Penghujung tahun ini, tagar #TeamJiPyeong dan #TeamDoSan berseliweran di linimasa berbagai media sosial. Bagi yang belum ngeh, analogi team-team an itu berasal dari hype drama Korea yang berjudul Start Up.
Bicara tentang start up, perusahaan rintisan yang berbasis teknologi ini sebenarnya sudah cukup akrab di telinga masyarakat Indonesia.
Negara kita bahkan memiliki 1 jagoan Decacorn, start up yang memiliki valuasi lebih dari US$ 10 miliar atau sekitar Rp150 triliun, yaitu Go Jek.
Decacorn ini bisa dibilang "makhluk" yang cukup langka lho di dunia per start up an. Berdasarkan riset Hurun Research Institute di tahun 2019, di dunia ini hanya ada 23 start-up yang berstatus Decacorn, salah satunya Go Jek yang berasal dari Indonesia.
Nah, drama ternyata tidak hanya terjadi di layar kaca Korea, tapi juga di dunia nyata. Pandemi Covid-19 yang hadir tiba-tiba membuat kalang kabut seluruh dunia usaha, tidak terkecuali banyak perusahaan start up.
Hal yang pertama paling terasa tentu penurunan aktivitas ekonomi secara drastis. Sebagai contoh yang dirasakan Go Jek sebagai perusahaan yang berbasis sharing economy, dampak dari pembatasan aktivitas, penurunan omzet, hingga protokol kesehatan yang ketat otomatis membuat aksi pertumbuhan Go Jek melambat.
Start Up yang identik dengan strategi "bakar uang" pun kini semakin mengetatkan ikat pinggang, bahkan berhembus isu bahwa Grab dan Go Jek akan merger karena investor-investornya tidak kuat terus-terusan bakar uang, apalagi di masa pandemi yang dari sisi indikator ekonomi serba tidak pasti.
Perusahaan start up tidak hanya tertekan dari sisi aktivitas. Laporan Google, Temasek, Bain & Company yang dirangkum dalam e-Conomy 2020 menunjukkan bahwa jumlah pendanaan investor ke start up di Asia Tenggara di tahun 2020 ini menurun sekitar 35%.
Dalam laporan yang sama, sektor online travel mengalami penurunan penjualan yang paling signifikan, hingga hampir 60%, sedangkan transport & food menurun 11%.
Makin seretnya pendanaan dan penurunan penjualan mau tidak mau memaksa start up untuk bergerak lebih efisien, bahkan di antaranya mungkin terpaksa efisiensi.
Salah satu start up unicorn negeri kita, Traveloka, merasakan hantaman paling keras akibat pandemi Covid-19. Nikkei Asia Review melaporkan, pada Q3 tahun 2020 Â lalu, Traveloka bahkan harus mengurangi jumlah karyawan, termasuk memangkas gaji dan bonus pegawai.
Terbayang kan bagaimana CEO dan seluruh staf perusahaan start up ini berjibaku untuk survive saat ini ?
Pandemi ini ternyata membawa tantangan yang sangat kompleks ya bagi perusahaan start up, bahkan mungkin lebih menyulitkan dibanding persaingan Nam Do San dan Han Ji Pyeong memperebutkan mbak Seo Dal Mi, hehe.
Manuver Start Up
![Sumber ilustrasi : rflavin.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/12/26/successful-startup-fundraising-5fe72de5d541df2b0b2b2e42.jpeg?t=o&v=770)
Go Jek misalnya, kini memanfaatkan kesempatan untuk memperkuat digital payment mereka, Go Pay dengan cepat menempelkan layanan mereka di berbagai platform. Tidak hanya yang terkait dengan layanan online seperti food delivery, game, dan billing, namun juga ekspansif ke layanan offline seperti minimarket, parkir kendaraan, hingga berbagai kios.
Start Up lain yang juga cepat melihat peluang adalah e-commerce, seperti Tokopedia. Meskipun rencana dual listing Tokopedia di BEI dan NYSE mungkin akan tertunda, tapi Tokopedia mampu melakukan manuver survival di masa pandemi ini dengan cukup baik dengan memperluas layanan e-commerce nya dengan digital financial services.
Jika dilihat-lihat lagi, start up yang paling pusing sepertinya di sektor online travel, seperti Traveloka, Tiket, dan Pegipegi. Berbagai jurus pasti sudah coba diterapkan, dan setidaknya mampu membuat mereka bertahan. Layanan seperti digital ticketing, online experience, hingga promo staycation menjadi penyambung nafas bagi sektor online travel.
Menatap Masa Depan
Nah, ternyata drama tidak hanya terjadi di layar Netflix kan, hehe, perusahaan start up di dunia nyata memang sedang mengalami masa-masa yang sangat challenging saat ini.
Laporan Google, Temasek, Bain & Company memprediksi bahwa tahun 2021, aksi merger dan akuisisi di dunia start up akan meningkat sebagai salah satu upaya bertahan hidup dan terus berkembang.
Dalam peta ekonomi digital, Indonesia memegang peran yang sangat penting, karena negara kita memiliki nilai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan nilai mencapai US$ 44 milyar dan diprediksi akan mampu menembus US$ 124 milyar dalam 5 tahun mendatang.
Shifting dalam dunia ekonomi digital juga akan semakin marak, karena akibat pandemi kini banyak pengguna internet yang mulai menggunakan online grocery dan education. Bukan tidak mungkin akan hadir unicorn baru di sektor ini tahun depan.
Menarik mencermati bagaimana start up melewati masa-masa pandemi ini. Jadi pilih #TeamDoSan atau #TeamJiPyeong? atau malah #TeamGoJek dan #TeamTraveloka? hehe.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI