuri aliran dana dan mengetahui kemungkinan keterlibatan pihak lain. Sabirin Noor dan lainnya ditangkap untuk mencegah upaya menghancurkan bukti atau mempengaruhi saksi.
Tahap akhir penyidikan adalah melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikol). Pada tahap ini, Komisi Pemberantasan Korupsi berperan sebagai jaksa yang memberikan bukti kepada majelis hakim untuk memastikan keadilan ditegakkan.
Proses ini menunjukkan profesionalisme KPK dalam menangani kasus korupsi besar, meski kerap mendapat tekanan dan hambatan. Langkah yang diambil diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku korupsi dan memperkuat keutuhan sistem nasional.
Berdasarkan bukti awal yang diperoleh oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus dugaan suap yang melibatkan Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, mengindikasikan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pelanggaran tersebut terutama terkait dengan pasal-pasal yang mengatur tindak pidana penerimaan suap dan penyalahgunaan wewenang.
Bukti awal menunjukkan bahwa Sahbirin Noor, bersama dengan beberapa pejabat Dinas PUPR dan pihak swasta, diduga menerima suap dalam pengaturan tender proyek infrastruktur di Kalimantan Selatan. Suap ini diberikan untuk memanipulasi proses lelang sehingga proyek tersebut dimenangkan oleh perusahaan tertentu. Aliran dana yang disita dalam operasi tangkap tangan (OTT), yakni Rp12 miliar dan 500 dolar AS, menjadi indikasi kuat adanya transaksi ilegal.
Tindakan ini melanggar Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor yang melarang pejabat publik menerima hadiah atau janji terkait jabatan mereka, terutama jika hadiah tersebut diberikan untuk memengaruhi keputusan mereka. Selain itu, keterlibatan pejabat dalam pengaturan proyek juga melanggar prinsip akuntabilitas dan transparansi sebagaimana diamanatkan dalam regulasi pengelolaan keuangan negara.
penanganan yang tepat dapat dilakukan dengan teori fraud triangle yaitu Dengan memahami tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi dalam teori fraud triangle, pemerintah dapat merancang langkah-langkah pencegahan yang lebih efektif. Pendekatan ini tidak hanya membantu mengurangi korupsi tetapi juga membangun sistem pemerintahan yang lebih bersih dan akuntabel.Â
Memastikan bahwa sumber pendanaan kampanye pejabat publik berasal dari sumber yang sah dan transparan.Â