Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan video kuliah umum seorang menteri keuangan di sebuah universitas terkemuka. Materi yang beliau bawakan tentang pengantar ekonomi : kebijakan fiskal dan stabilitas ekonomi. Tema yang cukup berat sepertinya.
Sebagai informasi, ternyata audiens kuliah umum kali ini adalah mahasiswa tahun pertama, jadi awalnya saya cukup skeptis apa materi ini akan cocok dan bisa diterima para mahasiswa yang bisa dibilang masih cukup baru ini?
Namun setelah melihat bagaimana menteri keuangan ini menjelaskan ilmu ekonomi dengan sangat menarik dan logis, pandangan saya berubah. Para mahasiswa yang ada disanapun lebih heboh lagi, walaupun mereka awalnya seperti sulit mencerna apa yang dipaparkan sang Menkeu, tapi melalui presentasi yang interaktif berhasil membuat "kelas" itu menjadi sangat-sangat hidup.
Tidak terasa saya menyaksikan video yang berdurasi 2 jam lebih, mungkin ini pertama kalinya saya tidak mengantuk menonton video Youtube selama itu. Walaupun tentu harus bersambung-sambung ya, karena saya nonton sambil commuting saat pergi dan pulang kerja, hehe. Sangat banyak ilmu dan pandangan baru yang saya dapatkan, meskipun saya sendiri adalah lulusan sarjana ekonomi dan bahkan bekerja hampir sepuluh tahun di bidang keuangan.
Pesan utama dari video tersebut, bagaimana kita bisa memahami esensi dari ilmu ekonomi. Bahwa ternyata kita sering lupa ekonomi adalah ilmu sosial (social science), yang  sangat berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari, seperti perilaku manusia, keinginan, ketakutan, psikologi pelaku pasar, dan berbagai hal manusiawi lainnya.
Perilaku Manusia
Salah satu aktivitas utama manusia, sejak jaman purba hingga saat ini adalah permintaan dan penawaran. Ini bukan ilmu kebarat-baratan atau ketimur-timuran ya karena lebih terkait pada perilaku manusia. Hal inilah yang menjadi pakem dasar ilmu ekonomi.
Tujuan eksistensi ilmu ekonomi secara sederhana adalah mempelajari perilaku aktivitas permintaan dan penawaran ini. Nah dari situ terdapat dua sudut pandang yaitu secara mikro ekonomi dan makro ekonomi.
Mikro ekonomi, sesuai namanya, ada di tataran yang kecil, atau bisa disebut individual. Ilmu ekonomi cabang ini mempelajari bagaimana permintaan dan penawaran individu terbentuk. Misalnya, kenapa masyarakat Indonesia lebih butuh beras? kenapa tidak jagung? lantas bagaimana ketersediaan beras di pasar? bagaimana harga beras itu diproduksi hingga dijual? dan seterusnya.
Sedangkan makro ekonomi, sesuai namanya juga, ada di tatanan yang lebih luas. Makro ekonomi mempelajari bagaimana permintaan dan penawaran secara kumpulan atau agregat terbentuk. Misalnya, terkait pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, distribusi kesejahteraan, pendapatan nasional, hingga kestabilan harga.
Dua sudut pandang ekonomi tersebut lantas yang kemudian berkembang menjadi ilmu manajemen, keuangan, bisnis, akuntansi, investasi, dan lain-lain.
Berbicara tentang dampak, mikro ekonomi tentu lebih berfokus pada hal yang lebih sempit, sedangkan makro ekonomi melihat berbagai aktivitas dan dampaknya dari sisi yang lebih luas, bahkan hingga antar negara dan seluruh dunia secara global.
Sebelum jauh kesana, baiknya kita coba memahami dari lingkup ekonomi sebuah negara, karena ini lebih dekat dengan keseharian kita. Hasil aktivitas ekonomi (economics output) berupa barang dan jasa secara agregat di sebuah negara disebut juga Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB).
Disclaimer dulu ya, saya disini tidak akan menjelaskan definisi tekstual secara detail, namun saya lebih akan mencoba memberikan penjelasan dan logika sederhana. Selain karena saya bukan atau belum menjadi dosen, hehe, menurut saya salah satu hal yang membuat ekonomi itu cenderung sulit dipahami banyak orang karena narasi tekstualnya yang kaku. So, let's continue.
Kembali ke GDP, banyak orang mengira ini adalah tingkat pendapatan negara, atau jumlah kekayaan negara. Bukan ya, sekali lagi GDP adalah kumpulan dari hasil aktivitas ekonomi dalam suatu negara.
Formula GDP, menurut pendekatan pengeluaran adalah C + I + G + (X-M).
Consumer Spending (C) atau bisa disebut konsumsi rumah tangga, merupakan total pengeluaran dari masyarakat atau rumah tangga dalam satu negara. Jadi ketika ada aktivitas perdagangan makanan, baju, atau elektronik, inilah yang diperhitungkan sebagai consumer spending.
Investment (I) menjadi indikator total investasi yang masuk ke sebuah negara. Tentu ini juga menjadi penting karena investasi menjadi pendorong adanya proyek baru, perusahaan baru, atau bahkan pengembangan daerah baru. Ada proyek atau perusahaan baru berarti kan membuka lapangan pekerjaan baru.
Government Spending (G), seperti namanya, adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah. Misalnya, proyek pembangunan jalan dari Kementerian PUPR, tentu akan membuka lapangan kerja baru, potensi ekonomi, hingga meningkatkan aktivitas perdagangan dan pariwisata. Subsidi dan bantuan sosial pemerintah juga termasuk pada komponen ini.
Net export-import (X-M), memperhitungkan selisih bersih antara ekspor dan impor. Sederhananya nih, Indonesia ekspor minyak sawit Rp10 triliun, sedangkan impor bahan bakar minyak Rp7 triliun. Nah nett ekspornya jadi Rp3 triliun. Tentu dalam konteks GDP harus memperhitungkan semua produk ekspor dan impor ya.
Nah kenapa memahami konsep GDP ini penting, karena indikator inilah yang saat ini menjadi tolak ukur perekonomian suatu negara. Itulah mengapa pertumbuhan atau penurunan GDP sering menjadi tajuk utama di berbagai pemberitaan ekonomi.
Lho, kan itu sebagian besar komponennya pengeluaran atau belanja-belanjanya aja bro?
Yes, benar, perlu kita ingat pengeluaran saat kita membeli sesuatu akan menjadi pemasukan atau pendapatan bagi si penjual. Jadi secara agregat, GDP mencerminkan keseluruhan aktivitas atau volume ekonomi yang berputar di suatu negara.
Ingat ya, aktivitas.. bukan penghasilan. Banyak yang salah menafsirkan GDP sebagai indikator kekayaan, kemakmuran sebuah negara. Nope.
Contohnya, negara Konoha memiliki GDP sebesar 100.000, sedangkan populasi penduduknya 1.000 orang, atau ninja lah ya, hehe. Nah ternyata 90.000 atau 90% dari total GDP tadi bersumber atau dilakukan oleh 100 orang pengusaha elite saja. Sementara 900 orang penduduk lainnya hanya berkontribusi 10.000 pada GDP.
Nah ini menunjukkan meskipun GDP nya oke, kesenjangan ekonomi negara Konoha ternyata tinggi. Which is, itu hal yang kurang baik.
Jadi, apakah GDP itu penting? ya bagaimanapun seluruh aktivitas ekonomi di sebuah negara penting untuk dijaga. Semakin besar tentu semakin bagus, Indonesia ini negara dengan GDP terbesar ke-16 di dunia lho, tentu salah satu penopangnya adalah jumlah penduduk yang besar. Kita tidak boleh puas dengan GDP besar saja, perlu pemerataan kesejahteraan agar Indonesia bisa naik kelas menjadi negara maju.
Meskipun tentu GDP bukan satu-satunya indikator ya, dan who knows sepuluh atau seratus tahun lagi ilmu ekonomi akan ada indikator lain yang digunakan. Ingat, ekonomi adalah social science yang terus berkembang sesuai evolusi hidup manusia.
Dilema Kebijakan
Pelajaran berharga baru kita dapatkan saat pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu. Saat itulah salah satu ujian berat bagi ekonomi negara, bahkan seluruh dunia, ketika harus menghadapi wabah yang tak terlihat yaitu virus. Bagaimana tidak sulit, dilihat saja tidak bisa apalagi diperhitungkan, dianalisis, diproyeksikan, semua serba tidak mudah.
Ketika itu sering dibenturkan antara kepentingan ekonomi dan kesehatan. Padahal kalau bisa menyelamatkan keduanya, kenapa harus pilih salah satu?
Sulit? memang iya, oleh karena itulah manusia diberi akal untuk berusaha bukan?
Dilema sulit seperti itulah yang kurang lebih dialami pemerintah dalam menentukan dan menjalankan kebijakan.
Saat pandemi, semua aktivitas di luar ruangan terhenti. Tentu saja hampir sebagian besar perdagangan dan jual beli tidak bisa dilakukan. Kesehatan kritis, ekonomi juga kritis.
Pada periode inilah hampir seluruh negara di dunia melakukan kebijakan untuk mendorong penanganan virus dan pemulihan ekonomi. Ingat komponen GDP diatas tadi? saat pandemi komponen C, I, dan XM hancur lebur. Maka pemulihan ekonomi sangat bergantung pada komponen G yaitu belanja pemerintah.
Beberapa diantaranya adalah melalui pemberian bantuan sosial, pengadaan peralatan kesehatan, bantuan pendidikan atau pelatihan, dan dana desa. Belum lagi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang membengkak karena harga minyak turut terdampak kelangkaan logistik. Realistis saja, semua itu butuh uang kan?
Saat itu hampir semua negara mengalami kenaikan hutang. Baik dari sisi hutang luar negeri karena harus impor vaksin dan peralatan kesehatan, hingga hutang domestik melalui penerbitan surat utang atau obligasi pemerintah.
Tapi kan bro, jangan-jangan uangnya banyak yang dikorupsi?
Mungkin bisa jadi benar, bisa jadi salah. Namun namanya juga berusaha, pilihan yang diambil pemerintah saat itu memprioritaskan pemulihan kesehatan masyarakat dan bantu ekonomi rakyat yang terdampak. Kalau pada akhirnya harus hutang untuk mengimpor vaksin, subsidi BBM, dan lain-lain ya sudah mungkin itu pilihan yang diambil pemerintah. Situasi serba tidak menentu dan sulit diprediksi.
Tapi kan bro, gak harus hutang kan?
Benar sih, tidak harus. Namun saat pandemi, impor vaksin dan bahan bakar minyak harus jalan terus kan ya. Beli vaksin dan BBM dari luar negeri kan harus pakai US dollar, kalau pakai rupiah makin sulit, apalagi saat itu semua negara berebut vaksin dan energi. Ya untuk saat ini, sistem ekonomi inilah yang berjalan terutama mekanisme permintaan dan penawaran, pilihan di saat krisis take it or leave it.
Atau pemerintah bisa saja pilih tidak berhutang, diam saja, tidak perlu beli vaksin, tidak perlu bansos, dan harga BBM sesuai harga pasar saja?
Hmm... repot juga kan.. nanti disalahin lagi.
Tapi kan bro, kenapa lu belain pemerintah?
Yah, serba salah kan ya jadi pemerintah. Saya juga tidak bilang pemerintah itu selalu benar bak malaikat. Nope, kita tetap harus mengawalnya.
Pemerintah dimanapun tidak ada yang sempurna, mereka juga manusia biasa. Justru jadi tugas kita untuk mengingatkan, menegur, meluruskan jika ada kebijakan yang salah jalur.
Oleh karena itu, penting sekali bagi kita untuk memahami ilmu ekonomi. Agar jika pemerintah membuat kebijakan yang kurang tepat, atau pelaksanaannya meleset, kita bisa ingatkan. Kita bisa beri kritik dan beri masukan dengan ilmu, data dan argumentasi.
Menghitung dan mengatur anggaran negara yang sangat besar tentu bukan pekerjaan mudah. Belum lagi ada anggaran sektor lain yang tentu tidak bisa diabaikan, misalnya seperti pendidikan, pertahanan, dan pariwisata. Lalu menghadapi tarik menarik kepentingan politik. Oleh karena itu menurut saya sangat penting Menteri Keuangan dari kalangan profesional dan kompeten, jika tidak, yah bayangkan sendiri bagaimana jadinya ekonomi sebuah negara.
Tapi kan bro, pemerintah mana mau dengar, kan mereka elite politik?
Kalau kurang puas, kita harus terus benahi. Itulah mengapa ekonomi ini ilmu sosial. It's not always all about economics.
Kita juga harus belajar tentang politik, media jurnalistik, hingga komunikasi publik. Jadi kita bisa menjadi bagian dari sistem untuk memperbaikinya secara tepat. Bukan hanya dengan ujaran kebencian atau sentimen tertentu.
Bagi yang ingin menonton video yang saya jelaskan diatas, bisa melalui tautan berikut ya.
Secara umum, tujuan eksistensi ilmu ekonomi adalah untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, harga-harga stabil, dan semua orang bisa bekerja atau berusaha dengan layak (full employment). Meskipun dalam perjalanan menuju kesana ada rumus-rumus yang rumit dan politik yang jungkir balik, namun kita tidak boleh lupa tujuan dan esensi kita mempelajari ilmu ekonomi.
Nah, ternyata dampak dan manfaat ekonomi luar biasa besar ya bagi orang banyak. Kita bisa menuju kesana dengan mulai dari diri sendiri, bagaimana mengelola ekonomi pribadi, keluarga, hingga ke lingkup selanjutnya yang lebih luas.
Jadi, mari sama-sama belajar, jangan menyerah untuk terus berkembang menjadi lebih baik ya kawan-kawan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H