Mohon tunggu...
Ian Julian
Ian Julian Mohon Tunggu... Lainnya - Oye

masih senang dengan buku karena selalu ada sensasi setiap membalik lembaran kertasnya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ke Mana "Bahasa Ibu" Kita?

21 Februari 2017   17:49 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:21 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini kita memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional. Hal ini telah dikukuhkan UNESCO semenjak tahun 1999. Yang menjadi pertanyaan bukanlah, sudah tahukah bahwa hari ini adalah Hari Bahasa Ibu Internasional? Melainkan, masihkah kita menggunakan dan melestarikan bahasa ibu di Negara Indonesia ini?

Di era modern sekarang ini tidak bisa dipungkiri lagi bahwa tuntutan untuk menguasai bahasa asing itu sangat diperlukan. Dengan mahir berbahasa asing kita akan lebih mudah berkomunikasi dengan dunia internasional. Dunia kerja sekarang juga menginginkan supaya para karyawannya bisa berbahasa asing. Sekolah sekarang juga demikian, siswa yang mahir bahasa asing akan mendapat predikat siswa pandai. Namun banggakah kita jika mahir bahasa asing namun tidak fasih berbahasa Indonesia yang baik dan benar, bahkan lupa dengan bahasa daerah? Banggakah dengan anak yang mendapat nilai bagus dalam mata pelajaran asing namun nilai Bahasa Indonesia rendah bahkan mata pelajaran bahasa daerah harus mengulang karena nilainya jelek?

Dari berita pagi tadi yang disiarkan oleh salah satu stasiun TV swasta mengatakan bahwa penutur bahasa ibu di wilayah Indonesia Timur semakin berkurang. Bahkan dikhawatirkan dalam beberapa tahun berikutnya bahasa ibu tersebut bisa punah. Hal ini disebabkan karena semakin sedikitnya masyarakat yang menuturkan bahasa ibu setempat. Biasanya mereka yang menuturkan bahasa ibu ini sudah berusia lanjut. Jika mereka sudah tiada dan generasi muda sudah tidak menuturkan lagi, bukankah ini berarti punah.

Lingkungan tempat tinggal saya adalah masyarakat jawa. Saya mengamati orang tua akan berusaha supaya anaknya yang masih kecil pandai berbahasa asing, misalnya dengan mengikutkan anak khursus, membelikan buku bacaan anak berbahasa asing, maupun melantunkan lagu-lagu anak berbahasa asing. Mereka beranggapan ini adalah hal yang keren dan kekinian, bahwa anak-anak mereka mahir berbahasa asing meski usianya masih terbilang sangat muda. Dari kebiasaan orang tua tersebut akhirnya banyak anak-anak di lingkungan saya yang sudah mulai tidak paham dengan bahasa jawa, bahasa ibu mereka yang sesungguhnya. Alih-alih bahasa jawa kromo alus yang tingkatannya lebih sopan, menggunakan bahasa jawa ngoko saja yang tingkatannya biasa kadang tidak bisa atau tidak mengerti. Nilai bahasa jawa di sekolah pun ada yang lebih rendah dari bahasa asing. Sungguh memprihatinkan bahwa mereka besar di lingkungan masyarakat jawa namun tidak paham dengan bahasa jawa. Ibaratnya mereka tidur di kamar yang sama selama bertahun-tahun namun mereka tidak pernah tahu ada apa saja di kamar itu. Orang jawa mengatakan, “Wong Jawa ilang Jawane”.

Belajar bahasa ibu bukanlah hal kuno, ketinggalan zaman, tidak kekinian, atau mungkin tidak penting sama sekali. Justru dengan mempelajari kembali bahasa ibu, kita diajak untuk menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai kehidupan yang penuh dengan nasihat bijak dari nenek moyang kita. Mereka yang mengajarkan bagaimana menjalani hidup yang baik di dunia ini, bagaimana kita harus hidup menghargai sesama dan alam sekitar kita. Bukankah kitab-kitab kuno yang menyingkap kebijakan luhur nenek moyang dituturkan dalam bahasa ibu. Bahkan bahasa ibu yang lebih kuno lagi.

Mempelajari bahasa ibu otomatis juga mengajak kita mempelajari tentang kesenian asli daerah. Bahasa ibu dan kesenian daerah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bukankah menjadi sebuah kebanggaan jika kita mampu mengenalkan bahasa ibu dan kesenian daerah kita kepada dunia internasional? Bukankah lebih membanggakan lagi jika orang asing sangat berminat mempelajari bahasa ibu dan kesenian kita, sampai mereka rela tinggal bertahun-tahun di Negara kita untuk mempelajari dua hal tersebut? Namun, bukankah sangat memalukan jika mereka orang-orang asing lebih mahir berbahasa ibu dan kesenian daerah kita, tapi kita sendiri malah tidak bisa? Sekarang yang perlu menjadi refleksi bersama adalah bagaimana cara kita menumbuhkan minat dan kesenangan anak untuk berbahasa ibu? Selamat Hari Ibu Internasional kawan…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun