Mohon tunggu...
Septian Bayu Kristanto
Septian Bayu Kristanto Mohon Tunggu... Dosen - Educator

Saya bukan ahli, hanya ingin berbagi. Bukan pula ilmuwan, hanya seorang relawan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Guru, Tidak Sekedar Bekerja

28 Oktober 2011   10:29 Diperbarui: 30 September 2016   07:08 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku kembali berbincang kepada Lori, aku bertanya kepada dia apa penyakit yang di derita Ibunya. Ternyata Ibunya mengidap kanker otak. Lori sedih sekali menceritakannya, tetapi dia kembali bersemangat ketika dia menceritakannya lagi tentang ayahnya.Lori mengajak aku hari ini untuk pergi menemui ibunya dan akupun bersedia.

Tidak pernah kubayangkan, ternyata sangat sulit untuk menjadi guru. Aku mulai tidak memikirkan untuk melamar pekerjaan ke tempat lain. Perbincanganku dengan murid-muridku membuat aku memikirkan nasib mereka. Waru adalah anak yang cukup pintar tetapi tidak pernah terbayangkan dia dan keluarganya tinggal di kuburan. Bagaimana ia bisa belajar dan bagaimana jika hujan? Roi yang seringkali usil dan pembuat onar, ternyata tidak mempunyai orang tua. Sedangkan Lori, tidak pernah berhenti menangis ketika aku membayangkan gadis malang ini. Ibunya terkena Kanker otak stadium akhir, dan ini yang paling membuatku sedih, Lori sering mengkhayal tentang rupa dan bayangan tentang ayahnya lalu menceritakannya kepada semua orang. Ya, Lori tidak pernah sekalipun bertemu dengan ayahnya. Ibunya menangis sewaktu menceritakan tentang Lori kepadaku.

Beberapa bulan kemudian, aku melihat Lori memakai selang infus dan melingkarkan di atas kepalanya dan teman-temannya menertawakan Lori. Lori kesal dan sedih sehingga ia mendorong Dea karena sejak tadi Dea yang paling bersemangat menertawai dan mengejek Lori. Kelas menjadi sangat ramai dan kacau. Aku berusaha memisahkan Lori dan Dea yang sejak tadi dorong-dorongan dan aku memarahi Dea. Begitu aku melihat ke arah Lori, ia sedang membenturkan kepalanya berkali-kali ke tembok, lalu aku berusaha untuk menarik Lori dari tembok tersebut. “Ibuku telah meninggal tadi pagi, dan mengapa aku juga tidak kena kanker otak?” Lori berbicara sambil terisak dan membuat kelas menjadi terdiam. Diruang kelas yang terdengar hanyalah suara tangisan Lori yang menggelegar. Aku memeluk Lori, diikuti teman-teman yang lain.

Tanpa terasa 1 tahun sudah kulewati. Aku sibuk memberikan kata-kata ‘semangat’ untuk murid-muridku yang akan naik ke kelas 4. Pada hari pembagian rapor, aku mengadakan acara kecil untuk perpisahan. Aku meminta satu-satu dari mereka untuk berbicara sepata-dua kata di depan kelas. Aku tidak bisa menahan lagi air mataku. Semua muridku memelukku dan berjanji suatu hari nanti mereka akan menjadi orang-orang yang berpengaruh untuk Negeri Indonesia. Orang-orang tinggi mempunyai pengaruh besar terhadap bangsa kita ini, tetapi Guru mengalahkan segalanya. Gurulah yang melahirkan orang-orang itu dan Gurulah yang mendidik mereka, dan pekerjaan yang paling sulit ialah menjadi guru. Ia harus tahu kapan harus mengajar dan kapan harus mendidik, kapan ia harus tersenyum dan kapan harus menangis, kapan ia harus marah dan kapan harus memeluk murid-muridnya. Guru, tetaplah menjadi Pahlawan tanpa tanda jasa. Terimakasih Guru.

Karya Maya Ancela, yang diikutsertakan dalam Lomba Cipta Kreasi Cerpen Kemepora 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun