Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

The Wealth of Nations: Haruskah Negara Menjadi Kaya?

17 Desember 2024   22:57 Diperbarui: 18 Desember 2024   06:58 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota Glasgow di Britania Raya (Sumber: Artur Kraft/Unsplash)

Pernahkah kalian bertanya-tanya, mengapa harus ada negara dan apa tujuannya? Apakah semua negara harus berlomba-lomba untuk menjadi kaya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis tersebut, ada sebuah buku klasik yang menarik untuk dikulik. The Wealth of Nations, karya Adam Smith yang diterbitkan tahun 1776, memiliki berbagai insight menarik yang timeless. Buku ini menjadi pondasi ekonomi modern dan kenegaraan yang hingga saat ini masih diaplikasikan hampir di seluruh dunia.

Adam Smith adalah seorang ekonom, filsuf, dan penulis yang berasal dari Skotlandia. Lahir di Kirkcaldy, kota kecil di dekat Edinburgh, ia kemudian belajar ke University of Glasgow hingga menjadi pengajar di kampus tersebut. Sempat berkelana ke Oxford dan menjadi pengajar bagi Duke of Buccleuch, semakin mempertajam pemikiran sang ekonom. Hingga terbitlah salah satu puncak karya Adam Smith yaitu The Wealth of Nations.

Saat buku tersebut ditulis, dunia ada pada era merkantilisme, sebuah pemahaman ekonomi yang menekankan bahwa sebuah negara harus mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, utamanya emas dan perak. Teori tersebut yang mendasari penjajahan sangat masif di era merkantilisme. Kepercayaan masyarakat saat itu bahwa kekayaan jumlahnya terbatas, sehingga suatu negara harus terus menambah kekayaan meskipun menguras habis dari tempat atau negara lain (zero-sum game). Menjadikan peran negara sebagai pengatur ekonomi menjadi sangat kuat dan cenderung otoritarian di era ini.

Dunia para Merchant (Sumber: redcharlie/Unsplash)       
Dunia para Merchant (Sumber: redcharlie/Unsplash)       

Mendobrak Merkantilisme

The Wealth of Nations lantas muncul dengan argumentasi yang mendobrak pemikiran merkantilisme. Pertama, Adam Smith berpendapat bahwa kekayaan suatu negara tidak hanya sebatas emas atau perak, namun juga produktivitas, baik barang maupun jasa. Ide ini seolah sederhana bagi kita di masa kini, tapi di era saat itu, ide ini sangat menantang "status quo", dimana semua penguasa hanya tahu bahwa cara mendapatkan kekayaan adalah memperluas daerah jajahan lalu mengeksploitasi sumber dayanya. Padahal, kemampuan untuk memproduksi barang bernilai tambah seperti alat-alat industri, pakaian, dan material bangunan yang kemudian diperdagangkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan suatu negara. Tanpa harus menimbulkan pertumpahan darah dan penyiksaan. 

Pemikiran ini sangat “menampar” logika masyarakat luas di masa itu. Suatu negara yang punya daerah kekuasaan luas dan harta yang banyak, belum tentu rakyatnya sejahtera. Produktivitas adalah kunci sebenarnya dari kekayaan sebuah negara. Jika masyarakatnya bisa didorong untuk lebih produktif, maka tanpa harus menjajah sekalipun, negara bisa tetap sejahtera. Produktivitas akan berujung pada menghasilkan barang dan jasa yang bernilai tinggi, dapat diperdagangkan, sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat.

Kedua, Smith juga melihat bahwa perdagangan seharusnya memberi manfaat bagi kedua belah pihak, tidak zero-sum game seperti merkantilisme. Ide bahwa suatu negara bisa berfokus pada spesialisasi tertentu dan menerapkan pembagian pekerjaan atau division of labor untuk memaksimalkan produktivitas juga dijabarkan. Pemikiran ini yang kemudian menjadi salah satu pencerahan besar di Eropa dan mendorong revolusi industri di Britania Raya. Di era tersebut, Britania Raya menjadi pionir industrialisasi dunia dimana terdapat penemuan dan penggunaan secara massal mesin-mesin penting seperti mesin uap, mesin pemintal benang, hingga mesin produksi besi dan baja. 

Selain spesialisasi industri, ide division of labor juga berdampak besar di era saat itu. Ketika produksi barang masih serabutan dan tidak teratur, Smith memperkenalkan ide pembagian tenaga kerja. Contoh sederhananya, daripada ada seratus orang membuat peralatan besi secara bersamaan, akan lebih efektif jika tenaga kerja tersebut dibagi menjadi beberapa bagian tertentu, sehingga hasil produksi akan lebih cepat dan mengoptimalkan pendapatan. 

Ketiga, Adam Smith mengemukakan ide mengenai free market dan konsep “invisible hand”. Bagi sebagian masyarakat, pemikiran ini dianggap kontroversial, karena menjadi cikal bakal dari kapitalisme. Mari kita coba telaah dulu filosofi dibalik pemikiran ini. Smith berpendapat bahwa masyarakat atau pasar perlu diberikan kebebasan, sehingga dapat mendorong adanya persaingan. Konsep “invisible hand” ini dimaksudkan pada tanpa campur tangan pemerintah-pun, masyarakat akan bersaing untuk lebih efisien, efektif, dan inovatif, sehingga dapat lebih mendorong produktivitas. Pemikiran ini dilatarbelakangi kondisi di era itu dimana pemerintah cenderung sangat keras dan otoritarian mengatur berbagai kegiatan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun