Tahun 2022 ini awalnya diharapkan menjadi momentum recovery dari dampak pandemi yang membuat dunia babak belur. Namun realitanya, periode ini menjadi salah satu momen paling tidak menentu dan sangat menantang bagi berbagai negara.
Roda ekonomi belum berputar dengan cukup stabil, kita sudah dikejutkan dengan meletusnya perang Rusia dan Ukraina di awal tahun ini. Meskipun tidak sampai meluas ke negara-negara lain, namun impact perang terhadap ekonomi dunia ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan.
Berbagai sanksi internasional terhadap Rusia turut membuat situasi semakin pelik. Banyak negara saling sikut mencari komoditas dan sumber energi dari negara selain Rusia dan Ukraina, padahal ketersediaan barang juga makin terbatas.
Selain itu, sektor transportasi logistik masih susah payah untuk pulih pasca pandemi yang hampir memangkas habis armada mereka. Bayangkan saja saat pandemi banyak kapal, pesawat, truk, kontainer yang sudah dilepas demi efisiensi, kini tentu butuh waktu untuk menghimpunnya kembali.
Tidak heran, tarif shipping cost internasional "menggila" beberapa waktu lalu, memicu supply disruption yang secara telak membuat harga-harga barang merangkak naik.
Harga yang melambung tinggi, mengakibatkan komplikasi bagi ekonomi dunia. Kini tahun 2022 kita dihadapkan pada tantangan badai "tri-high" yaitu high inflation, high exchange rate, hingga high interest rate.
Bagaimana Indonesia akan melalui periode berat ini? Sudah siapkah kita?
Melewati Badai Inflasi
Tentu kita sudah sering mendengar, inflasi tinggi sedang mendera ekonomi dunia. Negara superpower seperti Amerika Serikat (AS) saja inflasinya menembus 9% pada Agustus lalu, meskipun kini sudah mulai melandai ke level 8%.
Negara-negara lain turut menderita lonjakan inflasi, berdasarkan data Trading Economics menunjukkan "amukan" inflasi di Turki mencapai sekitar 80%, Argentina 65%, Sri Lanka 64%, dan Iran 54%.
Inflasi menjadi penting karena mencerminkan tingkat kenaikan harga-harga barang. Makin tinggi tentu makin mahal, padahal pendapatan segitu-gitu aja, terbayang kan sulitnya.
Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022 lalu, inflasi kita tercatat 4,69%. Itu saja udah berasa serba sulit karena harga bensin naik, telur naik, cabe naik, listrik naik. Apalagi di negara yang inflasinya diatas 50%?
Amit-amit kan ya.
Oleh karena itu, pemerintah pontang-panting berusaha mengendalikan inflasi. Berbagai jurus kebijakan diluncurkan agar tanah air kita tidak menderita seperti negara lain.
Namun sumber inflasi ini lebih kepada permasalahan supply side seperti dijelaskan di atas tadi, membuat harga komoditas melonjak dan ongkos produksi serta logistik masih mahal.
Impor kita yang masih tinggi atas minyak, gas, mesin, bahan kimia, dan makanan membuat kenaikan harga sulit dibendung. Banyak negara mengalami permasalahan yang hampir sama, imported inflation.
Beruntung, Indonesia merupakan eksportir komoditas energi seperti batu bara dan minyak kelapa sawit. Harga batu bara yang "menggila" secara tidak langsung menjadi blessing in disguise bagi tanah air. Bahkan APBN dan neraca dagang kita sampai surplus terutama imbas dari besarnya pendapatan ekspor batu bara dan sawit.Â
Terakhir kali APBN kita surplus itu tahun 2012 lalu lho.
Surplus itulah yang digunakan pemerintah untuk memberikan tambahan subsidi bahan bakar minyak, beli vaksin, hingga memberikan bantuan sosial.
Meskipun harga bensin akhirnya tetap naik, namun sejatinya harga pasarnya jauh lebih tinggi. Berdasarkan data Kementerian Keuangan per Agustus 2022, harga "pasar seharusnya" Pertalite itu Rp14.450 per liter, sedangkan gas Rp18.500 per kg. Nah sekarang harganya berapa, selisihnya itulah yang masih disubsidi oleh pemerintah.
Era Bunga Tinggi
Selain inflasi, tantangan lain yang dihadapi ekonomi seluruh dunia adalah era suku bunga tinggi.
Berita tentang high interest rate ini juga tidak kalah sering terdengar dibanding masalah inflasi. Tentu karena suku bunga dan inflasi ini dua hal yang saling terkait.
Bank Sentral AS, Federal Reserve atau sering disebut The Fed, selama tahun 2022 telah mengerek suku bunga acuan sebanyak lima kali. Dari 0,25% pada awal tahun, hingga pada September telah menyentuh 3,25%.
The Fed berencana terus menaikkan Fed Fund Rate (FFR) agar dapat mengendalikan laju inflasi di Amerika. Sederhananya ini salah satu upaya untuk "menarik" dollar yang beredar di masyarakat kembali ke bank agar tidak terus dibelanjakan dan membuat harga-harga makin mahal.
Lalu, apa kita yang hidup di Indonesia ini harus peduli?
Bisa jadi iya, bisa jadi tidak, hehe.
Jika kita masih hidup membutuhkan bensin, gas, listrik, dan lain-lain, sebaiknya kita tetap cermati efek aksi The Fed yang berencana terus mengerek FFR. Lho apa hubungannya?
Saat suku bunga US Dollar (USD) makin tinggi, tentu semakin banyak investor dan pemilik modal yang lebih tertarik untuk memegang the greenback. Mata uang lain, termasuk Rupiah akan cenderung ditinggalkan. Capital outflow juga menjadi konsekuensi yang dapat terjadi.
Alhasil nilai tukar uang kita terhadap dollar akan cenderung melemah. Per akhir September 2022 kurs rupiah terhadap dollar telah menembus Rp15.200. Padahal, kita masih sangat bergantung pada impor minyak, ini dan itu, yang pembayarannya harus pakai dollar.
Fenomena penguatan USD terhadap mata uang domestik (high exchange rate) ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun hampir di seluruh dunia. Bahkan Chinese Yuan, Euro, dan Japan Yen, yang terkenal sebagai "lawan tanding" USD juga nilai tukarnya turut melemah.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia salah satunya memang selalu "terjebak" dengan kedigdayaan AS dan dollarnya, yang masih dipandang oleh pasar sebagai mata uang paling berpengaruh dalam perdagangan internasional.
Untuk mencegah pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan inflasi, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter terpaksa turut mengerek suku bunga acuannya.
BI 7 Days Repo Rate atau BI7DRR yang di awal tahun masih berada di level 3,5%, kini telah menyentuh 4,25%.
Harapannya tentu agar nilai tukar rupiah bisa tetap terjaga stabil. Karena jika rupiah fluktuatif dan terus melemah, maka impor bisa makin tekor, barang-barang makin mahal, perusahaan makin susah, dan anggaran negara juga bisa ambrol.
Meskipun di sisi lain, kenaikan suku bunga acuan tentu akan berdampak pada kenaikan suku bunga kredit atau pembiayaan, yang pastinya akan membebani roda ekonomi.
Angsuran kredit usaha, rumah, hingga kendaraan pasti akan lebih tinggi dan membebani keuangan masyarakat. Simalakama.
Keseimbangan itulah yang perlu dicermati oleh by pemerintah dan segenap otoritas terkait yang berperan menjaga stabilitas sistem keuangan yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan.
Lalu kita sebagai rakyat biasa, tentu tidak hanya bengong saja. Memahami lanskap kondisi ekonomi secara lebih luas akan membantu kita untuk lebih berpikir lebih jernih. Lebih bagus lagi jika bisa memberi pendapat dan masukan, tidak melulu menyalahkan sana sini yang serba sulit.
Bijak mengelola uang, menjaga kecukupan dana darurat, dan berinvestasi secara tepat akan membantu keseimbangan keuangan kita dan keluarga. Jika banyak dari kita mampu mengelola kondisi keuangan dengan baik, maka tentu akan membantu negara kita untuk bisa melewati badai "tri-high" ini dengan tumbuh menjadi lebih kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H