Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Turki Diterpa Inflasi Tinggi 73%, Apa yang Terjadi?

15 Juni 2022   12:01 Diperbarui: 27 Juni 2022   07:08 2405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafik GDP Turki. Sumber data: worldbank.org

Negara yang terletak di antara benua Eropa dan Asia ini bisa dibilang cukup populer di masyarakat Indonesia. Mulai dari pesona Cappadocia, sejarah panjang Islam, hingga tokoh presidennya, Recep Tayyip Erdogan.

Kini Turki sedang tidak baik-baik saja. Inflasi super tinggi hingga mencapai 73% membuat rakyat Turki kalang kabut.

Lonjakan inflasi ini menyebabkan kenaikan harga barang-barang di sana, mulai dari makanan, bahan bakar, bahkan hingga tisu toilet pun jadi lebih mahal.

Jika dibandingkan dengan Indonesia saat ini, tingkat inflasi tahunan berada di level 3,5%. Itupun rasanya sudah berasa barang-barang makin mahal kan, apalagi yang 73% coba?

Tidak hanya inflasi tinggi, negeri yang baru saja berganti nama resmi menjadi Turkiye itu diterpa kejatuhan nilai mata uang lira. 

Secara year on year, nilai tukar lira dibanding US Dollar (USD) telah melemah 52%, yang menjadikan lira sebagai mata uang dengan kinerja terburuk di dunia selama periode tahun 2022.

Satu USD kini dihargai setara 17 lira, melemah dibandingkan Mei tahun lalu saat nilai tukar masih berada di level 8 lira.

Tidak hanya terhadap USD, nilai tukar lira pada Rupiah pun juga tercatat terus melemah. Satu lira kini dihargai sekitar Rp850, jauh merosot dibanding kurs tahun lalu yang masih di sekitar Rp1.600 per lira.

Pantas saja, bagi turis Indonesia, berlibur ke Turki bisa dibilang makin murah, harga-harga barang di sana juga jadi murah. Namun sebaliknya bagi warga Turki, harga-harga makin hari makin mahal.

Padahal di era awal 2000-an, Turki pernah dijuluki Miracle of Europe, karena kemajuan pesatnya dalam bidang ekonomi, bisnis, dan budaya.

Apa sih yang terjadi di Turki hingga seperti ini?

Sulitnya Mengendalikan Uang

Kondisi yang dialami Turki saat ini menjadi pelajaran bahwa mengelola ekonomi negara itu sangat tidak mudah. Apalagi di tengah gejolak geopolitik global dan pandemi Covid.

Sumber ilustrasi: move2turkey.com
Sumber ilustrasi: move2turkey.com
Dari sisi national output economic, yang diukur dari Gross Domestic Product (GDP), negara yang dilintasi Selat Bosporus ini tercatat memang telah menurun sejak tahun 2013. 

Berdasarkan data World Bank, GDP Turki melesat 376% di periode 2001 hingga 2013 hingga menyentuh 957 miliar USD, namun setelah itu terus merosot setiap tahun menjadi 720 miliar USD pada 2020 lalu.

Grafik GDP Turki. Sumber data: worldbank.org
Grafik GDP Turki. Sumber data: worldbank.org
Kondisi itu menunjukkan mesin ekonomi Turki mulai melambat. Apalagi diterpa pandemi Covid, lalu perang Rusia dan Ukraina yang memicu melonjaknya harga minyak, gas, dan batu bara secara global membuat kondisi ekonomi makin babak belur.

Meroketnya harga energi tersebut membuat negara yang dipimpin Erdogan ini harus mengeluarkan biaya yang sangat besar karena industri negara masih bergantung cukup besar pada impor minyak bumi, gas, dan batu bara.

Belum lagi masalah pasokan bahan baku seperti gandum, minyak sawit, hingga melambungnya biaya kargo dan perkapalan.

Padahal, transaksi impor mayoritas menggunakan USD dan nilai tukar lira terus menurun, alhasil defisit neraca transaksi berjalan makin melebar.

Neraca transaksi berjalan atau current account ini menjadi salah satu indikator utama tingkat kesehatan ekonomi negara. Dengan kondisi defisit yang terus melebar, maka kepercayaan investor terhadap sovereign currency Turki yaitu lira terus merosot, investor juga menjadi cenderung enggan mengembangkan usaha disana.

Apalagi secara geopolitik, tercatat beberapa kali pemerintahan Turki berseteru dengan negara lain seperti Amerika Serikat, Saudi Arabia, dan yang terbaru konflik dengan Yunani. Para investor dan pengusaha menjadi ragu untuk memegang lira lalu lebih memilih menukarkannya ke USD.

Penurunan nilai tukar lira terhadap USD yang anjlok sangat dalam dalam setahun terakhir tentu memberatkan pos anggaran negara. 

Dari data Statista periode 2021, rasio utang Turki terhadap GDP berada di level 41%, sehingga beban anggaran negara untuk pembayaran utang internasional jadi makin berat.

Antara Politik dan Ekonomi

Menghadapi kondisi ekonomi yang serba sulit seperti meroketnya inflasi dan pelemahan nilai tukar uang, Presiden Erdogan mengambil pendekatan yang tidak konvensional.

Dalam teori ekonomi umum, untuk menghadang inflasi dan pelemahan nilai tukar, bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan secara bertahap. 

Tujuannya agar masyarakat lebih tertarik menyimpan uangnya di bank dibanding belanja, sehingga harga-harga barang menurun. Pemegang USD juga bisa lebih tertarik menukarkan uangnya ke lira jika imbal hasilnya menarik, sehingga perlahan memulihkan nilai tukar lira.

Namun, Presiden Erdogan kini tegas menolak wacana peningkatan suku bunga acuan dan lebih memilih pendekatan yang berlawanan yaitu pemangkasan suku bunga. Pemimpin yang menjabat sejak 2003 ini juga mengungkapkan bahwa suku bunga bertentangan dengan ajaran Islam.

Dari data Bank Sentral Turki (CBRT), suku bunga acuan per Mei 2022 kini berada di level 14%.

Mengerek suku bunga acuan memang bukan satu-satunya jalan keluar, apalagi jika inflasi disebabkan masalah pasokan bahan baku dan impor. Apabila salah takaran, suku bunga tinggi bisa jadi malah menghambat roda ekonomi dan memberatkan masyarakat.

Pemerintah Turki sendiri terakhir kali menaikkan suku bunga acuan pada Maret 2021 lalu dari 17% menjadi 19%. Lalu sejak Agustus 2021 terus menurun secara bertahap hingga level 14% seperti saat ini.

Sebagai gambaran, suku bunga acuan di Indonesia kini jauh lebih rendah yaitu 3,5%. Meskipun tentu saja kondisinya berbeda, karena Turki memang sedang diterpa masalah ekonomi dan politik yang cukup pelik.

Grafik suku bunga acuan Turki. Sumber data: investing.com
Grafik suku bunga acuan Turki. Sumber data: investing.com

Presiden Erdogan juga tercatat membongkar pasang kabinet ekonominya. Gubernur Bank Sentral Turki sudah diganti tiga kali selama tahun 2021, kemudian Menteri Keuangan juga diganti.

Gonta-ganti kabinet ekonomi ini tentu bisa dipandang kurang baik oleh para investor, karena mencerminkan instabilitas pemerintahan dan adanya pengaruh politik dalam pengelolaan kebijakan moneter.

Meskipun begitu, pemerintah Turki tidak hanya bertopang dagu. Beberapa kebijakan untuk menangkal kejatuhan ekonomi terus diupayakan, seperti kewajiban konversi mata uang, pemangkasan pajak, hingga intervensi di pasar valuta asing, namun belum sepenuhnya efektif.

Kondisi ini tentu menjadi momen-momen yang berat bagi pemerintah dan warga Turki. Bagi Presiden Erdogan, situasi pelik ini menjadi tantangan tersendiri karena tahun 2023 akan ada Pemilu Presiden di mana Erdogan akan mencalonkan diri kembali melalui partainya yaitu AKP.

Tekanan ekonomi ini tidak hanya terjadi di Turki, namun hampir semua negara mengalaminya, termasuk Indonesia. Hampir tidak mungkin untuk menutup mata dari pengaruh gejolak internasional, karena setiap negara pasti membutuhkan impor, ekspor, pertukaran mata uang, perjalanan lintas batas, dan perdagangan antar negara.

Oleh karena itu, di masa sulit ini pengambilan kebijakan ekonomi dan pengelolaan keuangan yang mengedepankan sense of crisis akan menjadi sangat krusial.

Dari kondisi Turki kita bisa banyak belajar, bahwa ternyata mengelola uang itu tidak mudah ya, apalagi mengelola keuangan negara. Pantas saja, ekonom sekaligus filsuf India, Amartya Sen, pernah berkata.

"Economic growth without investment in human development is unsustainable, and unethical"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun