ekonomi dunia dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak negara yang awalnya skeptis mulai mempertimbangkan digitalisasi mata uang nasionalnya.
Globalisasi yang melaju pesat terus membawa konsekuensi dan disrupsi. Setelah cryptocurrency memberi kejutan besar bagi tatananSalah satu negara terdepan adalah China, yang telah melakukan riset sejak 2016 dan uji coba penggunaan secara publik digital yuan atau e-CNY sejak April 2020 lalu. Masa percobaan terus dilakukan hingga saat ini dengan berbagai skenario transaksi penggunaan e-CNY.
Ambisi besar memang dicanangkan pada proyek digital yuan. Mata uang ini akan di desain untuk dapat menjadi mata uang domestik dan internasional (cross border) yang cepat dan efisien. Bahkan Februari lalu, China menyatakan telah bekerjasama dengan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT), perusahaan global yang terdepan dalam bidang cross border payment provider.
Beberapa analis internasional pun memperkirakan bahwa aksi China yang cukup getol mengembangkan digital yuan akan menjadi langkah penting untuk menggoyahkan hegemoni US Dollar yang selama ini menjadi mata uang paling berharga di dunia.
Namun menariknya, pemerintah China menjalankan proyek mata uang digitalnya ini tetap dengan gayanya yang bertangan besi. Digital yuan rencananya akan diterbitkan dan dikontrol langsung oleh People's Bank of China (PBOC) atau Bank Sentral China.
Secara tidak langsung nantinya PBOC akan berhadapan dengan raksasa financial technology (fintech) raksasa seperti Alipay dan WeChat Pay yang selama ini saat ini menguasai 90% pasar digital wallet di China. Banyak pihak memandang, proyek digital yuan ini salah satu langkah Beijing untuk mengerem duopoli raksasa fintech di negeri tirai bambu.
Dengan segala pro dan kontra, menarik untuk dilihat sejauh mana sepak terjang digital yuan di dalam negeri China hingga ingin meruntuhkan hegemoni US Dollar.
Mengekang Fintech
Sebelum jauh berbicara bagaimana ambisi digital yuan untuk mendunia, mata uang yang juga biasa disebut renmibi ini harus menghadapi dinamika politik di dalam negeri.
Bukan rahasia lagi, pemerintah China sangat keras terhadap industri teknologi yang notabene berkembang sangat pesat dan mendunia. Di Tiongkok, ada 2 perusahaan teknologi yang sangat dominan dan memiliki kekuatan besar di sektor finansial, yaitu Ant Group dan Tencent Holding.
Ant Group adalah induk usaha Alibaba, perusahaan perdagangan yang telah mendunia. Selain itu juga mengelola digital wallet terbesar di China yaitu Alipay dan bank digital yang bernama MY Bank.
Sedangkan Tencent Holding adalah perusahaan konglomerasi teknologi yang menaungi WeChat, QQ, Tencent Music, Tencent Game, dan masih banyak lagi. Salah satu kepanjangan tangan Tencent adalah Sea Group yang memiliki e-commerce Shopee. Hampir sama seperti Ant Group, Tencent juga memiliki bank digital bernama WeBank dan digital wallet provider bernama WeChat Pay.
Perkembangan pesat Ant Group dan Tencent ini menarik perhatian perhatian pemerintah China. Dengan tangan besinya, Beijing bahkan memperketat peraturan anti monopoli dan memberi sanksi bagi dua korporasi raksasa tersebut.
Jack Ma, pendiri Ant Group bahkan sempat dikabarkan hilang dalam beberapa waktu setelah terang-terangan mengkritik kebijakan pemerintahan Xi Jinping.
Dengan adanya proyek digital yuan, banyak pihak berpendapat pemerintah China ingin lebih mengontrol industri finansial dalam negeri. Alipay dan WeChat Pay memang dikabarkan akan tetap bisa mengintegrasikan layanannya dengan digital yuan, namun kontrol data dan informasi akan menjadi jauh lebih ketat.
Otoritas keuangan China dapat lebih efisien dalam melakukan distribusi dan kontrol mata uang nasional. Selain itu akses negara terhadap data perputaran uang, konsumsi, investasi, maupun integrasi data dengan berbagai layanan keuangan lainnya akan lebih besar.
Hal ini menjadi penting karena berdasarkan data Bloomberg, penggunaan uang kertas di China hanya sekitar 5% dari total perputaran uang. Hampir seluruh masyarakat China telah terbiasa dengan transaksi cashless.
Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, penggunaan uang kertas masih sekitar 20%. Well... sepertinya China akan satu langkah di depan dalam adopsi mata uang digital.
Menantang US Dollar
Hingga saat ini, US Dollar masih menjadi mata uang yang paling banyak digunakan di dunia. Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) per posisi kuartal 1 tahun 2021, sebanyak 60% lebih cadangan devisa (reserve currecy) seluruh negara di dunia adalah US Dollar.
Namun data IMF juga menunjukkan, meskipun US Dollar masih menjadi raja mata uang dunia namun komposisi greenback cenderung terus menurun dari hampir 70% pada 2014 menjadi 60% pada 2021. Amerika Serikat tentu tidak bisa terus jumawa melihat fakta ini.
Chinese Yuan sendiri hingga tahun 2021 adalah mata uang terbesar kelima yang digunakan sebagai reserve currency di dunia, setelah US Dollar, Euro, Japan Yen, dan British Pound.
Melihat bagaimana peran China dalam perdagangan internasional yang semakin vital, bukan tidak mungkin bahwa Yuan berambisi mengusik hegemoni US Dollar. PBOC juga menyatakan bahwa akan terus mendorong internasionalisasi Yuan, dan digital yuan adalah salah satu langkah penting.
Salah satu kekuatan China adalah volume perdagangan internasional yang tumbuh cepat, terutama dengan negara-negara di Asia dan Afrika. Gavekal Research bahkan menyebut China sedang membangun "Asia's New Monetary Order". Tujuannya tentu saja, untuk mengikis ekonomi US Dollar-sentris.
Namun Tiongkok juga memiliki banyak pekerjaan rumah, yuan masih dianggap memiliki convertibility yang rendah, tidak banyak aset investasi di China yang dapat diakses dengan leluasa oleh pasar internasional. Ditambah lagi Beijing yang sangat berkuasa dalam hal melakukan intervensi ekonomi.
Bertahun-tahun Amerika Serikat dan US Dollar mampu mempertahankan hegemoninya sebagai penguasa ekonomi dunia. Akankah China bisa mengusiknya? kita lihat saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H