Semenjak usainya Perang Dunia II, Amerika Serikat (AS) menjadi powerhouse terkuat di dunia. Di kala itu, negara yang dipimpin Franklin D. Roosevelt ini menjadi yang terdepan dalam hal ekonomi, teknologi, politik, dan militer. Selain itu, Amerika Serikat merupakan negara pemilik cadangan emas (gold reserves) terbesar di dunia.Â
Kedigdayaan itulah yang membuat negara-negara lain menyepakati Bretton Woods Agreement tahun 1944 untuk mengaitkan mata uangnya dengan US Dollar, dalam rangka memfasilitasi investasi dan perdagangan internasional.
Di era tersebut juga didirikan International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO), dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), yang disebut terakhir ini kemudian berkembang menjadi World Bank Group.Â
Dinamika tersebut membuat cengkraman Amerika Serikat ke ekonomi dunia semakin kuat. Seiring dengan rekonstruksi dunia pasca perang dan tumbuhnya perdagangan internasional, US Dollar menjadi mata uang yang paling banyak digunakan di dunia, menggeser British Pound yang sebelumnya berjaya di era kolonial.
Namun di beberapa dekade terakhir, hegemoni Amerika Serikat sebagai global super power terus menghadapi tantangan. Mulai dari melesatnya ekonomi negara-negara Asia, hantaman krisis ekonomi, hingga berbagai konflik di belahan dunia. Selain itu, di tahun 2009 empat negara besar dunia yaitu Brazil, Rusia, India, China, membentuk sebuah koalisi ekonomi yang disebut BRIC. Setahun kemudian, South Africa bergabung sehingga kelompok ini disebut dengan BRICS.
Kini kelompok tersebut telah berkembang dengan bergabungnya Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab. Lalu di BRICS Summit 2024 lalu, beberapa negara lain seperti Indonesia, Malaysia, Turkey, Mexico dan Nigeria mengutarakan potensi untuk turut bergabung.
Sebagai aliansi kekuatan ekonomi, BRICS memiliki berbagai agenda untuk memperkuat kerja sama antar anggotanya, seperti pendirian New Development Bank, kerjasama di bidang sains, teknologi, perdagangan, pendidikan, hingga integrasi sistem pembayaran.Â
Dalam aspek keuangan internasional, salah satu agenda besar yang didengungkan adalah pengembangan mata uang BRICS untuk mengurangi ketergantungan terhadap US Dollar. Dengan dimotori negara-negara ekonomi jumbo seperti China dan Rusia, pergerakan BRICS ini tentu dipandang akan menyaingi hegemoni Amerika Serikat. Bukan rahasia umum bahwa dari berbagai bidang, The American Eagle tidak harmonis dengan China dan Rusia.
Berdasarkan data IMF, secara agregat Gross Domestic Product (GDP) yang telah disesuaikan dengan Purchasing Power Parity (PPP), negara BRICS telah mencapai 32,1% total GDP global, melampaui G7 yang memiliki 29,9%. Sebagai informasi, G7 adalah koalisi ekonomi negara-negara maju yang dipimpin AS dan beranggotakan Kanada, United Kingdom, Perancis, Italia, Jerman, dan Jepang.