BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) merupakan sekelompok negara dengan perekonomian berkembang yang diinisiasi pada 2009. Satu hal yang perlu digaris bawahi, BRICS berbeda dengan organisasi formal seperti PBB, alih-alih BRICS adalah organisasi yang bersifat informal, dengan tujuan untuk “mengubah” tatanan dunia yang saat ini didominasi oleh Amerika Serikat. Selain memiliki fokus berbasis geopolitik, kerangka kerja BRICS juga mencakup kerja sama ekonomi, dan meningkatkan perdagangan serta perkembangan multilateral. Jika ditilik sejak pertama kali berjalan, BRICS hanya memiliki Brazil, Rusia, India, dan Cina, hingga pada 2010, Afrika Selatan menjadi anggota baru sebagai hasil ekspansi.
Bergabungnya Afrika Selatan kemudian menjadi hal yang menarik; kenapa harus Afrika Selatan? Jika dibandingkan dengan keempat negara awal pendiri BRICS, Afrika Selatan cenderung memiliki perekonomian, luas negara, populasi, hingga pengaruh politik yang lebih kecil. Lantas, apakah pemilihan Afrika Selatan akan memberi keuntungan bagi para anggota awal BRICS? Melansir dari laman resmi Indian Council on Global Relations, dibandingkan dengan Nigeria yang memiliki perekonomian lebih maju, Afrika Selatan unggul dalam segi sumber daya alam; emas, berlian, dan platinum yang berlimpah. Disebutkan pula faktor yang memberatkan dalam segi politik dalam negeri yaitu stabilnya perekonomian secara mikro dan makro, sistem perbankan yang mumpuni, dan regulasi pemerintah yang jelas.
Masuknya Afrika Selatan dalam keanggotaan BRICS kemudian menimbulkan spillover effect bagi interaksi dan kerja sama antara BRICS dan negara-negara Afrika lainnya. Kerja sama bertema international development assistance ini kemudian dimulai sejak pertemuan para anggota BRICS yang kelima di Afrika Selatan, dengan tajuk “BRICS and Africa – partnerships for integration and industrialization,” dengan tujuan menggali potensi kerja sama keduanya. Didorong dengan potensi perkembangan ekonomi yang cerah, melimpahnya sumber daya alam seperti di Angola, Republik Demokratik Kongo, Nigeria, dan Sudan, serta masifnya pasar, kerja sama ini diharapkan mampu menjadi sebuah win-win solution untuk perkembangan Afrika.
Kerja sama BRICS-Afrika dapat dijelaskan menggunakan sudut pandang liberalisme. International development dapat dikatakan sebagai sebuah produk dari liberalisme. Dalam konteks ini, development atau perkembangan dapat dilihat sebagai proses meningkatnya kebebasan dan kesejahteraan, baik bagi perorangan maupun kelompok. Bagi liberalisme, tujuan tersebut dapat tercapai jika perekonomian yang dimiliki mencapai kata ideal. Perkembangan juga dapat dikaitkan dengan proses pembentukan lingkungan yang makmur dan serba kecukupan, dan para individu memiliki pilihan yang lebih banyak.
Aktor tradisional dalam international development kemudian berperan vital dalam mempromosikan hal ini, baik sebagai donors (pemberi) maupun receipents (penerima) bantuan luar negeri. Bantuan ini dapat berupa secara ekonomi, sosial, dan politik, salah satunya proyek multilateral development. Kerja sama antar pemerintah ini dinilai dapat memiliki dampak langsung bagi para individu, meski sifatnya yang multilateral. Hal itu karena keterlibatan dengan pemerintah lokal dapat mendorong perkembangan hingga level paling rendah. Selain itu, diperlukannya juga kerja sama antara sektor publik dan swasta untuk mendukung keberhasilan.
Argumen dari sudut pandang liberalisme dapat ditemukan pada hubungan BRICS-Afrika. Pada kerja sama ini, semua pihak yang terlibat mengedepankan win-win solution melalui berbagai jenis koperasi di beberapa bidang. Dalam sektor ekonomi, Afrika menjadi pasar yang menguntungkan dari sisi demografi, untuk itu pada 2023, diresmikan kerja sama antara BRICS dan AfCFTA (the African Continental Free Trade Area). Kerja sama lainnya di sektor ini dapat ditarik lebih jauh seperti pada pertemuan BRICS yang kelima pada 2013, dengan tajuk “BRICS and Africa – Partnerships for Integration and Industrialisation.” Bersamaan dengan ini, Afrika menjadi pengekspor barang tambang (batubara, besi, dan mangan) untuk para anggota BRICS.
Selama 13 tahun sejak hubungan BRICS-Afrika, telah banyak upaya international development assistance yang dilakukan di berbagai bidang, hal tersebut meliputi:
(1) Perkembangan infrastruktur di Afrika dengan nilai investasi setara dengan $60 miliar sejak tahun 2010
(2) Pertumbuhan hubungan dagang keduanya yang mencapai $200 pada 2022
(3) Maraknya pemberian beasiswa kepada pelajar-pelajar Afrika
(4) Kerja sama di bidang kesehatan seperti pada masa pandemi Covid-19 yang meningkatkan kesempatan akses terhadap fasilitas kesehatan di Afrika.
BRICS beranggotakan sekelompok negara dengan perekonomian berkembang, memiliki tujuan untuk menentang dominasi Amerika Serikat. Pada 2010, Afrika Selatan secara resmi bergabung dalam keanggotaan, yang kemudian menjadi jembatan kerja sama bertema international development assistance dengan negara-negara lainnya di Afrika. Terhitung sejak 13 hubungan BRICS-Afrika, telah banyak pencapaian dengan sifat win-win solution bagi kedua belah pihak, seperti pada bidang investasi, infrastruktur, perdagangan, kesehatan, hingga pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H