Eropa, China, India, dan beberapa negara maju di dunia, kini tengah dilanda krisis energi. Pulihnya aktivitas ekonomi pasca dampak pandemi tidak diimbangi ketersediaan pasokan energi, ditambah lagi cuaca ekstrem membuat banyak pembangkit listrik terganggu.
Negara-negara Eropa yang selama ini paling getol menyuarakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), kini sedang menghadapi dilema. Benua biru memang menjadi yang terdepan dalam mempromosikan penggunaan pembangkit listrik bertenaga angin dan matahari, menggantikan sumber energi berbahan baku fosil seperti batu bara dan gas alam.
Namun produktivitas EBT di Eropa kini terganggu karena terjadinya perfect storm, kondisi cuaca ekstrem yang membuat pembangkit listrik tenaga angin dan matahari, beserta storage-nya terdampak. Kondisi diperparah dengan pasokan gas alam dari Rusia yang terganggu karena urusan politik.
Jadilah benua biru terancam gelap gulita.
Pasokan energi global semakin terbatas karena dua negara penghasil batu bara terbesar yaitu China dan India mengalami gangguan produksi akibat faktor cuaca ekstrem.
Dalam sebulan terakhir ini, sekitar 60 lokasi tambang batu bara di China terpaksa ditutup karena gangguan produksi maupun curah hujan yang sangat tinggi. Kini negeri tirai bambu mau tidak mau harus melakukan pemadaman bergilir di beberapa provinsi, demi "menghemat" persediaan listrik.
Kondisi India tak kalah sulit, seperti dilaporkan CNN, data Central Electricity Authority (CEA) India menunjukkan bahwa 63 dari 135 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di India hanya memiliki pasokan batu bara untuk dua hari. Dari jumlah itu, 17 di antaranya sudah kehabisan stok. Padahal 70% lebih pembangkit listrik di India adalah PLTU.
Bahkan gangguan produksi di Eropa, China dan India ini sudah mulai menular hingga mengancam ketahanan energi Amerika Serikat yang justru kesulitan mempertahankan pasokan gas alam.
Nasib Indonesia?
Indonesia adalah negara penghasil batu bara terbesar ketiga di dunia. Secara jangka pendek, bisa dibilang negara kita seharusnya memiliki ketersediaan pasokan bahan bakar penghasil listrik yang aman.
Dilansir dari Bisnis, PLN menyatakan bahwa pasokan listrik tanah air masih dalam kondisi aman. Selain itu di Indonesia terdapat kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang mewajibkan 25% rencana jumlah produksi tahunan batu bara untuk kebutuhan domestik.
Namun dengan kondisi semakin terbatasnya supply batu bara di pasar global, maka harga emas hitam ini terus melesat tinggi. Hingga awal Oktober 2021 harga acuan batu bara dunia ICE Newcastle menembus all-time high di harga USD 270 atau naik 238% secara year to date.
Harga di pasar global yang jauh melesat tentu berpotensi menimbulkan masalah bagi kebijakan DMO, mengingat produsen batu bara pasti akan lebih tergiur untuk mengekspor demi mengeruk keuntungan berlipat.
Perusahaan-perusahaan penghasil batu bara nasional seperti PT Bukit Asam, Adaro Energy, hingga Indomegah Tambang Raya kini menjadi tumpuan ketahanan energi dalam negeri, meskipun hasil produksi mereka menjadi rebutan di pasar global.
Selain itu, Indonesia tentu tidak bisa berleha-leha. Di tengah pandemi dan berbagai ketidakpastian, negeri ini tidak bisa terus mengandalkan energi berbasis fosil.
Sebagaimana data Kementerian ESDM, cadangan batu bara tanah air diperkirakan "hanya" akan bertahan hingga 65 tahun ke depan.
Energi baru terbarukan memang tidak sesederhana urusan bumi yang lebih bersih, namun juga ada kepentingan geopolitik dan korporasi multinasional. Tapi tidak ada salahnya kita juga bersiap-siap, karena jangan sampai anak cucu kita nanti kesulitan untuk sekadar menyalakan lampu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H