Pandemi Covid-19 merubah banyak pola hidup anak muda di Indonesia, salah satu perubahan yang unik adalah munculnya tren investasi di kalangan milenial.Â
Adanya waktu luang karena harus stay at home hingga maraknya konten-konten investasi di media sosial melahirkan investor-investor muda angkatan Corona. Ada juga yang menyebutnya investor angkatan Han Ji-Pyeong, haha.
Tentu sebuah kabar bagus, generasi milenial yang biasanya dikenal cenderung konsumtif, sulit menabung, dan tidak peduli investasi, kini mulai tergugah.Â
Anak-anak muda sudah mulai penasaran apa itu investasi saham, reksadana, dan emas. Tidak berhenti di situ, karena tren investasi ini bertepatan dengan booming teknologi, makin dikenal juga berbagai fintech peer to peer lending, hingga cryptocurrency.
Di sisi lain generasi milenial masih menghadapi tantangan gaya hidup modern yang sering disebut You Only Live Once (YOLO) dan Fear Of Missing Out (FOMO), yang membuat kita lebih takut tidak bisa mengikuti gaya hidup terkini dibanding tidak bisa hidup layak di masa depan.
Nah, akankah tren investasi anak-anak muda bisa mengalahkan gaya hidup YOLO dan FOMO?
Investasi Berbasis Teknologi
Salah satu hal yang membuat milenial mulai tertarik dengan investasi adalah kini berinvestasi sangat dimudahkan dengan teknologi.Â
"Pusaka" anak muda yaitu smartphone, kini sudah sangat powerful untuk melakukan hampir semua aktivitas keuangan.
Salah satu yang paling nge-tren adalah investasi saham. Kini makin menjamur content creator saham, grup-grup telegram, hingga "mology-mology", bahkan anak presiden-pun punya "mology-nya" sendiri, hehe.
Namun seperti tren yang sudah-sudah, kini perlahan-lahan tren investasi saham pun mulai menjalankan seleksi alamnya.
Melihat saat awal pandemi Maret 2020 lalu, IHSG terjun bebas hingga Rp 3.900 an, dan mampu rebound ke Rp 6.000 di Januari 2021, wajar jika banyak investor-investor baru yang mendapatkan cuan dalam waktu singkat. Akibatnya banyak anak-anak muda yang merasa menjadi "dewa saham" di akhir tahun lalu.
Seperti instrumen investasi lainnya, melakukan investasi ada ilmu yang harus dipelajari, dan generasi milenial terkadang lebih suka yang instan. Padahal potensi pasar modal di negeri kita masih sangat besar.
Berdasarkan data Bank Indonesia dan Bursa Efek Indonesia, dengan jumlah penduduk Indonesia usia produktif sebanyak 189 juta dan jumlah investor ritel di pasar modal 4,16 juta, maka rasionya hanya sekitar 2,2 persen. Tertinggal jauh dari Amerika Serikat (AS) dengan rasio mencapai 55 persen, Singapura mencapai 26 persen, bahkan Malaysia mencapai 9 persen.
Dengan proyeksi ekonomi Indonesia yang akan terus tumbuh dan bonus demografi penduduk usia produktif Indonesia, perjalanan pasar modal Indonesia bisa dibilang masih sangat menjanjikan.
Kadang kita terjebak mengejar saham yang sedang tren atau rekomendasi-rekomendasi yang too good to be true di pasar modal, jadinya FOMO kan.
Itulah mengapa kembali lagi ke frasa awal, investasi juga perlu ilmu, karena ada do and dont's yang harus dipelajari untuk tidak terjebak ke dalam YOLO FOMO ala milenial.
Jadi terlepas dari naik turunnya indeks harga saham yang memang seperti itu adanya, saham tetap menjadi salah satu instrumen investasi yang memiliki potensi yang sangat menarik.
Mengikis YOLO dan FOMO
Seperti diungkap di atas, di tengah tren investasi pun milenial tidak lepas dari godaan YOLO dan FOMO.
Riset Otoritas Jasa Keuangan juga menunjukkan bahwa tingkat kesadaran milenial di Indonesia terhadap keuangan masih cukup rendah, yaitu sekitar 33 persen. Akibatnya banyak yang terjebak dalam konsumerisme, lilitan hutang, hingga investasi bodong.
Bisa dibayangkan jika kita tidak terampil mengelola keuangan dan harus menghadapi kondisi-kondisi darurat seperti pandemi Covid-19 yang bahkan masih terus berlangsung hingga saat ini.
Salah satu cara mengikis YOLO dan FOMO adalah menumbuhkan habit perencanaan keuangan dan investasi yang sesuai gaya anak muda. Seperti akses yang mudah dan penyampaian yang menarik.
Step by step, harus dimulai dari sisi mengelola keuangan dan menabung. Kini sudah makin banyak aplikasi pencatat keuangan di smartphone yang sangat menarik dan user friendly.
Menabung pun kini pun semakin inovatif, hadirnya layanan digital banking hingga aplikasi mobile bergaya milenial seharusnya dapat menjadi media untuk memupuk literasi keuangan anak muda.
Setelah tabungan terkumpul, milenial identik menyukai hal-hal yang berbau experience, jadi tidak salah jika menggunakan sebagian tabungan untuk menyalurkan hobi misalnya traveling, gaming, atau bersepeda. Jangan salah jalan, menyalurkan hobi dengan hutang, apalagi pinjaman online, waduh big no.
Step selanjutnya tentu investasi, ya sebaiknya investasi dilakukan jika tabungan untuk dana darurat sudah tercukupi. Ibarat membangun rumah, jangan membeli lampu jika pondasi dan lantai belum terpasang.
Nah investasi ini lebih challenging daripada menabung. Kita harus mau belajar apa itu reksadana, saham, emas, obligasi/sukuk, atau properti. Perlu dipahami bahwa instrumen-instrumen tersebut memiliki "habitat" nya masing-masing.
Reksadana dengan saham bisa memiliki cara kerja pasar dan tingkat risiko yang berbeda, apalagi dengan emas atau properti.
Generasi milenial memiliki sifat pembelajar dan curiousity yang tinggi, jadi kini sudah makin banyak aplikasi hingga content creator yang memberikan edukasi terkait keunikan masing-masing instrumen tersebut. Belajar investasi kini sudah menjadi sesuatu yang kekinian.
Jadi, sudah saatnya kita bersama-sama menjadi generasi micin (milenial cinta investasi), hehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H