Apalagi di tengah kenaikan suku bunga acuan bank sentral di seluruh dunia, membuat investor konservatif cenderung lebih memilih untuk menghindari aset berisiko. Jika instrumen yang relatif risk-free seperti US Government Bond memberikan imbal hasil yang stabil di 4% hingga 5%, tentu banyak investor yang lebih memilih menempatkan dananya disana, dibanding aset kripto yang bak roller-coaster.
Perlu diingat, harga kripto bisa melonjak tinggi di 2020 dan 2021 lebih dikarenakan saat itu suku bunga acuan bank sentral Amerika atau the Fed masih sangat rendah yaitu nyaris 0% untuk membantu pemulihan ekonomi saat pandemi. Ditambah sentimen ancaman krisis ekonomi global, dan masifnya aksi "cetak uang" pemerintah untuk mengatasi dampak Covid.
Namun sejak keputusan The Fed untuk mengerek suku bunga acuan di tahun 2022 ini, dana-dana besar di pasar kripto mulai berangsur keluar. Total kapitalisasi pasar aset kripto sudah merosot sekitar 60% sejak awal tahun 2022.
Dengan ambruknya FTX tentu memicu kembali pesimisme terhadap perkembangan industri kripto. Terutama bagi investor institusi yang memiliki dana jumbo, banyak yang memilih mengamankan dananya keluar dari pasar kripto.
Kini sudah semakin banyak orang yang rasional, bahwa teknologi keuangan yang berjalan tanpa regulasi tentu memiliki risiko yang sangat tinggi. Apalagi teknologi kripto dan rekan-rekannya seperti crypto exchange, decentralized finance (de-fi), metaverse, dan non-fungible token (NFT) banyak dikembangkan oleh sekelompok anak muda yang mungkin belum terbiasa mengelola berbagai macam risiko.
Bisa saja niat dan tujuan pengembangan sebuah aset kripto itu baik, namun apabila terus dikelilingi serangan virus, aksi fraud serta scam, lama-lama akan ada yang bobol juga. Jika uang pengguna sudah hilang, lantas siapa yang bertanggung jawab? Nobody.
Kasus FTX juga menjadi pelajaran penting bagi kita mengenai pentingnya mitigasi risiko dan mekanisme perlindungan konsumen.
Misalnya jika kita menempatkan uang kita di instrumen keuangan seperti deposito, saham, reksadana, obligasi, atau sukuk. Pengelolaan dana tersebut diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan ada perantara seperti bank kustodian, sehingga dana kita tidak dipegang sepihak oleh penerbit atau exchanger seperti FTX.
Jika terjadi sesuatu yang buruk, seperti bank yang bangkrut misalnya, dana kita tetap aman dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Dalam konteks aset kripto, yang melakukan pengawasan adalah Badan Pengawas Perdagangan Komoditi (Bappepti), karena di Indonesia aset kripto memang dikategorikan sebagai komoditas.