Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

"Mendung Tanpo Udan" dalam Dialektika Kaum Urban

21 November 2021   21:03 Diperbarui: 24 November 2021   03:22 2173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: wallpaperaccess.com

Mendung tanpo udan (mendung tanpa hujan)
Ketemu lan kelangan (bertemu dan kehilangan)
Kabeh kuwi sing diarani perjalanan (semua itu yang disebut perjalanan)

Penggalan lirik tembang berbahasa jawa tersebut akhir-akhir ini mendadak sering terdengar di telinga kita.

Lagu berjudul "Mendung Tanpo Udan" ini mendadak populer di tengah kaum urban, bahkan oleh orang-orang yang tidak mengerti bahasa jawa sekalipun.

Tembang jawa yang dinyanyikan oleh Ndarboy Genk ini mampu menembus top chart tidak hanya di Indonesia, tapi juga melesat hingga negara-negara tetangga seperti Brunei dan Hongkong.

Fenomena populernya tembang jawa di tengah kaum urban modern ini menjadi menarik dari sisi perspektif humaniora dan budaya.

Hampir sama seperti lagu-lagu pop jawa populer sebelumnya yang identik dengan Didi Kempot, tembang Mendung Tanpo Udan juga mengangkat tema hubungan antar manusia dan kesederhanaan hidup.

Dua sisi inilah yang ketika dibalut dengan bahasa jawa, membuat pendengar merasa "dekat" dengan keseharian. Menjadi sebuah dialektika di tengah kehidupan kaum urban, antara kerlap kerlip modernitas dan heningnya kesederhanaan.

Kerinduan Budaya

Bagi orang Indonesia, bahasa daerah sudah seperti aliran darah yang menjadi identitas kultural, meskipun dia merantau sejauh apapun. Dalam hal ini misalnya keturunan jawa, secara alamiah akan selalu merasa dekat dengan bahasa jawa termasuk lagu-lagunya.

Seperti saat seorang perantau asal jawa yang bertemu orang jawa lainnya di kota rantau, langsung ada rasa senang dan kedekatan emosional meski baru saling mengenal.

Kehidupan di tanah rantauan yang terkadang penuh dengan tekanan dan kesulitan mendorong adanya sebuah kerinduan akan kampung halaman. Tembang jawa bisa menjadi salah satu obat kerinduan bagi beberapa orang.

Senada dengan petikan lirik Mendung Tanpo Udan ini,

Awak dewe tau nduwe bayangan (Kita punya harapan)
Besok yen wes wayah omah-omahan (Besok jika sudah waktunya berumah tangga)
Aku moco koran sarungan (Aku baca koran pakai sarung)
Kowe blonjo dasteran (Kamu belanja pakai daster)

Sumber ilustrasi: wallpaperaccess.com
Sumber ilustrasi: wallpaperaccess.com

Hidup damai dengan kesederhanaan menjadi angan-angan "minimum" bagi hampir semua orang daerah yang merantau. Tidak perlu rumah mewah atau mobil mahal, bisa duduk santai sambil membaca koran dengan outfit sarungan, sudah menjadi sebuah kenikmatan.

Sangat kontras dengan tren kehidupan kaum urban saat ini, dimana gaya hidup banyak diukur dari penampilan dan media sosial.

Banyak dari kita yang tidak sadar terbawa arus deras modernitas. Gadget canggih, outfit keren, hingga kopi kekinian seperti menjadi halusinasi standar minimum bertahan hidup di perkotaan.

Masih hangat sindiran satir yang beredar di media sosial tentang lanyard Coach dan flatshoes Tory Burch yang populer dipakai pegawai kantoran di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD).

Padahal, manusia hidup kan sejatinya hanya perlu makan, dan tentu saja perlu bahagia, sebuah kata yang mungkin abstrak bagi sebagian orang.

Setiap orang pasti punya cara bahagianya masing-masing. Kebebasan dalam menentukan definisi bahagia versi diri sendiri adalah sebuah privilege sebagai manusia yang terkadang lupa kita syukuri.

Ada yang merasa bahagia jika bisa tampil classy dan fancy.

Ada juga yang merasa bahagia jika bisa bersantai sambil membaca koran.

Tidak ada yang benar atau salah, karena semua itu pilihan.

Seperti penggalan lirik tadi, dalam streotipe budaya daerah, ada hal-hal sederhana yang sudah bisa membuat kita bahagia.

Hidup memang tidak semudah menentukan pilihan, tapi setidaknya Mendung Tanpo Udan bisa memberi pesan bagi kaum urban, bahwa selalu ada warna kesenangan dan kesedihan dalam sebuah perjalanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun