"HANTU HUTAN"
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Ini rumit sekali menurutku. Terus terang aku sudah agak mengantuk, tapi demi Om Kaftan, tampaknya akan kuberanikan diriku menyetir. Modal nekat ini namanya.
"Siapa yang telepon, Kangmas?" suara merdu itu membuatku terhenyak. Suara istriku selama delapan tahun ini tentunya.
"Om Kaftan meminta kita ke rumahnya sekarang ini juga."
"Tidak masalah sebenarnya. Kangmas tahu rumahnya tidak?"
Aku menggeleng pelan. Om Kaftan terakhir tinggal di Cibubur lima tahun lalu, tapi sekarang sudah pindah entah ke mana.
"Kalau begitu tunda dulu saja. Bagaimana kalau besok pagi?"
"Rasanya aneh. Ini pertama kali kita tidak langsung mengiyakan permintaan Om Kaftan."
"Di tengah pandemi Covid-19 seperti ini, situasi memang sangat rumit, Kangmas."
"Diajeng, tadi aku mendengar suara jeritan Om Kaftan. Aku takut terjadi apa-apa." Aku memperlihatkan pesan whatsapp pada istriku yang memekik tertahan.
"Kangmas, ini gawat. Kita ... harus ke sana sekarang. Kalau Kangmas mengantuk, biar aku saja yang menyetir."