Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengulik Central Bank Digital Currency, Era Baru Dunia Keuangan?

8 Desember 2022   11:41 Diperbarui: 27 Desember 2022   00:08 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: shutterstock_1736324390- via currency.com

Sebuah kabar menarik dirilis oleh Bank Indonesia (BI) pada Pertemuan Tahunan yang digelar di Jakarta. Bank sentral kini telah menerbitkan buku putih atau white paper terkait Central Bank Digital Currency (CBDC) yang diberi nama Project Garuda. Dokumen yang bersifat high level design ini menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan rupiah versi digital.

Wacana pengembangan CBDC ini sejatinya sudah mulai ramai diperbincangkan sejak 2020 lalu, beberapa negara juga sudah berinisiatif melakukan riset, namun belum banyak yang melangkah ke pilot project maupun penerbitan resmi. 

Berdasarkan data Atlantic Council per 7 Desember 2022, terdapat 11 negara yang telah meluncurkan CBDC secara resmi, 15 negara berstatus pilot project, 26 negara berstatus development, dan 46 negara yang masih dalam tahap riset.

Sejak diluncurkannya white paper Project Garuda, Indonesia kini menjadi salah satu negara yang dalam tahap pengembangan (development).

Banyaknya negara yang berlomba-lomba mengembangkan CBDC ini tentu memantik penasaran banyak pihak, mendorong banyak sekali pertanyaan yang muncul, seperti apa kaitannya CBDC dengan cryptocurrency? Apa bedanya dengan e-money atau e-banking? hingga teknologi apa yang nantinya akan digunakan?

Wajar jika publik bertanya-tanya, apalagi semenjak pandemi kita memang seolah "dipaksa" untuk beradaptasi dengan dunia digital. Bekerja, belanja, hingga belajar semua bisa dilakukan secara online. Otomatis pembayaran juga hampir semua bisa dilakukan secara online, seperti menjadi konsensus bahwa jika tidak bisa transaksi secara online maka cenderung akan ditinggalkan oleh pengguna karena tidak praktis.

Apalagi semenjak booming kripto, banyak orang yang berduyun-duyun menjadi investor aset kripto. Ada yang tertarik dengan potensi keuntungan berlipat-lipat, ada juga yang tertarik dengan pengembangan kripto yang berpotensi mendorong perubahan besar pada dunia keuangan global.

Nah, sepertinya segala kondisi itu memancing urgensi pengembangan CBDC makin tinggi. Dunia ini butuh alat pembayaran yang lebih cepat, efisien, namun tentunya harus aman.

Sumber ilustrasi: shutterstock_1736324390- via currency.com
Sumber ilustrasi: shutterstock_1736324390- via currency.com

Berbeda dengan Kripto dan Uang Elektronik?

Dari 11 negara yang sudah resmi meluncurkan CBDC, hampir semuanya adalah negara yang skala ekonominya tidak terlalu besar seperti Jamaika, Nigeria, Bahama, serta 8 negara kepulauan Karibia. Sedangkan jika dilihat dari sisi G20, negara besar yang terdepan pada tahap pilot project adalah China, India, Korea Selatan, Rusia, Saudi Arabia, dan Afrika Selatan.

Salah satu yang paling disorot oleh publik adalah uji coba dari digital yuan yang dikembangkan oleh People's Bank of China (PBOC), dan digital rupee yang dikembangkan The Reserve Bank of India (RBI).

China dan India adalah negara dengan kekuatan ekonomi penting di dunia, serta memiliki populasi manusia yang sangat besar. Jelas uji coba CBDC di China dan India menjadi pusat perhatian dari seluruh dunia.

Konsep CBDC memang cukup membingungkan bagi orang awam, apalagi benda ini masih banyak yang bersifat konseptual dan uji coba, sehingga perubahan memang terus terjadi.

Secara prinsip, jelas CBDC berbeda dengan cryptocurrency, CBDC diterbitkan oleh bank sentral dan berlaku sebagai alat pembayaran. Sedangkan cryptocurrency diterbitkan oleh tim developer dan tidak bisa digunakan sebagai alat pembayaran. Meskipun begitu, CBDC tampaknya akan mencoba mengadopsi teknologi blockchain yang memiliki keunggulan dalam proses transaksi dan validasi yang lebih cepat, namun dengan beberapa modifikasi karena mata uang resmi harus tetap dikelola oleh negara. 

Jika kita melihat tahap uji coba digital yuan sebagai contoh, secara sederhana digital yuan atau e-Chinese Yuan (e-CNY) didesain sebagai versi digital dari uang fisik yang berupa kertas.

Lho bukannya sudah ada seperti e-banking, e-money, atau e-wallet?

Secara bentuk mungkin hampir serupa, namun ini adalah hal yang berbeda, karena produk e-banking, e-money, dan e-wallet diterbitkan oleh bank komersial atau perusahaan payment gateway, seperti GoPay atau OVO. Seluruh infrastruktur, data-data saldo serta catatan transaksi dikelola oleh bank atau perusahaan penerbit.

Sedangkan CBDC diterbitkan oleh bank sentral, akan ada keterlibatan bank sentral pada jaringan infrastruktur dan pengelolaan data transaksi atas uang digital tersebut.

Contohnya di China, ada aplikasi khusus di ponsel untuk e-CNY yang bisa digunakan untuk melakukan pembayaran berbasis QR code. Aplikasi ini dikelola langsung oleh bank sentral atau PBOC, sehingga data keuangan dan catatan transaksi dikelola oleh bank sentral, bukan di bank komersial atau payment gateway.

Nah, bukannya juga sudah ada juga ya metode transaksi berbasis QR code? Apa bedanya dengan CBDC?

Secara teknis transaksi hampir sama, kita sebagai pengguna tinggal scan QR, masukkan password atau fingerprint, dan voila transaksi selesai. Tentu saldonya harus cukup ya, hehe.

Namun kembali lagi secara prinsip CBDC ini bersifat seperti uang kartal atau giral. Jadi aplikasi CBDC ini mengakomodasi transaksi QR secara offline sekalipun, karena secara teknis data kita telah terhubung dengan bank sentral.

Logika sederhananya, menggunakan CBDC ini seperti kita menarik uang kertas dari ATM lalu masuk dompet. Bedanya CBDC ini tidak masuk dompet tapi masuk saldo digital di aplikasi CBDC. Secara pencatatan keuangan, uang digital ini juga diperlakukan sama seperti uang tunai, karena bukan merupakan saldo bank seperti tabungan atau deposito.

Perlu kembali diingat, CBDC ini masih dalam tahap pengembangan maupun uji coba, jadi perubahan-perubahan desain maupun teknis bisa saja terus terjadi. Di Indonesia, BI pun mengutarakan bahwa pada Project Garuda masih terdapat beberapa opsi desain serta teknis yang masih terus digodok.

Sumber ilustrasi : IMF Magazine F&D, September 2022
Sumber ilustrasi : IMF Magazine F&D, September 2022

Sejauh Apa Dampaknya?

Banyak negara yang berlomba-lomba mengembangkan CBDC ini menjadi sinyal, sejauh apa dampaknya pada dunia keuangan.

Di China sendiri sebagai negara maju yang terdepan mengembangkan CBDC, ada agenda besar yang dituju melalui mata uang digital negara ini.

Selama satu dekade terakhir, penggunaan uang fisik di negeri tirai bambu ini sudah turun drastis, seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi dan teknologi disana. Masyarakat semakin terbiasa menggunakan e-banking, e-money, dan e-wallet, bahkan hingga cryptocurrency.

Sekitar 90% pangsa pasar alat pembayaran di China dikuasai oleh dua perusahaan teknologi raksasa. Siapa lagi kalau bukan Alibaba dengan Alipay, dan Tencent dengan WeChatPay nya.

Bank sentral China sebagai otoritas moneter merasa ada urgensi bahwa negara perlu memiliki peran lebih kuat dalam hal alat transaksi pembayaran, karena itu adalah hajat hidup orang banyak dan penting bagi stabilitas ekonomi negara.

Jika diserahkan semua ke swasta, mungkin akan lebih banyak risikonya, seperti keamanan data dan tingkat kejahatan keuangan. Contohnya seperti ambruknya kripto FTX, Terra, dan Luna, lalu kasus fraud di payment gateway seperti Razorpay dan Easebuzz.

Logika sederhananya kurang lebih seperti itu, meskipun ya kita sama-sama tahu keamanan data atau kejahatan keuangan bisa terjadi dimanapun, tidak hanya di swasta, hehe.

Dengan memiliki peran lebih pada sektor alat pembayaran melalui CBDC, negara dapat lebih memastikan kelancaran perputaran roda ekonomi masyarakat, memastikan keamanan data, serta menggunakan data-data yang diperoleh untuk kepentingan negara, misalnya program bantuan sosial, sensus statistik ekonomi, atau perpajakan.

Apalagi sifat CBDC yang digital, secara biaya akan lebih efisien dibanding uang fisik. Seiring perkembangan infrastruktur dan teknologi, adopsi CBDC di kota hingga daerah dapat lebih efektif. Negara dapat mengurangi biaya pencetakan, keamanan, hingga pengiriman uang.

Dalam jangka panjang, CBDC juga memiliki potensi utilisasi yang menarik. Memanfaatkan keunggulan teknologi blockchain, suatu negara dapat mengaplikasikan smart contract yang saat ini hanya dimiliki oleh cryptocurrency dalam transaksi keuangan masyarakat sehari-hari.

Apa itu smart contract?

Secara sederhana, smart contract adalah serangkaian pemrograman yang dapat melakukan validasi atas suatu perjanjian atau transaksi dengan berbasis data.

Misalnya seorang melakukan transaksi pembelian properti, maka data-data terkait seperti profil pembeli, penjual, data properti, klausul perjanjian, kewajiban perpajakan, jumlah pembayaran, semuanya akan otomatis dieksekusi secara sistem. Tidak perlu lagi cetak dokumen beberapa rangkap, foto kopi KTP, atau cari-cari pinjaman pulpen, hehe.

Di bidang perbankan, proses pembuatan rekening, pengelolaan simpanan, hingga pemberian pinjaman dapat dilakukan lebih cepat secara otomasi karena semua basis data yang dibutuhkan untuk verifikasi dan analisis sudah tersedia.

Sedangkan pada bidang sosial, pemerintah dapat melakukan perhitungan, alokasi, dan distribusi bantuan sosial dengan lebih tepat. Verifikasi dan distribusi dana dapat dilakukan melalui CBDC sehingga tidak perlu ada lagi cetak dokumen, salah sasaran bansos, atau pungli pemotongan saat verifikasi.

Lebih jauh lagi, transaksi pembayaran lintas negara atau cross border payment dapat lebih cepat dan efisien untuk dieksekusi, karena sistem antar bank sentral dapat langsung bertukar data yang valid. Ketika semua sudah berbasis data, tidak perlu tukar menukar uang kertas dan pemeriksaan validitas secara fisik.

Tentu perjalanan menuju kesana masih sangat panjang dan berliku, namun melihat berbagai manfaat bagi masyarakat tentu kita patut berusaha. Meskipun kita tidak boleh menutup mata, pasti ada risiko yang bisa terjadi, seperti penyalahgunaan data, kasus fraud, hingga ketergantungan manusia pada sistem.

Belum lagi pekerjaan rumah Indonesia yang sangat besar dalam hal data kependudukan. Akan sulit mengembangkan keuangan digital jika data keuangan masih belum dikelola dengan baik.

Bagaimanapun risiko dan tantangan itu harus kita hadapi serta dimitigasi, tidak perlu terus ditakuti karena akan menghambat perkembangan kita untuk lebih maju dan sejahtera.

Setelah melalui berbagai era alat tukar seperti logam, emas, uang fiat, hingga uang elektronik, kini manusia akan memasuki era baru yaitu uang digital. Kita sebagai manusia harus terus belajar karena sebagai makhluk berakal harus bisa mengendalikan uang, bukan uang yang mengendalikan manusia. Seperti salah satu kutipan dari Morgan Housel dalam buku Psychology of Money.

"Money's greatest intrinsic value---and this can't be overstated---is its ability to give you control over your time."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun