Heboh pemberitaan seorang guru yang dilaporkan anak didiknya sendiri karena dituduh mencubit dan menganiaya menjadi rival sosmed beberapa pekan ini. Cerita serupa tempo waktu sudah saya tulis dengan judul Saat Guru dilarang Marah. Ternyata belum berakhir rentetan peristiwa yang menguras habis nalar sehat kita.Â
Generasi sekarang sedang terjangkit virus manja yang akut, sedikit dikit ngeluh, marah, mutung, lapor orang tua, ujungnya lapor polisi dengan mengesampingkan dan melupakan jasa guru. Seakan sudah melupakan adab yang baik memperlakukan orang yang punya wewenang besar untuk mendidik anak kita di sekolah.Â
Guru bukan sekedar pengajar saja, tetapi punya kewajiban mendidik yang juga sama dengan posisi kita dirumah. Ibaratnya guru itu adalah pengganti orang tua untuk anak kita di sekolah. Bukan sebaliknya orang tua dan siswa menghina bahkan merendahkan posisi guru dengan terus latah melakukan tindakan melaporkan ke polisi hanya karena anaknya dianggap diperlakukan tidak baik di sekolah.
Memasuki era sekarang JENIS penyakit baru banyak ditemukan, tidak hanya jenis penyakit yang menyerang fisik saja tetapi juga penyakit jiwa yang merubah tatanan dan pola pikir masyarakat kita. Menurut saya ini jauh lebih berbahaya dan mengerikan efeknya. Lihat saja bagaimana sekarang orang dengan mudah melakukan tindakan yang kadang diluar batas akal sehat manusia, banyak kasus bunuh diri, kasus kriminal pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, perampasan, penipuan dan kasus lainnya.Â
Termasuk kasus yang semakin banyak terjadi menimpa dunia pendidikan kita. Bencana besar saat guru sebagai ujung tombak pendidikan kita nasibnya semakin memprihatinkan, karena berada dititik nadir profesionalismenya. Tidak lagi guru memilki kebebebasan luas untuk mewujudkan generasi terdidik yang beradab dan beretika.
Saat ini posisi guru menjadi bulan-bulanan orang tua siswa yang seharusnya menjadi patner hebat dalam mendidik anak mereka. Karena tidak mungkin orang tua dapat mendidik sempurna tanpa peran guru disekolah. Atau sebaliknya tidak mungkin guru dapat mendidik siswanya disekolah tanpa support dan kerjasama yang baik dari orang tua mereka.Â
Seperti yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara tentang Tri Pusat Pendidikan, bahwa pendidikan terwujud dari kerjasama yang baik antar tiga lingkungan pendidikan dari keluarga (orang tua), sekolah dan masyarkat. Ketiga lingkungan pendidikan ini harusnya saling bahu membahu untuk bersama mendidik generasi penerus bangsa yang baik.
Kasus guru yang dilaporkan di Sidoarjo itu  meninggalkan cerita mengharukan tentang kesejawatan, perasaan senasib dan sepenanggungan bahwa mereka adalah pejuang-pejuang pendidikan yang harus dihormati dan dijaga Izzah atau harga dirinya. bukan sebaliknya menjadi orang yang merasa terancam ketika mereka menjalankan kewajiban mereka untuk mengajar sekaligus mendidik siswa.Â
Efek kasus guru dilaporkan akan sangat banyak, guru menjadi ekstra hati-hati dalam mengajar, guru akan berfikir ulang untuk menegur siswa yang memang kurang ajar, atau parahnya guru akan sangat cuek dan melakukan pembiaran saat ada siswanya melakukan hal yang kurang baik karena tidak ingin terkena masalah. Pengalaman ketika saya mendampingi mahasiswa saya melakukan observasi budaya sekolah dibeberapa sekolah berbeda mendapati bahwa kenyataan ini sudah mulai muncul dan terjadi.
Disalah satu sekolah swasta setingkat SMP dimana input siswa yang masuk dalam sekolah ini berasal dari kalangan menengah kebawah dengan kemampuan akademik yang juga pas-pasan (keterangan dari kepala sekolahnya) membuat pola pergaulan dan adab beretika siswa-siswanya sangat berbeda dan memprihatinkan, guru kelas yang mengajar lebih cenderung melakukan pembiaran saat siswanya ramai sendiri, mondar mandir dikelas, nyletuk hal-hal yang kurang sopan dan sebagainya.Â
Guru terus saja mengajar tanpa peduli siswanya paham atau tidak. hal ini banyak terjadi dilapangan, beberapa rekan guru juga bercerita kalo mereka sangat hati-hati dalam menegur siswanya yang melanggar aturan, ada rasa takut yang besar dirasakan rekan saya tersebut, takut dilaporkan dan dipenjara. Sehingga bisa dipastikan proses pembelajaran disekolah tidak berjalan dengan semestinya, hanya formalitas saja guru memenuhi kewajiban mengajar tanpa menyelipkan essensi sebenarnya yaitu mendidik siswa untuk menjadi manusia-manusia yang bermoral dan berbudaya.
Untuk itu catatan bagi orang tua, anak-anak kita sedang berada di era yang berbeda,pola pikir dan lingkungan mereka pun sangat berbeda dengan keadaan kita dulu. Anak sekarang sangat mudah mengakses informasi baru melalui kemudahan teknologi. Pengaruh baik dan buruk akan sangat mudah menjangkit anak-anak kita.Â
Budaya komunikasi mereka pun sudah jauh dari kita dulu, banyak yang berani berbicara mengungkapkan pendapat, kritis, tanpa malu-malu. Sebagai orang tua tentu kewajiban kita untuk mengarahkan mereka agar tidak kebablasan saat bersikap, berbicara, dan berkomunikasi dengan orang di sekelilingnya. Bukan malah ikut memanjakan dan membiarkan anak kita terhanyut dalam kekurangajaran yang baginya adalah kebanggaan.
Orang tua harus segera menyadari bahwa anak-anaknya butuh sosok teladan yang baik, dan semua itu berasal dari keluarga sebagai tempat pertama anak mendapatkan pendidikan. Bukan malah sebaliknya orang tua ikut terhanyut dan terjangkit virus manja yang sedang menerpa generasi Indonesia. Semoga akan ada formula tepat untuk mengatasi situasi yang mengerikan ini, akan ada solusi tepat untuk mengembalikan wibawa guru dihadapan siswanya, mengembalikan posisi guru sebagai seorang yang di Gugu dan di Tiru.
Semoga
Salam hangat
Septi Ambar
Pendidik Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H