Dengan masuknya likuiditas dana yang beredar di masyarakat diharapkan dapat menggerakkan roda ekonomi dan mengurangi dampak pandemi terhadap perekonomian AS. Kebijakan dovish The Fed ini juga diikuti bank-bank sentral di berbagai negara, sehingga membuat dana segar mengalir di pasar.
"Banjir" likuiditas dana inilah yang mendorong ekonomi AS untuk pulih lebih cepat, melejitnya indeks-indeks saham di berbagai negara, tidak terkecuali market crypto yang melesat tinggi di era pandemi. Wajar mengingat negara-negara maju memperlakukan uang sebagai aset yang selalu mencari instrumen investasi yang dapat memberikan imbal hasil tinggi.
Namun di tengah pemulihan ekonomi dunia ini, pada penghujung tahun 2021 lalu Chairman The Fed Jerome Powell mengumumkan bahwa AS akan melakukan tapering off atau pengurangan stimulus moneter QE yang telah dilakukan.
Pertimbangannya, ekonomi AS sudah menunjukkan perbaikan, growth economy di kuartal III tahun 2021 telah menyentuh 2,3% dan bahkan inflasi di negeri Paman Sam ini melonjak tinggi hingga menembus 7%, level tertinggi sejak 39 tahun terakhir. Tentu, AS tidak ingin mesin ekonomi terlalu panas yang dapat mengganggu pemulihan yang sedang berjalan.
Tapering off dilakukan dengan cara mengurangi aksi pembelian US treasury dan meningkatkan suku bunga acuan. Hal ini berpotensi membuat banyak pemilik modal yang menarik dananya dari berbagai instrumen dan investasinya di emerging market untuk kembali memegang US Dollar atau US Treasury.
Pengumuman ini tentu direspon beragam oleh pelaku pasar dan pemerintah berbagai negara. Kebijakan The Fed ini mengingatkan kondisi yang hampir sama pada tahun 2008 juga dilakukan QE untuk mengantisipasi global financial crisis, lalu dilakukan tapering pada tahun 2013.
Saat itu dampak tapering membuat IHSG anjlok sekitar 20% dan kurs rupiah melemah hampir 50%. Investor asing melakukan aksi jual besar-besaran dan nilai tukar rupiah dibuat rontok oleh kedigdayaan the greenback. Periode yang sangat dinamis ini juga dikenal dengan sebutan taper tantrum.
Bagaimana Tahun ini?
Sejak Jerome Powell mengumumkan rencana tapering di penghujung 2021, hingga saat ini IHSG dan kurs rupiah masih mampu bertahan cukup baik. IHSG mampu bertahan di level 6.600-6.700, sedangkan nilai tukar rupiah juga relatif stabil di kisaran Rp14.300.
Berbagai pihak termasuk jajaran pemerintah Indonesia menilai taper tantrum tidak akan terulang di tahun 2022 ini, melihat para pelaku pasar yang sudah lebih siap dan fundamental ekonomi yang lebih baik.Â