Mohon tunggu...
Septian DR
Septian DR Mohon Tunggu... Translator dan Wiraswasta -

TRANSLATOR & KOMIKUS

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah Seribu Dongeng Bagian 4

1 Desember 2015   20:44 Diperbarui: 2 Desember 2015   10:38 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kereta api Taksaka berangkat tepat pukul 08.50 WIB dari stasiun Gambir Jakarta Pusat pada hari Senin pagi tanggal 21 Desember 2015 yang kini mendung. Edwin dan Elsa mendapat tempat duduk di gerbong eksekutif utama. Elsa seperti biasa duduk di dekat jendela, Edwin di sampingnya. Penumpang penuh di gerbong utama tersebut dan tak ada satupun kursi yang lowong. Baik Elsa maupun Edwin telah menaruh travel bag mereka di atas, hanya cemilan dan minuman yang mereka taruh di tatakan kecil yang tersedia di dekat jendela.

Elsa mengenakan blus oranye berlengan pendek serta celana jins biru dan sandal hitam, sementara Edwin memakai kaos berkerah warna putih bergambar foto Harry Kane serta celana jins hitam dan sepatu kets biru tanpa kaos kaki. AC yang dingin serta bau jasmine yang wangi membuat Edwin terkantuk-kantuk. Elsa sebentar-sebentar memandang keluar jendela, sebentar-sebentar menatap layar televisi yang kini memutar film Pacific Rim. Tempat duduk Edwin dan Elsa yang berada di sisi kiri kereta cuma berjarak lima kursi saja dari layar televisi. Meskipun gambarnya begitu terang dan jernih, suara yang keluar tak begitu kentara atau tak terlalu keras karena teredam bunyi roda kereta. Elsa tersenyum melirik Edwin yang kini tertidur pulas. Sepupunya itu memang jagonya tidur selain ilustrator handal tentunya.

Pukul 11.30 WIB, dua pramusaji kereta berdatangan, keduanya gadis cantik memakai hijab dan seragam khas PT KAI. Keduanya menawarkan berbagai menu untuk makan siang. Elsa memberi kode pada mereka untuk mendekat dan memesan nasi goreng tanpa minuman karena Elsa dan Edwin sudah membawa minuman sendiri dan camilan. Edwin terbangun dan gelagapan melihat kedua pramusaji cantik berdiri di hadapannya. "Selamat siang, Pak Edwin? Mau pesan makan siang?"

Edwin menoleh pada Elsa yang tersenyum riang. "Kamu kondang, Edwin. Mbaknya saja sampai tahu siapa kamu. Ayo pesan apa?"

"Nasi Goreng ada?" Edwin mengelap iler di sisi kanan mulutnya, sementara kedua pramusaji hanya tersenyum-senyum, lalu mengangguk-angguk. "Pesanan segera datang, Pak Edwin, Bu Elsa."

Kini Elsa yang tertegun. "Kok tahu nama saya, Mbak?"

"Bu Elsa dulu kan model glamor. Tunggu ya, Bu."

Elsa mengangguk, lalu memperhatikan kedua pramusaji itu berlalu. "Ternyata kita berdua sama-sama kondang, Edwin."

Edwin mengusap dagunya yang juga terkena iler, lalu mengambil Hydro Coco 500 mili yang dia taruh di dalam plastik kursi depannya. Dia buka penutupnya, lalu minum beberapa teguk. Edwin menatap ke depan, melihat adegan Mako Mori berpelukan dengan Raleigh Beckett di depannya. "Sialan aku ketinggalan. Kenapa tak kau bangunkan aku tadi, Elsa? Itu film favoritku. Sudah adegan ending itu."

Elsa hanya tertawa ringan. "Salah sendiri mengantuk."

"Kenapa kau tidak mengantuk?"

"Aku melihat pemandangan luar ... sawah yang menghijau. Sudah jarang aku melihat yang seperti itu di tengah kota Jakarta."

Nasi Goreng sudah datang. Edwin dan Elsa makan begitu lahap. Belasan penumpang lain juga memesan makan siang dengan menu lain. Sudah jam dua belas tepat. Setelah selesai makan dan membayar biayanya, gantian Elsa yang terlelap tidur, sementara Edwin yang sudah tidak lagi mengantuk, berdiri membuka travel bag dan mengambil novel grafis V for Vendetta karya Alan Moore dan Dave Lloyd. Edwin duduk dan mulai membaca, lumayan bisa mengisi tiga jam dengan kisah distopia kelam seperti ini. Baru membaca dua puluh halaman, Edwin langsung kentut dengan bunyi keras. Sesaat dia melirik kanan kiri, tapi para penumpang lain sepertinya tak peduli atau ... tak mendengar?

Edwin berdiri, lalu berjalan menuju kamar kecil untuk kencing. Dia melewati deretan penumpang di depannya, semua tertidur pulas. Edwin masuk ke kamar kecil, lalu kencing. Setelah membersihkan diri dengan air bersih dan sabun, dia keluar dari kamar kecil. Seorang pria botak berkacamata Rayban hitam dengan jubah hitam dan celana hitam, serta sepatu pantovel hitam yang licin berkilat, berdiri gagah menghalangi jalannya. "Edwin Hurt?" kata si pria botak dengan suara serak basah. "Kau bunuh saudara kami kemarin. Giliran kami yang akan menghabisimu. Mau sekarang atau nanti?"

"Anda mau cari gara-gara di sini, Tuan Botak? Siapa bos anda?"

Si pria botak mengenakan sarung tangan kevlar sambil tersenyum bengis, lalu menerjang Edwin. Keduanya bergulingan di lantai kereta, Edwin menjejak dada si Botak, tapi si Botak ganti menonjok dagu Edwin. Keduanya berdiri lalu terlibat saling pukul di sepanjang dinding sempit, tapi Edwin tanpa kesulitan menghajar si Botak dengan pukulan hook kanan beruntun bagaikan Tyson Fury menghajar Wladimir Klitschko. Si Botak pun roboh tak sadarkan diri.

Edwin terduduk kelelahan sambil mengelus dagunya. "Tampaknya ini baru awal." desis Edwin.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun