Di negara kaya sumber daya alam seperti Indonesia, ternyata isu pangan masih menjadi persoalan kompleks hingga hari ini. Meskipun memiliki keanekaragaman hayati yang berpotensi mendukung ketahanan pangan nasional, berbagai tantangan pemanfaatan masih menjadi kendala signifikan. Di satu sisi, Indonesia memiliki akses terhadap berbagai macam sumber pangan, tetapi di sisi lain, ketergantungan terhadap impor bahan pokok tinggi. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar, sudah efektifkah sistem pangan nasional dan kebijakan dalam menjaga kemandirian pangan?
Ketahanan pangan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi produksi pangan, distribusi, kebijakan impor, dan perilaku konsumen. Perilaku konsumen ini sangat berpengaruh terhadap keseluruhan ekosistem ketahan pangan. Sering kali muncul ujaran, "Belum makan, kalau belum makan nasi." Artinya, pandangan umum masyarakat bahwa makan harus mengonsumsi nasi sebagai sumber karbohidrat telah menimbulkan salah kaprah persepsi yang memiliki dampak serius. Dalam konteks ini, beras menduduki tingkat tertinggi dalam pemenuhan karbohidrat masyarakat, padahal Indonesia berlimpah sumber pangan alternatif, seperti singkong, sorgum, sagu, jagung, ubi, dan kacang-kacangan.
Berdasarkan data, tingkat konsumsi beras terus naik dari tahun ke tahun. Pada 1954, tingkat konsumsi beras sebesar 53,5%; naik menjadi 81,1% pada 1981; hingga 74,6% pada 2017 (Sjamsul Hadi, data diolah dari Rachman dan Ariani, 2008). Data ini menunjukkan pola konsumsi masyarakat yang semakin homogen dan menempatkan sumber karbohidrat alami lain jauh di bawah konsumsi beras. Masyarakat kita saat ini begitu gemar mengonsumsi beras dan produk olahan gandum.
Tingginya tingkat konsumsi masyarakat terhadap beras dan produk olahan gandum menyebabkan persoalan kompleks. Selain pemenuhan stok beras dan gandum dalam negeri yang tinggi, masyarakat juga berhadapan dengan berbagai risiko kesehatan yang muncul akibat mengonsumsi makanan secara homogen dalam jangka waktu lama. Selain itu, hal ini juga berkaitan dengan kebijakan impor. Ketergantungan terhadap impor bahan pangan, seperti beras, gandum, gula, garam, dan daging sapi menunjukkan bahwa negeri ini belum sepenuhnya mampu mengoptimalkan sumber daya. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, seperti ketidaksesuaian pola konsumsi pangan lokal dengan pola produksi, gap teknologi yang tidak mendukung produktivitas, serta kebijakan yang tidak pro-swasembada pangan.
Tingginya ketergantungan impor beras dan gandum, misalnya, disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, gandum merupakan komoditas subtropis. Artinya, sulit bagi petani untuk menanam gandum di Tanah Air. Sementara itu, beras tetap menjadi makanan pokok paling dominan. Padahal, keberagaman hayati memungkinkan alternatif pangan, seperti sagu, singkong, ubi jalar, dan jagung, yang sudah menjadi bagian dari budaya pangan di beberapa daerah di Indonesia. Namun, aneka pangan lokal alternatif ini belum mendapat dorongan kuat dari pemerintah atau masyarakat. Di sinilah kompleksitas ketahanan pangan Indonesia tampak, walau kaya sumber pangan alternatif, tetapi permintaan dan kebijakan belum sepenuhnya mendukung. Artinya, dibutuhkan komitmen politik tinggi dari para pemangku kebijakan untuk mendorong program swasembada pangan lokal secara masif.
Tantangan Pangan Lokal
Indonesia memiliki lebih dari 70 varietas sumber karbohidrat jenis tanaman pangan yang dapat dikembangkan menjadi pangan alternatif, 100 varietas kacang-kacangan, dan 450 varietas buah-buahan (Sjamsul Hadi, materi presentasi, 2024). Namun, konsumsi dan produksi pangan masih terpusat pada beberapa jenis saja. Faktor utama yang memengaruhi hal ini adalah pola konsumsi masyarakat yang cenderung mengikuti tren global. Dampaknya, sumber pangan lokal yang berpotensi besar kurang diminati oleh masyarakat, sedangkan komoditas yang tidak bisa diproduksi lokal justru meningkat. Bahkan, berbagai pangan alternatif bergizi kompleks seperti umbi-umbian dianggap lebih inferior dibanding beras. Oleh sebab itu, konsumsi umbi-umbian untuk pemenuhan gizi harian masyarakat menurun drastis. Data menunjukkan, pada 1954 tingkat konsumsi umbi-umbian masyarakat sebesar 22,26%, tetapi pada 1999 anjlok hingga 8,83% saja (Sjamsul Hadi, materi presentasi, 2024).
Selain itu, para petani kita juga menghadapi tantangan lain, seperti keterbatasan teknologi, khususnya di sektor hulu. Berbagai tanaman lokal potensial sering kali tidak mendapatkan dukungan memadai dari sisi penelitian dan pengembangan. Selain itu, distribusi produk pertanian yang tidak merata juga menjadi kendala besar, khususnya di negara kepulauan seperti Indonesia. Tanpa infrastruktur yang memadai, banyak daerah dengan potensi pangan lokal sulit berkembang.
Penguatan Ketahanan PanganÂ
Dari segi kebijakan, strategi ketahanan pangan Indonesia harus lebih difokuskan pada kemandirian pangan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati. Misalnya, dengan cara diversifikasi pangan dan mengedukasi konsumen. Mengubah pola konsumsi masyarakat dari harus "makan nasi" menjadi diversifikasi pangan lokal merupakan langkah yang sangat penting. Pemerintah dapat mendorong kampanye nasional untuk memperkenalkan makanan berbasis sagu, sorgum, singkong, dan ubi sebagai makanan alternatif. Edukasi masif dengan cara mengedepankan manfaat gizi dan potensi ekonomi dari bahan pangan lokal bisa membuat pola makan masyarakat berubah, terutama di kalangan generasi muda. Kegiatan kampanye bisa dilakukan di berbagai paltform dan cara, salah satunya melalui lomba menulis artikel bertema ketahanan pangan oleh Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia. Hal ini menjadi penting, sebab edukasi yang masif dan berkala dapat mengubah perilaku konsumsi masyarakat. Selain itu, dengan mendorong pangan lokal sebagai pilihan utama ketergantungan terhadap sumber pangan impor dapat diminimalisasi.
Kemudian, perlu penguatan sistem pertanian lokal berbasis teknologi. Sebab, persoalan teknologi memang masih menjadi masalah dalam industri pertanian kita. Pemanfaatan teknologi pertanian modern sangat penting untuk meningkatkan produktivitas produksi pangan lokal. Teknologi dapat diaplikasikan pada pengembangan varietas unggul yang tahan terhadap perubahan iklim dan hama, yang tidak hanya dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan besar penghasil benih saja. Pada saat yang sama, investasi dalam riset dan pengembangan, khususnya untuk tanaman pangan lokal, perlu dilakukan agar petani memiliki akses terhadap benih dan teknologi yang dapat menunjang produktivitas lahan.