Mohon tunggu...
Septian Dhaniar Rahman
Septian Dhaniar Rahman Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah dan Komikus

Saya lulusan Sastra Inggris dan telah menerjemahkan beberapa buku non fiksi. Selain itu, saya juga telah menerbitkan beberapa novel dan komik detektif. Kunjungi website saya juga di http://septiancomics.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hantu Hutan (Bagian 3)

14 Januari 2022   21:32 Diperbarui: 14 Januari 2022   21:38 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

TIGA

Rekan Jean-Paul bernama Timothy Suroso mengantarkan kami ke kamar Super VIP sambil mengatakan kepada kami supaya tidak khawatir tentang kualitasnya. "Kalau namanya super itu memang super, Bapak dan Ibu."

"Mas, kami hanya menginap sehari semalam saja lho ya." kataku sambil mengedipkan mata kepada istriku yang cemberut menatapku.

"Yang penting bayarannya, Pak." kata Timothy sambil menjentikkan jari. "Kita sudah sampai di kamar Super VIP."

"Terima kasih, Mas." kataku sambil tersenyum pada Timothy yang langsung menyerahkan kartu putih pipih warna jingga kepadaku.

"Selamat menikmati, Bapak dan Ibu. Kalau butuh bantuan, tinggal hubungi Timothy."

Setelah memasuki kamar Super VIP yang AC-nya menyala cukup dingin, istriku langsung melakukan pengecekan pada kamar mandi, sementara aku hanya ternganga sambil menatap lampu lilin penuh gemerlap di tengah langit-langit yang jauh tinggi sekali di atas. Seluruh ruangan warnanya jingga hingga aku memutuskan untuk mengucek mata. Untung aku ingat, cuci tangan dulu dong, Corona masih ada soalnya, meskipun aku yakin kalau Corona ada di depanku pasti akan kubuat mampus. Selain itu ruangan ini wangi sekali dengan bau apel segar. Harum dan wangi pokoknya kayak pelangi. Kenapa aku jadi melantur begini? Bagaimana dengan Om Kaftan? Aku melepaskan maskerku, demikian pula istriku berbuat serupa.

"Kamar mandi empat jempol, Kangmas." Istriku memelukku erat. "Kangmas tidak bilang mau menginap di sini tadi."

"Kejutan untukmu, Diajeng." kataku sambil mengecup bibirnya lembut. "Kita mau kerja ini dan bukan senang-senang."

"Aku tahu, Kangmas."

Tiba-tiba suara denging itu datang, begitu tinggi, begitu mencabik-cabik telinga kami. Suara denging itu berasal dari ... lemari pakaian warna pink yang berada jauh di sudut ruangan sebelah kiri.

"Suara apa itu, Kangmas?" tanya istriku khawatir.

"Mari kita selidiki." kataku sambil berjalan cepat menuju lemari. "Kau bersantai dulu saja di sofa, Diajeng."

Pintu lemari pakaian yang jaraknya hanya tiga meter dariku mendadak terbuka lebar. Aku menghentikan langkahku, sementara istriku berdiri siaga.

Si Jubah Hitam keluar dari lemari sambil tertawa meremehkan, lalu berkacak pinggang. "Datang juga kau berdua!" suaranya menggelegar menakutkan mirip Darth Vader, meskipun dari penampilan mirip dengan sang pembunuh dari film-film giallo Italia karya Mario Bava dan Dario Argento. "Kau berdua takkan keluar dari sini hidup-hidup! Calon korbanku ke-101 dan 102!"

"Calon korban?" tanyaku tidak paham sementara kedua kepalan tanganku mengeras siap bertarung apapun yang terjadi.

"Kau berdua mau kubunuh sekarang atau nanti?" Si Jubah Hitam memberikan penawaran sambil tertawa lagi. "Jangan harap bisa kabur. Hotel ini milikku. Semua karyawanku di sini siap membantuku menghabisi kau berdua."

"Aku hanya tidak paham dengan angka yang kau sebutkan tadi. 101 dan 102?"

"Kau berdua semestinya mendengarkan ceramahku dulu sebelum kubunuh ya? Sebuah pengecualian yang manis rupanya. Silahkan duduk dulu di sofa kalau begitu. Istrimu itu cantik juga rupanya."

"Tidak perlu memuji istriku." Aku memberi isyarat kepada istriku supaya duduk di sofa, sementara aku berjalan menyusulnya.

Setelah kami berdua duduk di sofa, Si Jubah Hitam duduk bersila di hadapan kami. Jarak kami bertiga kini sekitar lima meter. Sekali lagi Si Jubah Hitam tertawa sambil menepuk-nepuk lantai. "Ini isyarat bagi seluruh karyawanku agar mereka bersiaga sepenuhnya. Sekali lagi kutegaskan bahwa kau berdua takkan bisa kabur. Tidak bosan-bosannya aku berkata begitu. Seratus orang korbanku sebelumnya juga kubunuh seluruhnya di tempat ini. Paham?"

Aku dan istriku menggeleng pelan. Kami seperti terhipnotis omongan Si Jubah Hitam. Jadi begini rasanya tidak berdaya. Baru kali ini kami merasakan hal yang seperti ini semenjak pandemi Covid-19 melanda awal tahun 2020 lalu.

"Rupanya kau berdua lesu juga akibat pandemi ini?" tanya Si Jubah Hitam sambil bertepuk tangan begitu bahagia. "Tidak sia-sia rupanya usahaku mengawalinya karena aku orang yang pertama kali membawa virus ini kemari. Lebih baik aku mengakui saja. Apa salahnya? Apalagi setelah ini, kau berdua juga bakal kubunuh. Kubeberkan saja terus terang."

Istriku mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. "Bagaimana kalau kami yang bertanya dan anda yang menjawab?"

Si Jubah Hitam bersiul pendek. "Bravo! Mulai saja kalau begitu."

Aku mengubah posisi duduk supaya lebih santai di pojok kiri, sementara istriku juga menjauhiku dan duduk santai pula di pojok kanan. Kukedipkan mata pada istriku, dia tersenyum sekilas lalu cemberut lagi dan mulai bertanya pada Si Jubah Hitam.

"Anda berasal dari neraka rupanya?" istriku menselonjorkan kedua kakinya di lantai.

"Itu tujuanku, Cantik." kata Si Jubah Hitam dengan suara yang kini berubah mirip dengan Bugs Bunny. Kok bisa ya?

"Sudah kukatakan jangan memuji istriku."

"Aku yang berkuasa di sini, Botak!" hardik Si Jubah Hitam sambil mengepalkan tinju kanannya kepadaku. Suaranya kini berubah balik lagi jadi Darth Vader. "Kau kupanggil Botak dan istri kau kupanggil Cantik!"

"Terserah anda." kata istriku sambil mengerling manja kepadaku, lalu berbisik. "Sabar, Kangmas."

Kepalan tanganku yang kanan makin mengeras, yang kiri makin melunak. Kenapa ini?

"Giliranku yang bertanya sekarang." Suaraku serak padahal aku tidak batuk. "Kenapa Polisi tidak menangkapmu?"

"Polisi hanya macan ompong bagiku. Mereka takkan bisa menangkapku."

"Di mana Kaftan Karamba sekarang?"

"Aku tidak tahu apa maksudmu, Botak. Lebih baik kau diam dan biar istrimu yang bicara. Cantik, mau tanya apa kau padaku?"

"Mengapa anda tidak membuka jubah dan topeng anda itu supaya kami bisa tahu siapa anda sebenarnya?"

Si Jubah Hitam tertawa terbahak-bahak sampai terjengkang, beberapa detik kemudian tawanya lenyap dan dia duduk bersila kembali. "Aku bersedia melakukannya dengan satu syarat kau berdua harus lepas baju sampai polos."

"Anda murahan sekali rupanya ya? Baik kalau begitu anda tidak perlu melepas jubah dan topeng anda. Saya ada pertanyaan lagi. Saya yakin jubah dan topeng anda itu terinspirasi dari film-film misteri dari Italia. Betul atau Salah?"

Si Jubah Hitam tidak menjawab, hanya mengangguk satu kali, pelan lagi. Keparat memang.

"Mario Bava sangat jenius." begitu kata Si Jubah Hitam pada akhirnya, itu pun dengan nada suara yang sangat kukenali. Suara Om Kaftan.

"Kangmas," kata istriku dengan muka pucat. "Kenapa suaranya mirip Om Kaftan?"

"Ini yang aneh." aku memandang istriku berupaya menenangkan. "Kupikir dia bukan Om Kaftan. Dia orang lain yang pandai menirukan suara. Mungkin dia aktor."

"Kau berdua bicara sendiri!" Si Jubah Hitam membentak dengan suara mirip Darth Vader kembali. Sialan juga orang ini. Siapapun dia, bakal kuhajar tanpa ampun. "Kalau kau berdua ingin tahu siapa aku, coba serang aku dan buka jubahku ini kalau bisa!"

Istriku mencegahku maju menyerang. Sebenarnya dengan jarak hanya lima meter, mudah saja aku mengalahkan Si Jubah Hitam yang menyebalkan ini.

"Kau tidak berani menyerangku, Botak? Bikin malu saja. Wajah kau mirip Yul Brynner tapi nyali kau kayak Road Runner."

"Siapa sebenarnya anda ini?" istriku bertanya begitu sambil menyilangkan kaki. "Kenapa anda belum tertangkap juga padahal korban anda sudah mencapai ... 100 orang?"

"Pertanyaan bagus, Cantik. Kenapa aku belum tertangkap? Karena para polisi tidak menganggapku seorang pembunuh. 100 orang yang kubunuh mati dengan sebab natural, tidak tampak kalau mereka kubunuh. Demikian penjelasanku."

"Apa tidak ada pihak keluarga dari mereka yang protes?"

"Tidak, Cantik. Itu karena aku terlalu pintar membunuh sehingga 100 orang korbanku itu tidak tampak kalau kubunuh. Aku mempelajari kelemahan demi kelemahan seratus orang itu sehingga mudah sekali tindakanku ini."

"Anda jenius rupanya."

"Jangan memujiku begitu, Cantik."

Aku mulai mengantuk sekarang, tidak tahu jam berapa mungkin sudah lewat tengah malam. Tanpa bisa kutahan, aku menguap lebar dengan suara keras sehingga Si Jubah Hitam tertawa terpingkal-pingkal sampai bergulingan di lantai.

"Waktunya tidur, Botak?" Si Jubah Hitam mengejekku dengan suara mirip si burung kuning imut Tweety. "Cantik, kau tiduri itu suami kau di sofa sekarang juga."

"Kalau mengantuk tidur saja, Kangmas. Biar kulayani begundal ini."

"Aku tidak rela kau menghadapi kunyuk ini sendirian. Bagaimanapun juga kita harus bersama-sama melawan, tidak bisa satu-satu. Empat tinju tangan lebih baik daripada dua."

"Kau berdua memang tidak boleh mengantuk jika bicara denganku karena aku sebelum membunuh kau berdua akan bercerita mengenai kehebatanku membunuh seratus orang korbanku. Siap mendengar penjelasan panjang lebar dariku? Nah begini saja." Si Jubah Hitam kini kembali bersuara mirip Om Kaftan. "Para korbanku ini kubunuh dalam kurun waktu sepuluh tahun dari tahun 2010 sampai tahun 2020. Setiap tahun antara bulan Januari sampai bulan Oktober, aku membunuh sepuluh orang, artinya tiap satu bulan, aku membunuh satu orang. Sampai di sini jelas?"

"PREKSU!!!" teriakku melawan kantuk.

"Botak, kalau kau kelaparan nanti kupesankan Ayam Geprek dan Susu Coklat."

Aku bersin sekeras mungkin sampai roboh di lantai. Bangkit berdiri, menguap lebar, lalu jatuh terduduk di sofa. Aku menguap lagi. Istriku memandangku sangat prihatin atau entah bagaimana dia memandangku. Pokoknya ini sangat di luar dugaanku. Aku sungguh tidak berdaya dan merasa putus asa melawan Si Jubah Hitam yang tampaknya mengerti betul kelemahanku akan rasa kantuk, lalu tubuhku bergetar hebat.

"KANGMAS!"

Hitam kelam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun