bersama pasangan, mewujudkan ketertiban administrasi perkawinan pada masyarakat dan di samping itu untuk menjamin tegaknya hak dan kewajiban suami istri, pihak suami atau istri mempunyai bukti kuat atas terlaksanakannya suatu ikatan pernikahan, tidak hanya menjadikan perkawinan tersebut sah di mata hukum, namun suami istri tersebut juga terlindungi secara hukum dari kemungkinan terjadinya pelanggaran hak yang hadur dari hubungan perkawinan, seperti jika terjadi penelantaran diri dan anak yang lahirkannya, kekerasan dalam rumah tangga, maka oleh karena itu pencatatan nikah sangat berdampak bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dicatatkan dan anak tersebut akan mendapat perlindungan hukum yang baik, adanya kepastian hukum terhadap gilirannya yang membantu proses terciptanya kehidupan  berumah tangga yang baik sakinah mawaddah wa rahmah. Dengan demikian, maka pencatatan perkawinan akan banyak menimbulkan kemaslahatan bagi keduanya, yaitu bagi suami maupun istri.
Dampak sosiologis : sangat berpengaruh kepada anak, karena anak-anak yang masih belajar di sekolah umum harus mengikuti pelajaran agama yang tidak sejalan dengan agamanya atau keyakinannya.
Dampak religius : perkawinan merupakan sebuah peristiwa yang sakral dan termasuk peristiwa hukum, karena ketentuan hukum agama dan keyakinan individu pihak turut menentukan sah atau tidaknya perkawinan tersebut.
Dampak yuridis : Secara hukum nikah siri tidak pernah dianggap ada (tidak sah), oleh sebab itu akibatnya akan merugikan wanita atau anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut, wanita tersebut tidak memiliki hak nafkah dan harta bersama apabila terjadi perceraian.
4. Pendapat para ulama tentang pernikahan wanita hamil
(1) Menurut Imam Abu Hanifah, menjelaskan apabila yang menikahi wanita hamil adalah laki-laki yang menghamilinya, maka  hukumnya boleh. Tetapi jika yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak diperbolehkan menggaulinya hingga wanita itu melahirkan.
(2) Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, mengatakan bahwa laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh menikahi wanita hamil, kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan sudah tidak pula berada dalam masa 'iddah. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut sudah bertobat dari zina yang pernah dilakukannya. Jika belum bertobat dari zina, maka dia belum boleh dinikahi oleh siapapun.
(3) Menurut Imam Asy-Syafi'i yang menerangkan bahwa baik laki-laki yang menghamili ataupun laki-laki yang tidak menghamili diperbolehkan menikahinya.
Menurut KHI
Wanita yang hamil di luar nikah, bisa dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya.
Perkawinan yang dilakukan dengan wanita hamil, disebut pada ayat (1) bahwa perkawinan itu bisa dilangsungkan tanpa harus menunggu terlebih dahulu kelahiran anaknya.