Mohon tunggu...
Santi Septiani
Santi Septiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Di setiap kata yang tertulis, terbentang dunia yang tak terhingga

Seorang perempuan yang sedang berusaha menciptakan jejak bermakna dalam perjalanan hidupnya menuju impian sebagai seorang guru Bahasa Indonesia yang mampu memberi inspirasi dan wawasan untuk banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gunjingan di Balik Pintu Kelas

9 Januari 2025   09:20 Diperbarui: 9 Januari 2025   11:26 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

           Pagi itu, suasana di SMA Kota B nampak tenang, namun di balik ketenangan tersebut ada sedikit kegelisahan yang sulit diabaikan. Matahari baru saja muncul dari balik awan tipis, menebarkan cahaya lembut ke seluruh halaman sekolah yang dipenuhi dengan suara burung berkicau. Beberapa siswa sudah berkumpul di depan gerbang, berdiri sambil bercanda ringan, sementara yang lain asyik bercakap-cakap di koridor. Angin pagi yang sejuk menyapu dedaunan, membuat udara terasa segar meskipun ada sedikit ketegangan di antara siswa-siswi yang sudah siap untuk memulai hari.

            Ruang kelas masih sunyi, hanya terdengar langkah kaki para siswa yang mulai masuk ke kelas masing-masing. Jam dinding menunjukkan sudah melewati waktu mulai kegiatan belajar mengajar (KBM), tetapi belum ada tanda-tanda kedatangan Bu Lola untuk masuk di kelas XII 3 IPS. Meja guru di depan kelas kosong, membuat beberapa siswa mulai saling menatap sambil berbisik pelan. Beberapa dari mereka tersenyum kecut, seolah sudah terbiasa dengan kebiasaan Bu Lola yang kurang baik. Pagi itu, sekali lagi, kehadiran Bu Lola menjadi topik bisik-bisik di kalangan mereka.

            Bu Lola adalah guru yang dikenal lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang guru. Sudah dua tahun ia mengajar mata pelajaran Antropologi di SMA Kota B. Ia sering sekali datang terlambat, bahkan tak jarang setiap jam mengajarnya, kelas selalu kosong. Ia jarang sekali memberi materi yang jelas, jika pun masuk kelas, ia lebih suka duduk di belakang meja sambil asyik memainkan ponselnya. Siswa-siswi pun mulai memperhatikannya, dan tentu saja, gosip tentang kelalaian Bu Lola mulai menyebar di kalangan mereka.

            “Aduh, Bu Lola, lagi-lagi ngasih tugas doang, tapi nggak pernah dijelasin perihal materi   yang dijadikan tugas, kan gak ngerti ini”, keluh Lani, salah satu siswi paling kritis di kelas.

            “Iya, dia nggak peduli sama kita deh kayaknya. Biasa lah, yang penting absennya diisi”,   sahut Arya, teman sekelasnya sambil tertawa kecil.

            Gunjingan itu tak hanya terjadi di satu kelas, tetapi merembet ke kelas-kelas lain yang terdapat jadwal mengjar Bu Lola. Para siswa mulai tidak respek terhadap Bu Lola. Bahkan beberapa siswa sengaja tidak pernah mengerjakan tugas yang diberikan karena merasa gurunya pun tidak serius.

            Suatu hari, tanpa sengaja, Bu Lola mendengar percakapan murid-muridnya dari balik pintu kelas yang belum sepenuhnya tertutup.

            “Eh, kamu lihat nggak nilai ulangan kemarin? Hampir semua nilai tugas kita sama kan?   Jadi, kalo ada tugas dari dia lagi, ya kita kerja sama aja, toh Bu Lola nggak bakalan ngecek hasil tugas kita dengan serius, ya gak?”, ujar seorang siswa.

            “Iya, haha... ngapain juga belajar kalau gurunya aja malas. Mending main Mobil Legend sambil jajan di kantin, toh dia juga nggak bakal peduli,” timpal yang lain sambil tertawa.

            Perlahan, perasaan tidak nyaman mulai merayapi hati Bu Lola. Setiap kata yang keluar dari mulut murid-muridnya seolah menghujam jiwanya. Selama ini, dia berpikir bahwa perilakunya hanyalah urusannya sendiri, tapi sekarang dia melihat bahwa sikapnya telah meracuni anak-anak yang seharusnya dia bimbing.

***

            Malam itu, suasana di rumah Bu Lola terasa sunyi. Ia duduk di ruang tamu yang sederhana, dengan cahaya lampu yang redup, ia menatap keluar jendela. Langit malam tampak gelap pekat tanpa bintang, seakan mencerminkan perasaannya yang penuh kebingungan. Suara detik jam di dinding terdengar samar, menghitung waktu yang terus berjalan tanpa henti, sementara pikirannya berputar mengingat masa-masa yang sudah terlewati.

            Di depannya, secangkir teh hangat hampir tak tersentuh. Ia memejamkan mata sejenak, mengingat kembali momen ketika ia memutuskan untuk menjadi guru, jiwanya bergelora masih penuh dengan semangat, yakin bahwa ia mampu menginspirasi dan berkontribusi untuk membentuk karakter generasi muda. Namun sekarang, entah bagaimana, semangat itu perlahan terasa hambar, seperti kabut yang perlahan memudar. Ia merasa hampa, tanpa tujuan yang jelas, dan selama beberapa purnama ia membiarkan rutinitasnya berjalan tanpa makna.

            Tetiba saja Bu Lola merasakan sesuatu menyelinap ke dalam hatinya. Rasa bersalah pun muncul, membayangi segala kemalasan dan ketidakpedulian yang selama ini ia tunjukkan pada murid-muridnya. Tatapannya fokus pada rak yang terdapat tumpukan buku materi pelajaran yang lama tak tersentuh. Ia rindu dengan semangat yang pernah ia miliki.

            Keesokan paginya, suasana di rumah Bu Lola berubah. Matahari pagi masuk melalui celah tirai, menciptakan suasana yang lebih cerah di ruang tamu yang semalam tampak muram. Bu Lola bangun lebih awal, setelah memenuhi kebutuhan rohaninya, ia kemudian menyibukkan diri menyiapkan materi pelajaran, merasakan sedikit percikan semangat yang lama hilang. Ketika ia sampai di sekolah, ada tekad yang baru dalam dirinya. Tanpa ragu, ia masuk kelas dengan senyuman tulus yang seolah mengatakan pada murid-muridnya bahwa hari ini, sesuatu telah berubah.

            Dengan senyuman lembut, Bu Lola melangkah ke depan kelas dan menatap murid-muridnya satu per satu. Ada rasa canggung di wajah mereka, karena tak biasa melihat Bu Lola begitu serius dan bersemangat. Namun, ia tetap melanjutkan, suaranya terdengar lebih tegas daripada biasanya.

                        “Baiklah, anak-anak. Mulai hari ini, kita akan belajar dengan cara yang berbeda, ya.” Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. “Ibu ingin kalian benar-benar memahami materi pelajaran yang Ibu sampaikan, bukan sekadar                                   menghafal, tapi harus memahami. Kita tidak akan lagi hanya duduk diam dan menunggu waktu berlalu, kita akan belajar bersama dan berdiskusi.”

            Bu Lola merasakan energi baru yang mengalir dalam dirinya. Ia menatap murid-muridnya dengan sorot mata yang penuh harap. “Ibu sangat menyadari, selama ini mungkin Ibu belum menjadi guru yang baik untuk kalian, bahkan banyak sekali kekurangan yang ada dalam diri Ibu. Mungkin Ibu sudah mengecewakan kalian dengan sikap Ibu yang tidak serius dalam mengajar. Tapi, sekarang Ibu ingin ada sesuatu yang berbeda, kita sama-sama belajar untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, ya. Ibu ingin kalian tahu bahwa kalian adalah prioritas Ibu saat ini. Masa depan kalian adalah hal yang paling penting. Mulai sekarang, Ibu akan berusaha lebih keras untuk membantu kalian meraih mimpi.”

            Suasana kelas hening, murid-murid terkejut mendengar pernyataan Bu Lola.

            “Jadi, mari kita mulai babak baru ini dengan semangat yang baru. Ibu butuh kerja sama kalian. Ibu ingin kita saling belajar, saling membantu, dan Ibu akan ada di sini untuk   kalian, bukan hanya sebagai guru, tapi sebagai seseorang yang peduli pada masa depan kalian.”

            Ia mengakhiri dengan senyum, dan perlahan, para siswa mulai membalas dengan anggukan penuh harap.

            Setelah mendengar pernyataan Bu Lola, suasana kelas terasa berbeda. Beberapa siswa menatapnya dengan mata berbinar, seolah baru pertama kali melihat sosok guru yang berani mengakui kesalahannya. Mereka duduk lebih tegak di bangku mereka, memperlihatkan semangat baru yang perlahan tumbuh. Ada yang tersenyum kecil, merasa bahwa perubahan Bu Lola adalah kesempatan bagi mereka untuk benar-benar belajar dan berkembang. Bahkan, Lani si paling kritis yang duduk paling depan berbisik pada temannya, “Kayaknya Bu Lola beneran berubah deh. Aku jadi semangat nih kalau gini terus.”

            Namun, sudah pasti tidak semua siswa merasakan hal yang sama. Di bagian belakang kelas, sekelompok murid saling menatap dengan pesimis. Terutama Arya, siswa yang paling sering mengkritik Bu Lola dalam bisik-bisiknya, hanya mendengus pelan. Ia menyilangkan tangan di dada dan memutar matanya, lalu berbisik sinis pada teman sebangkunya, “Huh! Palingan cuma kata-kata manis biar dia kelihatan bagus di mata kepala sekolah, entar juga balik lagi males-malesan.”

            Beberapa siswa lain, meskipun tidak berkomentar, menunjukkan ada keraguan di wajah mereka. Mereka diam, hanya mendengarkan tanpa memberikan reaksi apa pun. Mereka pernah berharap banyak dari Bu Lola, namun akhirnya mereka merasa kecewa dengan sikap Bu Lola sang guru Antropologi tersebut. Mereka merasa ragu apakah perubahan ini akan bertahan lama atau hanya sementara. Arya si paling pesimis terhadap perubahan Bu Lola menatap ke arah luar jendela, berusaha mengabaikan pidato Bu Lola, merasa ragu bahwa hal ini akan membawa perubahan nyata.

            Di tengah-tengah kelas yang terpecah antara yang percaya dan yang pesimis, Bu Lola dapat merasakan hal itu. Tapi kali ini, ia tidak membiarkan perbedaan itu menghentikan niat baiknya. Dengan tekad baru, ia tahu bahwa hanya dengan konsistensi dan usaha, ia bisa memenangkan hati seluruh muridnya kembali.

            Hari-hari berlalu, dan Bu Lola mulai membuktikan tekad barunya. Setiap pagi, ia tiba di sekolah lebih awal, menyiapkan materi dengan sungguh-sungguh, dan menyambut murid-muridnya dengan senyum yang lebih tulus dari sebelumnya. Ia tidak lagi duduk diam di belakang meja seperti dulu. Sebaliknya, Bu Lola mulai aktif berkeliling kelas, bertanya kepada murid-murid, memotivasi mereka, dan benar-benar terlibat dalam proses pembelajaran.

            Siswa-siswa yang dulu meragukan perubahan Bu Lola, masih memandang perubahan itu dengan mata kritis. Bahkan hampir setiap hari, bahkan Arya menunggu momen ketika Bu Lola kembali ke kebiasaan lamanya, tapi momen itu tak kunjung dilakukan lagi oleh Bu Lola. Bu Lola terus menunjukkan keseriusannya, bahkan memberikan penjelasan yang lebih mendalam dan membimbing murid-murid dalam diskusi kelas. Ia memberi mereka tugas-tugas yang lebih menantang, tapi juga memberikan bimbingan dengan sabar ketika mereka kesulitan.

            Beberapa minggu kemudian, perubahan itu mulai terasa nyata bagi semua siswa di kelas. Lani, yang dari awal mendukung perubahan Bu Lola, melihat teman-temannya yang dulu begitu pesimis kini ikut bersemangat. “Kamu lihat, Arya?” Lani berbisik sambil tersenyum. “Bu Lola beneran berubah. Tugasnya jadi lebih seru, ya?”. Arya hanya mengangguk, kali ini tanpa komentar sinis. Dalam hati, ia mulai mengakui bahwa ada sesuatu yang berbeda. Sikap malas yang dulu melekat pada Bu Lola perlahan memudar, digantikan oleh guru yang penuh dedikasi.

            Beberapa purnama telah berlalu dan suasana kelas pun mulai terasa perubahannya. Murid-murid mulai lebih aktif bertanya, berpartisipasi dalam diskusi, dan tidak lagi bosan saat jam pelajaran Bu Lola. Semangat yang dulu hilang dalam diri Bu Lola, kini terpancar kembali, dan perlahan, seluruh muridnya pun ikut terhanyut dalam semangat yang sama.

Pada akhirnya, bahkan Dika yang paling pesimis pun harus mengakui di dalam hati, “Bu Lola memang telah berubah.”

            Di akhir semester, salah satu siswanya mendekati Bu Lola dan berkata, “Bu, terima kasih. Karena Ibu kini sudah berubah, saya juga jadi lebih semangat belajar.”

            Bu Lola tersenyum. Dia menyadari bahwa perubahan kecil dalam dirinya telah membawa dampak besar bagi murid-muridnya.

***

            Bu Lola terdiam sejenak setelah mendengar ucapan siswanya itu. Seolah-olah ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. Ia menyadari bahwa tanggung jawab sebagai guru bukan hanya sekadar mengajar di kelas, tetapi juga menjadi teladan bagi siswa-siswanya.

            Di ruang guru, perubahan Bu Lola mulai terlihat oleh rekan-rekannya. Mereka yang dulu sering melihatnya dengan pandangan sinis kini memperhatikannya dengan rasa kagum. Ibu Anita, salah satu guru senior, mendekati Bu Lola dan berkata, “Bu, saya lihat belakangan ini ibu terlihat lebih bersemangat untuk mengajar.”

            Bu Lola tersenyum malu. “Saya baru sadar, Bu. Selama ini saya egois, terlalu fokus pada diri sendiri, padahal tugas kita sebagai guru jauh lebih besar. Anak-anak meniru apa yang gurunya lakukan, bukan hanya apa yang gurunya ajarkan.”

Ibu Anita mengangguk, “Itulah yang sering kita lupakan, Bu. Mereka butuh inspirasi, bukan hanya sekadar materi pelajaran.”

            Hari-hari berikutnya, Bu Lola terus berusaha memperbaiki dirinya. Ia tidak lagi datang hanya untuk mengisi absen kehadiran, tidak hanya memberi tugas kepada muridnya tanpa menjelaskan materinya terlebih dahulu, tetapi benar-benar hadir untuk semua muridnya. Ia mulai sering mengadakan diskusi interaktif di kelas, memberikan motivasi kepada siswa yang tampak kehilangan arah, dan selalu memastikan setiap materi yang diajarkan dipahami dengan baik.

            Di akhir tahun ajaran, ketika rapor dibagikan, beberapa siswa mendekati Bu Lola dengan mengucapkan terima kasih. Mereka yang dulu menganggapnya guru malas kini melihatnya sebagai sosok yang inspiratif. Bahkan Arya, yang dulu sering mengeluh, dengan malu-malu ia berkata, “Bu, saya dulu sering ngomongin Ibu sama teman-teman. Tapi sekarang, saya justru jadi lebih semangat belajar karena Ibu. Terima kasih, Bu”.

            Bu Lola tersenyum hangat dan menepuk pundak Arya. “Tidak apa-apa, Nak. Maafkan Ibu pernah menjadi sosok yang menyebalkan bagi kalian. Yang penting, kamu dan teman-temanmu sekarang lebih serius dan bertanggung jawab terhadap dirimu sendiri. Ibu juga belajar banyak dari kalian.”

            Perlahan tapi pasti, Bu Lola mendapatkan kembali rasa hormat dari para siswa dan rekan-rekannya. Ia belajar bahwa menjadi guru tidak hanya soal menyampaikan pelajaran, tetapi juga tentang bagaimana ia dapat memengaruhi kehidupan para siswa dengan memberikan contoh yang baik.

            Di akhir semester, ketika bel tanda libur panjang berbunyi, Bu Lola berdiri di depan kelas, memandangi siswa-siswanya yang bersemangat untuk liburan. Ia merasa bangga dan bersyukur atas perubahan yang terjadi, baik dalam dirinya maupun siswa-siswanya. Ia berjanji dalam hati untuk selalu menjaga semangatnya, agar terus menjadi guru yang diingat bukan karena kemalasannya, tetapi karena dedikasinya.

*Selesai*

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun