"Kangmas, sebaiknya kita tidak perlu ke studio foto itu. Lebih baik kita berpura-pura tidak tahu apa-apa."
"Maksudmu bagaimana?"
"Masukkan lagi foto-foto Edwige Fenech itu ke amplop, terus taruh lagi di meja teras."
"Kupikir itu tidak menyelesaikan masalah."
"Paling tidak begitulah hal terbaik yang bisa kita lakukan."
Aku melakukan saran istriku, lalu duduk diam membisu di sofa ruang tengah. Istriku masuk kamar, mungkin dia mau tidur sore itu. Sebenarnya aku ingin pergi sendiri ke studio foto itu untuk menyelidiki segala sesuatunya, tetapi rasa malas menahanku. Biarlah hal itu terjadi dan aku tidak peduli. Kalau si pengirim foto itu tahu kalau kami sama sekali tidak melakukan sesuatu pada foto itu, apa yang bakal terjadi? Itu yang kunanti.
Ponselku berbunyi nyaring. Nomor yang tidak kukenal muncul. Ini dia. Aku menjawab sambil mengaktifkan mode loudspeaker, supaya istriku di kamar bisa mendengar, itu juga kalau dia belum tidur.
"Selamat sore?" aku menyapa dengan suara kubuat seramah mungkin.
"Sartana di sini." suara di seberang begitu bariton, cenderung mengerikan. "Semestinya kau takut kepadaku."
"Aku tidak perlu takut pada siapa pun, tidak juga padamu. Intimidasimu gagal total."
"Sekali lagi kutegaskan kalau namaku Sartana. Tidak seharusnya kau melawanku." suara di seberang sekarang terdengar begitu serak.
"Aku tahu siapa itu Sartana. Dia hanya beraksi di film spaghetti western dan bukan di dunia nyata."
"Jangan pernah berpikir kalau dirimu Django." suaranya kini bariton kembali dan terdengar penuh ancaman.
"Apa maumu, Sartana?"
"Aku ingin kau dan istrimu menemuiku di studio foto sekarang."
"Kalau kami menolak?"
"Akan kukirim pasukanku untuk membungkam kau dan istrimu. Begitu yang kau mau?"
Kuputus ponselnya. Omongan sinting seperti ini tak perlu berlanjut lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H