Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lunpia yang Berusaha Sederhana

27 Juli 2015   22:00 Diperbarui: 27 Juli 2015   22:00 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber foto : http://www.indonesia-heritage.net/2015/01/kemegahan-arsitektur-eropa-di-masa-lalu-kota-lama-semarang/"][/caption]

Lunpia tentu identik dengan kota Semarang, sesungguhnya makanan ini hadir dari perpaduan cinta pedagang keturunan tionghoa bernama Tjoa Thay Joe dengan penjual makanan lokal bernama Mbak Wasih pada abad ke-19 di Semarang. Tidak banyak yang tahu makanan yang begitu melegenda berawal dari cinta yang sederhana, kini menjadi simbol cita rasa. Semarang jelas tidak sebesar saudaranya sesama ibukota yaitu Jakarta, Bandung atau Surabaya, bahkan jumlah penduduknya masih lebih kecil daripada kota Bekasi, hehe tapi Semarang selalu punya cinta dalam kesederhanaan. Seperti Lunpia, yang sejak dulu sampai sekarang selalu gitu-gitu aja, sederhana, namun makin mahal harganya, hehe.

Sebagai ibukota di pusat pulau Jawa, tentu Semarang punya lokasi strategis, namun seperti sudah menjadi modernist mindset bahwa kota yang maju adalah kota yang memiliki gedung-gedung tinggi, bandara-stasiun mewah, mall-mall besar, dan mungkin juga toko gadget yang lengkap, hehe. Haruskah seperti itu? Akankah Semarang menjadi seperti Jakarta? kaum Semarangensis yang kelak akan menjawabnya. Sebagai salah satu wong Semarangbiasa, dan perantau di ibukota, saya ingin sekadar menulis cerminan kota yang berusaha untuk sederhana.

 

Trans Semarang Mau Jadi Apa?

Sindrom kota yang mengaku dirinya “maju” biasanya adalah kemacetan, dan tentu kondisi itu sudah mulai hadir di Semarang, meski belum secanggih di Jakarta yang mampu mengubah jalanan menjadi “perumahan”, hehe. Untuk mengatasi sindrom kemacetan, bus Trans Semarang hadir di tengah-tengah kaum Semarangensis. Busnya tidak besar, mungkin seukuran Kopaja plus plus, jumlahnya juga masih sedikit, lebih sedikit dibanding bus Trans Solo atau Trans Yogya. Halte-halte-nya juga masih jauh dari layak. Meski tidak sempurna, itu jadi pe-er bersama.

Nah lho, meskipun fasilitas masih opo onone (apa adanya), tapi sarana transportasi ini mulai dicintai. Ibu dan adik saya pun kadang masih menggunakan bus ini untuk pergi ke toko, pasar atau mall. Walaupun kadang masih harus nunggu 15 menit lebih, tapi ya wong Semarang masih nrimo, hehe. Kota Semarang memang belum serumit Jakarta (dan semoga tidak), namun cepat atau lambat kota ini perlu transportasi publik yang handal. Apalagi dengan postur Semarang yang ibarat gabungan kota Jakarta-Bogor, ya kota Lumpia ini punya kota dataran rendah dan dataran tinggi yang sama-sama mulai sibuk. Kebayang kan kalo bus tiap hari naik turun tanjakan yang curam, jangan-jangan suatu saat perlu ada cable car ataugondola yang jadi transportasi publik di Semarang, hehe. Apik to?

 

Mall yang Membumi  

Hmm.. di Jakarta ada 173 mall, Surabaya 30 mall, Yogyakarta 13 mall, nah di Semarang? ada 7 saja. Entah sebagai sebuah kota, ini kelebihan atau kekurangan ya, hehe. Wong Semarang sebenarnya cukup banyak yang doyan nge-mall, ssstt.. tapi eh tapi biasane pada ngirit. Ibarat kalo jalan-jalan ke Starbucks tu masuk, liat harga, kok kemahalan, ya keluar lagi (larang ik ndes, hihi), kalo di Jakarta mah biasanya gengsi :p.

Saat di Semarang saya sempat mampir main ke Mall Ciputra dan Paragon Mall, ada yang unik dari dua mall terbesar di Semarang ini. Ciputra itu mall lama, yang sudah dibangun sejak 1994, sedangkan Paragon termasuk mall baru, yang dibangun tahun 2008. Namun ada yang menarik jika kita melihat mushola di dalam kedua mall tersebut. Ciputra baru saja merenovasi mushola-nya, dan ya worth it sih, musholanya bisa disandingkan sama Grand Indonesia-nya Jakarta, hehe (bedanya jelas luasnya :p), sedangkan Paragon meski disebut mall paling modern di Semarang, tapi musholanya kecil sekali. Ya keberadaan mushola di mall memang masih dipandang sebelah mata (sambil merem pula), yah kapan lagi bisa liat antri di mushola sama dengan antri tiket bioskop.. Hmm.. sudah kuduga.. (meme mode on).

 

Manusia memang tidak pernah sama, begitu juga dengan kotanya.

Semarang yang sederhana, berusaha maju dengan tetap apa adanya.

Lumpia yang biasa, kini mulai dewasa, di etalase pun mereka ada.

Meski tidak setenar Starbucks… di Semarang, Lunpia tetap dicinta.

 

Saya terlahir dan berumah di kota Lumpia ini, dan senang rasanya bisa memberi secarik kritik dan harapan agar Semarang jadi lebih indah. Bagi para perantau, rumah memang selalu dirindukan, heinamun ada perantau yang lebih hebat lho yaitu bisa membuat tempat perantauannya senyaman rumahnya. Saya pun masih belum bisa sehebat itu, hehe. Dari manapun kita “berumah”, sampai jumpa dan selamat berjuang kembali demi selangit mimpi :)

 

Septian Ananggadipa

Semarang-Jakarta, 26 Juli 2015.

 

Sumber foto : indonesia-heritage.net/2015/01/kemegahan-arsitektur-eropa-di-masa-lalu-kota-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun