Melihat saat awal pandemi Maret 2020 lalu, IHSG terjun bebas hingga Rp 3.900 an, dan mampu rebound ke Rp 6.000 di Januari 2021, wajar jika banyak investor-investor baru yang mendapatkan cuan dalam waktu singkat. Akibatnya banyak anak-anak muda yang merasa menjadi "dewa saham" di akhir tahun lalu.
Seperti instrumen investasi lainnya, melakukan investasi ada ilmu yang harus dipelajari, dan generasi milenial terkadang lebih suka yang instan. Padahal potensi pasar modal di negeri kita masih sangat besar.
Berdasarkan data Bank Indonesia dan Bursa Efek Indonesia, dengan jumlah penduduk Indonesia usia produktif sebanyak 189 juta dan jumlah investor ritel di pasar modal 4,16 juta, maka rasionya hanya sekitar 2,2 persen. Tertinggal jauh dari Amerika Serikat (AS) dengan rasio mencapai 55 persen, Singapura mencapai 26 persen, bahkan Malaysia mencapai 9 persen.
Dengan proyeksi ekonomi Indonesia yang akan terus tumbuh dan bonus demografi penduduk usia produktif Indonesia, perjalanan pasar modal Indonesia bisa dibilang masih sangat menjanjikan.
Kadang kita terjebak mengejar saham yang sedang tren atau rekomendasi-rekomendasi yang too good to be true di pasar modal, jadinya FOMO kan.
Itulah mengapa kembali lagi ke frasa awal, investasi juga perlu ilmu, karena ada do and dont's yang harus dipelajari untuk tidak terjebak ke dalam YOLO FOMO ala milenial.
Jadi terlepas dari naik turunnya indeks harga saham yang memang seperti itu adanya, saham tetap menjadi salah satu instrumen investasi yang memiliki potensi yang sangat menarik.
Mengikis YOLO dan FOMO
Seperti diungkap di atas, di tengah tren investasi pun milenial tidak lepas dari godaan YOLO dan FOMO.
Riset Otoritas Jasa Keuangan juga menunjukkan bahwa tingkat kesadaran milenial di Indonesia terhadap keuangan masih cukup rendah, yaitu sekitar 33 persen. Akibatnya banyak yang terjebak dalam konsumerisme, lilitan hutang, hingga investasi bodong.