Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Apa itu Tapering dan Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?

19 Januari 2022   13:58 Diperbarui: 28 Maret 2022   21:29 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: constructionbusinesstoday.com

Pandemi Covid-19 sudah berlangsung hampir 2 tahun dan belum menunjukkan tanda-tanda usai. Memberi dampak yang masif mulai dari kesehatan, gaya hidup, hingga ekonomi.

Hampir tidak ada negara yang benar-benar siap menghadapi pandemi Covid-19, bahkan negara superpower Amerika Serikat (AS), China, dan negara-negara Eropa sekalipun.

Pertumbuhan ekonomi dalam sekejap menjadi tiarap. Memaksa berbagai negara mengeluarkan segala "jurus" stimulus agar dunia dapat bertahan dari hantaman krisis multidimensi.

Termasuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi sempat anjlok minus cukup dalam 5,32% di kuartal II tahun 2020. Dengan segala daya, kita mampu rebound menjadi positif 3.51% pada periode kuartal III tahun 2021.

Kini kondisi ekonomi global terlihat mulai stabil, sehingga beberapa negara mulai menjajaki pengurangan stimulus. Salah satu yang paling dicermati pelaku pasar tentu adalah pengurangan stimulus ekonomi AS atau disebut tapering off.

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, tapering off akan memberi dampak yang sangat luas. Lalu, seberapa penting sih isu tapering off akan memengaruhi perjalanan ekonomi Indonesia di tahun ini?

Angin Panas Tapering

Pandemi Covid-19 kali ini memang menjadi "musuh" yang tidak terlihat dan sulit diperhitungkan. Sehingga berbagai negara melakukan segala cara untuk menanganinya.

Termasuk Amerika Serikat (AS) yang gencar mengeluarkan bermacam kebijakan untuk mempertahankan perekonominya, salah satunya adalah pelonggaran kuantitatif atau Quantitative Easing (QE).

Secara sederhana, QE adalah kebijakan moneter untuk meningkatkan uang beredar di masyarakat. Salah satu aksi yang dilakukan Federal Reserve atau The Fed sering disebut juga "printing money" yaitu membeli aset-aset keuangan seperti Surat Berharga Negara AS (US Treasury) maupun surat utang korporasi yang dimiliki masyarakat atau perusahaan, secara masif dan berkelanjutan.

Dengan masuknya likuiditas dana yang beredar di masyarakat diharapkan dapat menggerakkan roda ekonomi dan mengurangi dampak pandemi terhadap perekonomian AS. Kebijakan dovish The Fed ini juga diikuti bank-bank sentral di berbagai negara, sehingga membuat dana segar mengalir di pasar.

"Banjir" likuiditas dana inilah yang mendorong ekonomi AS untuk pulih lebih cepat, melejitnya indeks-indeks saham di berbagai negara, tidak terkecuali market crypto yang melesat tinggi di era pandemi. Wajar mengingat negara-negara maju memperlakukan uang sebagai aset yang selalu mencari instrumen investasi yang dapat memberikan imbal hasil tinggi.

Namun di tengah pemulihan ekonomi dunia ini, pada penghujung tahun 2021 lalu Chairman The Fed Jerome Powell mengumumkan bahwa AS akan melakukan tapering off atau pengurangan stimulus moneter QE yang telah dilakukan.

Pertimbangannya, ekonomi AS sudah menunjukkan perbaikan, growth economy di kuartal III tahun 2021 telah menyentuh 2,3% dan bahkan inflasi di negeri Paman Sam ini melonjak tinggi hingga menembus 7%, level tertinggi sejak 39 tahun terakhir. Tentu, AS tidak ingin mesin ekonomi terlalu panas yang dapat mengganggu pemulihan yang sedang berjalan.

Tapering off dilakukan dengan cara mengurangi aksi pembelian US treasury dan meningkatkan suku bunga acuan. Hal ini berpotensi membuat banyak pemilik modal yang menarik dananya dari berbagai instrumen dan investasinya di emerging market untuk kembali memegang US Dollar atau US Treasury.

Pengumuman ini tentu direspon beragam oleh pelaku pasar dan pemerintah berbagai negara. Kebijakan The Fed ini mengingatkan kondisi yang hampir sama pada tahun 2008 juga dilakukan QE untuk mengantisipasi global financial crisis, lalu dilakukan tapering pada tahun 2013.

Saat itu dampak tapering membuat IHSG anjlok sekitar 20% dan kurs rupiah melemah hampir 50%. Investor asing melakukan aksi jual besar-besaran dan nilai tukar rupiah dibuat rontok oleh kedigdayaan the greenback. Periode yang sangat dinamis ini juga dikenal dengan sebutan taper tantrum.

Sumber foto: constructionbusinesstoday.com
Sumber foto: constructionbusinesstoday.com

Bagaimana Tahun ini?

Sejak Jerome Powell mengumumkan rencana tapering di penghujung 2021, hingga saat ini IHSG dan kurs rupiah masih mampu bertahan cukup baik. IHSG mampu bertahan di level 6.600-6.700, sedangkan nilai tukar rupiah juga relatif stabil di kisaran Rp14.300.

Berbagai pihak termasuk jajaran pemerintah Indonesia menilai taper tantrum tidak akan terulang di tahun 2022 ini, melihat para pelaku pasar yang sudah lebih siap dan fundamental ekonomi yang lebih baik. 

The Fed juga berupaya lebih komunikatif dengan harapan memberi cukup waktu bagi para pelaku pasar untuk price-in secara bertahap.

Namun banyak juga yang mengingatkan bahwa pemerintah dan pelaku pasar harus tetap memantau bagaimana The Fed merealisasikan pengurangan stimulus tersebut. 

Dilansir dari Bloomberg, The Fed siap untuk mempercepat pengurangan pembelian obligasi dari sebelumnya US$15 miliar menjadi US$30 miliar, serta dilanjutkan dengan rencana kenaikan suku bunga acuan sebanyak tiga kali di tahun 2022 ini.

Melihat berbagai tantangan itu, Indonesia harus menjaga optimisme dengan tetap waspada atas berbagai downside risk yang dapat memengaruhi outlook ekonomi. Apalagi gelombang Covid-19 varian Omicron juga mulai menyebar secara global.

Secara fundamental, ekonomi tanah air saat ini dinilai lebih resilient dibanding tahun 2013 lalu saat taper tantrum terjadi. Cadangan devisa berada pada level sekitar US$144 miliar, tertinggi sepanjang sejarah. Dengan begitu, bank sentral memiliki "amunisi" yang memadai untuk melakukan intervensi pasar apabila terjadi gejolak nilai tukar rupiah.

Selain itu neraca transaksi berjalan RI yang positif serta semakin berkurangnya komposisi investor asing di surat berharga Indonesia menjadi modal yang baik untuk menghadapi tapering.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan pada tahun 2013 lalu porsi Surat Berharga Negara yang dapat diperdagangkan (SBN tradeable) mencapai 32%, kini turun menjadi sekitar 20%. 

Selain itu data Bursa Efek Indonesia juga menggambarkan porsi kepemilikan investor asing di pasar modal tanah air juga berkurang, dari 60% pada 2013 menjadi sekitar 40% pada 2020.

Indonesia juga dinilai memiliki daya tarik dengan commodity super cycle yang berpotensi mendorong ekonomi tanah air berkembang lebih cepat. Selain itu ekosistem perusahaan rintisan teknologi yang semakin matang dan bahkan banyak yang berencana untuk IPO, sangat menarik bagi investor luar negeri.

Tidak kalah penting sinergi Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan dalam lingkup Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) semakin solid. Sinergi ini semakin diperkuat dengan adanya kebijakan strategis seperti triple intervention, burden sharing, serta berbagai kebijakan moneter dan fiskal lainnya.

Secara fundamental ekonomi dan perangkat pemerintahan, Indonesia sudah jauh lebih siap. Namun di era ekonomi terbuka seperti saat ini, kewaspadaan serta penetapan kebijakan atas perkembangan terkini akan sangat menentukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun