Di era modern, industri perbankan menjadi bagian penting dari sistem ekonomi di hampir seluruh negara. Secara fundamental, kita perlu mengetahui bahwa bank adalah bisnis yang sangat mengandalkan kepercayaan. Itu karena uang yang dikelola sebagian besar merupakan Dana Pihak Ketiga (DPK), alias dana nasabah.Â
Sederhananya bisnis bank itu biasanya modalnya tidak terlalu besar, namun di sisi kewajiban ada "hutang" kepada nasabah yang lantas dikelola menjadi penyaluran kredit atau investasi surat berharga. Sebagai contoh BCA di tahun 2022 memiliki total ekuitas sekitar Rp221 triliun, sedangkan DPK nya jauh lebih besar mencapai Rp1.039 triliun.
Oleh karena itu bank sering disebut bisnis yang mengandalkan leverage, karena sangat mengandalkan dana yang "dipinjam" dari nasabah untuk dapat menjalankan bisnisnya. Berbeda dengan bisnis manufaktur atau pertambangan misalnya, tentu ekuitasnya lebih besar dibanding kewajiban atau hutangnya.
Dana yang disimpan di bank itu tentu didasarkan pada kepercayaan masyarakat bahwa uangnya akan aman. Namun perlu diketahui bahwa secara bisnis, bank akan menyalurkan uang simpanan nasabah tersebut menjadi kredit atau pembiayaan. Selain menyalurkannya menjadi kredit, bank juga bisa menyimpan dana tersebut di bank lain, atau berinvestasi dengan membeli surat berharga, untuk mendapatkan imbal hasil. Bank biasanya hanya menyimpan sebagian kecil asetnya dalam bentuk kas.
Nah padahal jika nasabah mau tarik dananya kan maunya kas? sedangkan realitanya kas yang tersedia di bank itu hanya sedikit. Itulah mengapa bank perlu mengelola likuiditasnya dengan hati-hati. Jika kepercayaan masyarakat terhadap bank terus menurun, maka bisa jadi akan berujung seperti kasus SVB dan Signature.
Kondisi keterbatasan kas tersebut erat kaitannya dengan sistem yang disebut Fractional Reserve Banking yang saat ini diterapkan hampir di seluruh dunia. Jadi secara regulasi, bank "hanya" diwajibkan menyediakan cadangan kas dalam jumlah tertentu, tidak boleh semuanya disalurkan menjadi kredit atau surat berharga.Â
Reserve ratio yang umum di dunia adalah sekitar 10%, sehingga secara sederhana jika terdapat DPK sebesar Rp1.000 miliar, maka kas minimum yang perlu disimpan oleh bank sebesar Rp100 miliar. Sisanya bank yang menentukan kemana uang tersebut akan disalurkan.
Seperti kata-kata yang pernah diucapkan oleh Presiden AS Franklin D. Roosevelt pada tahun 1933.Â
"When you deposit money in the bank, the bank does not put your money into  a safe deposit vault. It invests your money in many different forms of credit-bonds and many other kinds of loans".
Banyak yang tidak menyadari bahwa kredit yang disalurkan oleh bank akan menjadi uang "baru" yang beredar di masyarakat. Misalnya si A menyimpan uang Rp100 miliar di Bank A, lalu bank A menyalurkan kredit Rp90 miliar ke si B (ingat bank harus menyimpan cadangan 10% atau Rp10 miliar dalam bentuk kas). Selanjutnya si B bisa menggunakan uang "baru" tersebut untuk membeli barang, modal usaha, atau bahkan menyimpannya lagi ke bank B. Jika si B menyimpan Rp90 miliarnya ke bank B, maka bank B bisa menyalurkan kredit ke si C sebesar Rp81 miliar, dan seterusnya.
Ketika roda uang tersebut terus bergulir tentu uang yang beredar akan semakin banyak bukan? Jika uang semakin banyak tentu akan berdampak pada permintaan (demand) yang semakin tinggi. Oleh karena itu Bank Sentral biasanya sangat memperhatikan tingkat pertumbuhan penyaluran kredit.Â