Mohon tunggu...
Septiana Hambar Utami
Septiana Hambar Utami Mohon Tunggu... -

sedang menikmati menjadi staf admin yang terus meraih mimpi masa kecil untuk menjadi seorang penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencintai Kehilangan (Part 1)

2 September 2016   14:20 Diperbarui: 2 September 2016   21:54 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, aku sedang merapikan barang-barang yang akan aku bawa selama pelatihan. Dua hari kedepan, aku akan mengikuti pelatihan tentang aplikasi pendidikan. Namaku Tammy, usiaku kini 24 tahun, aku bekerja di sebuah sekolah swasta sebagai operator aplikasi. Aku mencintai pekerjaanku karena aku bisa bertemu dengan anak-anak setiap hari.

Saat semua barang sudah selesai aku masukkan ke tas, aku melirik handphoneku sekilas, LED nya berkedip tanda pesan yang belum terbaca. Ku raih handphoneku, sebuah pesan BBM.

Abay : Hay,ketemu yuk!

Alisku bertaut membaca pesan itu. Pesan itu dari Abay, teman SMP ku. Kami berkenalan, bukan saat kami masih bersekolah tapilewat media sosial. Entah sejak kapan, kami komunikasi lewat BBM. Tidak intens memang bahkan kadang terkesan aku menghindarinya karena status atau Display Picture nya yang menyeramkan.

Aku berpikir sejenak sebelum membalas pesannya. Melihat jam di layar hp, 19.32 belum terlalu malam.

Tammy : Boleh, dimana?

Abay : Danau dekat rumah, jam 8.

Tammy : Okey.

**

Aku sampai di danau jam 19.50, aku berkeliling danau tapi tidak menemukan sosok Abay. Aku memutuskan membeli beberapa snack untuk bekalku besok. Setelah keluar dari minimarket, aku lihat tidak ada satupun pesan yang masuk. Dia pasti mengerjaiku, lebih baik aku pulang, pikirku. Kemudian aku mengendarai Revoku, memutuskan untuk pulang. Tapi saat di tengah jalan, aku melihat Abay, yaa tentu aku tahu lewat akun facebooknya. Aku menepi, dia tidak melihatku. Aku menimbang-nimbang untuk berputar arah dan menemuinya atau lanjut pulang. Karena tidak ingin mengecewakannya, aku berbalik dan mengikutinya dari belakang.

Dia menepikan motornya di pinggir danau, mengeluarkan handphone dan matanya seolah berpendar, mencari seseorang. Aku hampiri dia, aku parkir motor dengan tiba-tiba tepat di samping kirinya. Dia terlihat kaget saat itu. Tidak seperti orang yang baru pertama bertemu, tidak ada saling berjabat tangan memperkenalkan diri. Dia berjalan, aku mengikuti dari belakang. Kami duduk di tembok pendek pembatas danau.

“Gue mau pesen kopi, lo mau apa?” Abay membuka obrolan.

“Gak usah, gue belum pengen minum apa-apa.”

Tiga menit kemudian Abay kembali dengan segelas kopi ditangannya. Ia duduk, kemudian mengeluarkan rokok dan korek dari dalam saku jaket hitamnya. Aku mencium aroma harum tubuhnya. Parfumenya aku suka, terkesan memperkuat aura misterius dalam dirinya. Abay, laki-laki berkulit putih, postur tubuhnya tinggi, berisi (dibaca gendut,hehe),hidungny amancung,rambutnya ikal dengan model tidak teratur,jambangnya panjang menyatu dengan janggut di dagunya, kumis tipis berbaris di atas bibir atasnya yang berwarna merah muda. Aku sempat merasa terkejut karena Abay tergolong perokok aktif tetapi tidak seperti perokok lainnya yang memiliki bibir kehitaman.

Setelah menyulut rokok, ia mulai bercerita tentang keluarganya, teman-temannya, dan tentang kuliahnya yang sebentar lagi selesai, hanya tinggal menunggu jadwal sidang. Aku menyimak ceritanya, ada magnet yang membuatku betah mendengarkan suaranya. Sesekali kami memutar kenangan tentang masa SMP meski kami belum saling mengenal saat itu. Beberapa pengamen silih berganti menghampiri, aku mengeluarkan koin dari dompet.

“Gak usah, ini aja.” Kata Abay sambil mengeluarkan sebatang rokok.

“Kok lo kasih rokok?” Tanyaku heran.

“Udah biasa kali.” Jawabnya santai.

Angin berdesir, malam semakin larut. Tak terasa ternyata sudah pukul 22.00.

“Udah malam, besok lo kan mesti keluar kota.” Ia mengingatkan.

“Iya, gue berangkat jam 1 siang, kerja dulu.”

“Yaudah, pulang aja yuk. Lo duluan aja, gue mau bayar kopi dulu.”

“Okey, gue duluan, Bay.”

Aku berjalan ke sisi kanan, sementara ia ke sisi kiri, membayar kopi.

Menunggu terlelap, aku mengecek HP. Ternyata ada pesan BBM dari Abay. Entah mengapa, aku tersenyum melihatnya.

Abay : “Thanks ya udah mau ketemuan. Lo gak takut sama gue? Gue

   Serem kan?”

Aku mengangkat alis kiriku ke atas. Memikirkan jawaban apa untuk pertanyaannya yang aneh.

Tammy : “Hehee, sama-sama, akhirnya ketemuan juga kita. Serem

        apaan maksud lo? Menurut gue, lo asik, childish dan gak

        kyak ekspektasi orang-orang”

Tak lama kemudian Abay membalas,

Abay : “Biasanya orang serem liat gue karena menganggap gue

   seperti monster. Sukses ya buat acara lo besok!”

Aku tak membalas. Seram? Monster? Hmm.. mungkin karena postur tubuhnya tinggi besar dan model rambutnya. Kalau dirapikan, pasti ia akan terlihat lebih tampan, umm,, sangat tampan.

***************************** bersambung ***********************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun