Covid-19 wabah yang pertama kali dikenal di Wuhan (Cina) ini sekarang menggetarkan seantero negri. Menjadi perbincangan disetiap sudut-sudut negri. Masuk keseluruh sendi kehidupan, hingga persepsi.
Lantunan "Dirumah Aja" sangat menggema, dan memang di gemakan langsung dari singgasana yang mulia tuan Presiden. Dirumah Aja konon menjadi obat yang paling mujarab untuk mengusir Virus dari bumi indonesia.
Pun begitu, harus ada kepastian kepada manusianya. Tidak sekedar menggemakan kata dirumah saja. Membuat gamang di berbagai lini kehidupan yang pada akhirnya "lebih baik mati karena corona dari pada mati kelaparan." No money, no food.
Soal lain sebelum pandemi ada Korban Bencana Banjir Bandang Lebak yang masih menunggu kepastian hidupnya. Diberi janji bergaun manis. Rusak berat 50 juta, rusak sedang 25 juta, dan DTH (Dana Tunggu Hunian) 500 Ribu.
Hari ini mereka tinggal di hunian sementara (Huntara). Di gunung-gunung, di kontrakan, dirumah saudaranya. Saat kata "dirumah aja" mampu mengusir pandemi, "DIHUNTARA AJA" tidak akan mampu mengusir kekhawatiran, kegelisahan, hingga luka dan duka korban bencana.
Disini, dari korban bencana sampai pagebuk covid-19 menjadi penguat seolah sistem yang berbasis mekanisme pasar dalam kerangka dorongan akumulasi, telah menjadikan solideritas sosial semakin menipis. Menempatkan tanggung jawab ekonomi pada individu.
Paham Kapitalisme neoliberal, menempatkan tanggung jawab ekonomi pada individu bukan pada sosial. Dampaknya tanggung jawab untuk menentaskan persoalan sosial justru dibebankan kepada individu.
Dilihat dari jejak digital kelas penguasa dimedia sosial atau pernyataan dan kebijakannya membuka tabir gelap kekuasaan. Seperti memancing di air yang keruh. Dorongan akumulasi menghasilkan kekayaan untuk segelintir orang, wabah penyakit bagi banyak orang.
Cipanas, 28-04-2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H