Syukur Alhamdulillah. Akhirnya nama-nama bakal cawapres Prabowo Subianto mengerucut juga. Dari berita, saya baca ada tiga orang yang masuk bursa. Mereka adalah Ustaz Abdul Somad (UAS), Salim Segaf Al Jufri (SSA), dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)
Dari segi kapasitas dan kapabelitas, saya pikir ketiganya kagak usah disangsikan. Lha, sudah masuk kantong Prabowo, kok? Apa lagi yang mau diragukan. Prabowo pasti sudah menimbang masa-masak ketiga nama itu. Masak Prabowo mau main-main buat pilpres?
Masalahnya, cuma ada satu kursi cawapres. Mau kagak mau, ketiga nama itu mesti diperas jadi satu nama. Rasionalnya sih kandidat yang paling signifikan dalam mendongkrak elektoral Prabowo yang dipilih. Paling kagak, kita bisa prediksi sumbangan elektoral masing-masing kandidat dari aspek Islam dan generasi milenial.
Aspek Islam
Sekilas UAS emang paling mewakili umat Islam ketimbang SSA dan AHY. Soalnya, UAS kan dai kondang banget, popular pisan. Tapi, jangan remehkan SSA. Selain aktif di PKS, SSA punya darah keturunan Sayyid Idrus bin Salim Aljufrie, ulama besar dari Palu. Â Terus bagaimana dengan AHY?
AHY kesohor sebagai sosok pemuda muslim religius. Dia punya darah hijau islam di darahnya. Raden Soekotjo ayahnya SBY itu adalah anak dari salah satu pendiri Pesantren Gontor Ponorogo. Sedangkan  neneknya AHY, Siti Habibah adalah salah seorang putri keluarga besar Pesantren Tremas, Pacitan.
Bahkan, kalo kita lacak lebih dalam lagi, AHY itu keturunan Fatahillah, ulama plus pahlawan pembebas Jakarta dari cengkeraman Portugis. Jadi wajar aja kalo AHY disapa "teungku" oleh para ulama Aceh, plus dapat gelar kehormatan dari Kesultanan Islam Ternate Tidore.
Terus sejauh mana sih sisi "keulamaan" buat mengenjot kemenangan di Pilpres? Catatan Pilpres kita gelap, Bro. Pas Pilpres 2004, Megawati mengandeng Hasyim Muzadi, trus Wiranto maju bareng Solahuddin Wahid. Tapi mereka tetap gagal mengalahkan SBY-Jusuf Kalla. Padahal, Hasyim dan Solahuddin itu dua ulama besar dari NU lho? Nasib serupa juga menimpa Amien Rais yang jadi "perwakilan" Muhammadiyah.
Kesimpulannya, representasi "keulamaan" kagak ujug-ujug bikin kandidat itu menang pilpres. Ada aspek lain yang juga perlu dihitung. Dan buat Pilpres 2019, salah satunya adalah aspek generasi milenial.
Aspek Generasi Milenial
Diprediksi, 40 persen pemilih Pemilu 2019 tergolong kalangan milenial. Ini setara 78,6 juta pemilih. Karena itu, merebut suara generasi milenial jadi penting. Kagak usah mikir panjang-panjang, kita pasti sepakat sosok SSA kurang menjual di kalangan anak muda 17- 35 tahun itu.
Begitu juga dengan UAS. Meski aktif main medsos, UAS kurang bisa menampilkan karakter generasi milenial. Yang namanya generasi milenial kan sukanya sosok yang fresh, trendy, dan cool. Karakter kayak ini ada pada AHY.
Beda dengan aspek "keulamaan" tadi, aspek kalangan milenial signifikan dampaknya. Ingat kagak Pilpres 2014? Jokowi sukses menampilkan diri sebagai perwakilan kalangan milenial ketimbang Prabowo.
Bahkan tren ini kebawa-bawa sampai Pilkada. Ahok, AHY dan Sandiaga Uno itu terang-terang mewakili generasi millennial pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Ridwan Kamil (Jabar), Emil Dardak (Jatim) dan Ganjar Pranowo (Jateng) Â juga begitu di Pilkada 2018. Figur-figur ini lebih sukses meraup suara milenial ketimbang sosok-sosok yang konvensional.
Elektoral Survei
Dari dua aspek di atas, saya pikir sudah tergambar kalo pilihan yang paling rasional adalah Prabowo-AHY. Tapi, kalo dianggap masih "kurang" ilmiah, yuk bergeser ke survei elektabilitas. Saat ini AHY digadang-gadang sebagai cawapres favorit oleh hampir semua lembaga survey. Sementara nama UAS dan SSA hampir-hampir kagak kedengaran.
Jadi, kalo kita ngotot memajukan UAS atau SSA sebagai cawapres Prabowo, saya takut kerja kita mesti lebih ekstra lagi. Soalnya, kesukaan doang kagak cukup. Kesukaan itu kudu diubah jadi elektabilitas. Kita mesti kerja keras meyakinkan publik kalo UAS dan SSA bukan cuma buat dikagumi, tapi mereka juga mampu untuk menyelesaikan masalah Indonesia, sehingga mesti dipilih.
Menggenjot elektabilitas UAS dan SSA pasti berat banget. Jauh lebih sulit daripada "perang" kita di Pilgub Jabar dan jateng tempo hari. Beda dengan pilgub yang satu per satu, yang bisa bikin kita fokus. Pilpres besok kan serentak sama pileg. Jadi, energi parpol pengusung pasti terpecah buat ngurusin pileg juga. Ibaratnya, saat Jokowi dan cawapresnya sudah berlari, Prabowo dan cawapresnya (UAS/SSA) masih merangkak-rangkak.
Target MenangÂ
Tapi semua berpulang balik kepada kalangan oposisi. Buat apa perjuangan Pilpres 2019 ini? Apa tagar #gantipresiden2019 itu serius? Kalo cuma biar Prabowo bisa jadi capres, ya cukup sampai di sini saja. Ketum Demokrat, PKS dan PAN suruh gambreng saja buat menentukan cawapres Prabowo.
Tapi kalo targetnya benar-benar buat menjungkal Jokowi, Prabowo kagak boleh main-main. Harus benar-benar dihitung siapa cawapresnya. Kalo menurut saya, yang paling rasional ya Prabowo-AHY.
Meski UAS punya popularitas, tapi dia kan sudah menolak. Pengen fokus dakwah. Keinginan ini wajib kita pertimbangkan. Sementara SSA rasanya masih kurang paten buat mengenjot elektoral Prabowo. Saran saya sih UAS dan SSA tetap partisipasi dalam gerakan #gantipresiden2019. Tapi bukan sebagai cawapres, melainkan sebagai vote getter pemilih Islam.
Jika targetnya untuk menang, yang paling rasional adalah memajukan Prabowo-AHY. Itu juga kalau kita mau jujur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H