Mohon tunggu...
Humaniora

Mengurai Polemik Penahanan dan Ultra Petita dalam Kasus Ahok

24 Mei 2017   01:11 Diperbarui: 24 Mei 2017   02:11 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MENGURAI POLEMIK PENAHANAN DAN ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN AHOK

Oleh: Septian Dwi Riadi – Mahasiswa Fakultas Hukum UII

            Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara pada tanggal 9 mei 2017 yang diketuai oleh Dwiarso Budi Santiarto menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun kepada terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena telah melanggar pasal 156a KUHP. Vonis itu dijatuhkan karena Ahok dinilai telah dengan sengaja di muka umum melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) berkesimpulan bahwa Ahok tidak terbukti melanggar pasal 156a KUHP, melainkan terbukti melanggar pasal 156 KUHP, dan menuntut terdakwa agar dihukum satu tahun penjara, dengan masa percobaan dua tahun.

            Tak lama kemudian, putusan ini mulai menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat umum, pertama, karena dalam amar putusan, majelis hakim memerintahkan agar Ahok ditahan, padahal selama rangkaian penyidikan sampai pada pemeriksaan di Pengadilan, Ahok tidak pernah ditahan. Kedua, beberapa kalangan masyarakat menilai bahwa majelis hakim telah menjatuhkan putusan ultra petita karena telah  mengabulkan lebih dari apa yang dituntut oleh JPU.

            Tulisan ini ingin mencoba memberikan pemahaman kepada masyarakat umum mengenai bagaimana sebenarnya kewenangan hakim Pengadilan Negeri dalam menetapkan penahanan kepada seorang terdakwa, apakah boleh seorang terdakwa yang dalam proses penyidikan sampai pemeriksaan di Pengadilan tidak ditahan, kemudian dalam amar putusan diperintahkan untuk ditahan, lalu bagaimana sebenarnya pengaturan ultra petita dalam dunia hukum di Indonesia, dan apakah hukum acara pidana mengenal adanya ultra petita.

Kewenangan hakim Pengadilan Negeri dan hakim Pengadlan Tinggi dalam melakukan penahanan

           Kewenangan penahanan oleh hakim Pengadilan Negeri diatur dalam pasal 26 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.” dan pasal 26 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.” Majelis hakim yang menangani suatu perkara, dapat mengeluarkan penetapan penahanan kepada terdakwa paling lama 30 hari, dan jika pemeriksaan belum selesai maka dapat diperpanjang kembali paling lama 60 hari.

            Dalam kasus penistaan agama yang dilakukan terdakwa Ahok, semenjak rangkaian penyidikan sampai pada pemeriksaan di Pengadilan Negeri, terdakwa tidak pernah ditahan. Namun pada saat majelis hakim membacakan putusan, dalam amar putusan diperintahkan agar terdakwa ditahan. Hal ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat, mengapa Ahok yang awalnya tidak ditahan justru kemudian ditahan dan jika Ahok ditahan, dalam status tahanan siapakah Ahok sebenarnya, apakah dalam penahanan hakim Pengadilan Negeri atau dalam Penahanan hakim Pengadilan Tinggi ? dan kemudian berapa lama masa penahanan yang dapat dilakukan terhadap Ahok, mengikuti pasal 26 ayat (1) KUHAP selama 30 hari atau mengikuti masa tenggang waktu banding ?

            Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul “Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan, Sidang pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali” menyatakan bahwa seandainya saat putusan pemidanaan dijatuhkan terdakwa berada dalam status “tidak” ditahan, berarti selama atau setelah berjalan beberapa lama persidangan, terdakwa tidak ditahan. Artinya selama mulai dari penyidikan, penuntutan sampai pada pemeriksaan persidangan, terdakwa tidak pernah ditahan. Dalam hal seperti ini pengadilan dapat memilih “alternatif” status yang akan diperintahkan terhadap terdakwa, yakni memerintahkan terdakwa tetap berada dalam status “tidak ditahan” atau pengadilan dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 193 ayat (2) huruf a yang berbunyi: “Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu.” Dalam melakukan penahanan majelis hakim tentu harus melihat kembali pasal 21 KUHAP, yang mana penahanan harus memenuhi syarat subjektif yakni menimbulkan kekhawatiran bahwa terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana dan syarat objektif yakni tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih dan tindak pidana lainnya yang secara eksplisit dituliskan dalam pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP.

            Kemudian dalam status penahanan siapakah sebenarnya terdakwa ditahan ketika perintah penahanan dijatuhkan bersamaan dengan putusan majelis hakim, mengingat yang diatur oleh pasal 26 ayat (1) KUHAP ialah penahanan yang dilakukan hakim dalam rangka pemeriksaan, sementara itu dalam kasus Ahok, penahanan dicantumkan dalam amar putusan, yang mana dalam rangkaian proses peradilan di pengadilan negeri, tidak ada lagi pemeriksaan setelah dijatuhkannya putusan. Pasal 238 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke pengadilan tinggi sejak saat diajukannya permintaan banding” dalam penjelasannya, dinyatakan bahwa “Apabila dalam perkara pidana terdakwa menurut undang-undang dapat ditahan, maka sejak permintaan banding diajukan,pengadilan tinggi yang menentukan ditahan atau tidaknya. Jika penahanan yang dikenakan kepada pembanding mencapai jangka waktu yang sama dengan pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri kepadanya, ia harus dibebaskan seketika itu” artinya bahwa kewenangan penahanan yang dicantumkan dalam amar putusan pengadilan negeri ialah masih merupakan kewenangan hakim pengadilan negeri, dan baru akan beralih dari segi wewenang dan tanggung jawab yuridis kepada hakim pengadilan tinggi sejak saat permintaan banding diajukan, dan harus diketahui bahwa permintaan banding tidak dapat hanya diajukan secara lisan, melainkan harus dibarengi dengan menandatangani akta banding dan menyerahkan memori banding (jika ada).

            Berkaitan dengan penahanan yang baru dicantumkan dalam amar putusan, lantas berapa lamakah hakim dapat menahan terdakwa, mengingat dalam amar putusan kasus Ahok tidak disebutkan berapa lama penahanan yang harus dijalankan. Jika kita melihat kembali ke pasal 238 ayat (2) KUHAP dimana penahanan hakim pengadilan negeri beralih ke pengadilan tinggi semenjak diajukannya permintaan banding, Yahya Harahap menafsirkan bahwa lamanya penahanan yang dapat dikenakan terhadap ahok ialah maksimal 7 hari, karena KUHAP telah mengatur masa tenggat waktu banding maksimal ialah 7 hari, namun jika Ahok mengajukan banding kurang atau pas bertepatan dalam waktu 7 hari tersebut, maka status tahanan Ahok beralih menjadi tanggung jawab yuridis Pengadilan Tinggi, apakah Ahok akan ditahan atau tidak, maka sepenuhnya menjadi wewenang Pengadilan Tinggi dan jika Ahok tidak mengajukan banding dalam jangka waktu 7 hari tersebut, maka status Ahok beralih dari terdakwa menjadi terpidana.

Ultra Petita dalam hukum acara pidana

            Pada tanggal 20 april 2017 tim JPU membacakan tuntutan yang pada pokoknya berisi bahwa Ahok tidak terbukti melakukan tindakan pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan alternatif pertama, yakni pasal 156a, namun Ahok terbukti melakukan tindak pidana dalam dakwaan alternatif kedua yakni pasal 156 mengenai penghinaan terhadap suatu golongan rakyat Indonesia dan meminta kepada majelis hakim agar Ahok dipidana penjara selama satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. Namun dalam putusannya majelis hakim berpendapat lain, bahwa Ahok telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 156a dan dihukum selama dua tahun penjara.

            Penasihat hukum Ahok, Edi Danggur dalam wawancaranya dengan beritasatu.commenyatakan bahwa majelis hakim telah melakukan ultra petitadalam putusannya karena pertama, dalam surat tuntutan yang dibacakan tanggal 20 April 2017, jaksa menegaskan bahwa setelah mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa, terbukti, unsur-unsur tindak pidana penistaan agama (Vide Pasal 156 a huruf a KUHP) tidak terpenuhi dan kedua, dalam surat tuntutan (requisitoir), jaksa hanya menuntut Ahok dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan masa percobaan 2 (dua) tahun. Jika majelis tunduk dan taat pada prinsip penegakan hukum universal, yakni non-ultra petita dan secundum allegata iuducare tersebut, maka Ahok hanya bisa dijatuhi hukuman yang lebih rendah atau setinggi-tingginya sama dengan tuntutan jaksa tersebut.

            Hal ini menjadi polemik di masyarakat, apakah sebenernya ultra petitadikenal dalam hukum acara pidana ataukah hanya dikenal dalam hukum acara perdata. Ultra petita sebenarnya diatur dalam Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) yang merupakan sumber hukum acara pidana maupun hukum acara perdata ketika zaman kolonial, Norman Edwin Elnizar dalam artikelnya yang berjudul ”Putusan, Penahanan Ahok dan Masa Transisi Peradilan”dalam laman hukumonline.commenyatakan bahwa konsep ultra petita pada awalnya dikenal dari hukum acara perdata di Indonesia yang sejak masa kolonial masih menggunakan HIR. Dalam ketentuan Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR serta ketentuan serupa dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg diatur bahwa seorang hakim dilarang memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR hingga saat ini masih merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia.

Konsep ultra petitaterkait erat dengan adanya asas hakim pasif dalam dunia hukum acara perdata, yang mana ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan (Sudikno:2006). Asas hakim pasif hanya menghendaki agar majelis hakim yang mengadili kasus perdata agar mencari kebenaran formil yakni kebenaran dari apa yang diperoleh berdasarkan apa yang dikemukakan oleh para pihak. Kebenaran digali dari fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak (tergugat-penggugat). Semisal ketika si X menggugat Y karena tidak membayar hutang sebesar Rp.5000, maka majelis hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta oleh X, karena hakim bersifat pasif dan terikat pada dalil-dalil yang diajukan para pihak.

Berbeda dengan hukum acara pidana, dimana majelis hakim haruslah mencari kebenaran materiil, hal ini diatur dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang memberi penjelasan bahwa:

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”

Artinya bahwa hakim dalam memeriksa, memutus dan mengadili terdakwa haruslah mencari kebenaran yang sebenar-sebenarnya, tidak seperti dalam hukum acara perdata yang mana hakim hanya terikat pada dalil-dalil yang disampaikan para pihak.

            Dengan adanya asas hakim aktif dalam hukum acara pidana, maka sesungguhnya hukum acara pidana tidaklah menganut adanya ultra petita,hakim dapat menjatuhkan putusan sesuai dengan fakta-fakta hukum dan alat bukti yang ada pada persidangan sesuai dengan keyakinannya. Artinya hakim tidaklah terikat dengan tuntutan yang diajukan oleh JPU, karena sebagaimana penasihat hukum terdakwa dan JPU, hakim juga berwenang untuk mengambil kesimpulan sendiri, dan memutus terdakwa sesuai dengan keyakinannya. Selaras dengan ini, Mudzakkir, ahli pidana Universitas Islam Indonesia (UII) ketika diwawancara oleh cnnindonesia.commenyatakan bahwa vonis hakim yang berbeda dengan tuntutan jaksa bukanlah sebuah persoalan, karena hakim tetap merujuk pada dakwaan kasus yang dipersidangkan. Artinya selama majelis hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan dakwaan yang diajukan oleh JPU, maka majelis hakim telah menjatuhkan putusan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, mengingat salah satu prinsip dari surat dakwaan ialah sebagai dasar atau landasan pemeriksaan perkara di dalam sidang pengadilan yang mana hakim di dalam memeriksa suatu perkara tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan, dengan demikian jika terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan hanya dapat dijatuhi hukuman karena telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan atau yang dinyatakan jaksa dalam surat dakwaan (Yahya Harahap:2014).

            Kesimpulan yang dapat ditarik dari permasalahan penahanan dan ultra petita dalam kasus Ahok ialah bahwa penahanan yang baru diperintahkan dalam amar putusan akan menjadi kewenangan hakim pengadilan negeri, selama Ahok belum mengajukan banding dalam bentuk penandatanganan akta banding, maksimal penahanan yang dapat dikenakan ialah 7 hari, jika sebelum 7 hari Ahok mengajukan banding ke pengadilan tinggi DKI, maka sejak itu kewenangan yuridis atas penahanan beralih ke pengadilan tinggi dan putusan yang dijatukan majelis hakim kepada Ahok bukanlah merupakan ultra petitakarena istilah ultra petitatidak dikenal dalam hukum acara pidana dan hakim menjatuhkan pidana sesuai dengan dakwaan yang diajukan oleh JPU.

           

           

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun