Mohon tunggu...
septiambar
septiambar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penggiat Parenting dan Pekerja Sosial

Penulis, Penggiat Parenting dan Pekerja sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Guru Dilarang Marah

24 Mei 2016   12:10 Diperbarui: 24 Mei 2016   22:10 1609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat saya duduk di bangku sekolah dulu banyak sekali kenangan indah yang saya ingat hingga hari ini, salah satunya kenangan saya akan keberadaan guru-guru yang mengajar saya baik di SD, SMP, dan SMA. Ada beragam guru yang unik dan berciri khas, ada yang super lembut, baik, dan perhatian tak jarang juga guru yang galak dan tegas.

Semua kenangan itu tersimpan baik di memory otak saya. Era saya menapaki bangku sekolah masih tergolong baik, indikator tentang kategori baik contohnya terjalin komunikasi yang baik antara siswa dan guru, guru dengan orang tua, dan guru dengan masyarakat. Siswa dan guru meskipun akrab tetapi ada batasannya, ada sifat malu dan sungkan siswa terhadap gurunya serta rasa hormat siswa terhadap pendidiknya. 

Suasana sekolah sangat kondusif karena terbangun komunikasi yang baik antar warga sekolah, sangat sedikit kasus yang menghebohkan seperti beberapa waktu belakangan ini.

Kasus yang menimpa guru di Indonesia adalah satu bentuk permasalah pendidikan yang juga menjadi perhatian, bagaimana tidak menurut cerita mulai kurun waktu 12 tahun belakangan ini sejak era reformasi kita masuki banyak kasus yang menimpa guru-guru kita diseluruh Indonesia. Banyak guru yang terkena kasus beranah hukum, baik hukum pidana dan perdata.

Guru banyak yang dituntut, guru banyak yang dilaporkan dan guru banyak yang melakukan tindakan yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang guru. Fenomena gunung es ini seperti booming didukung maraknya penggunaan sosial media yang memfasilitasi beragam berita tanpa sensor dan filter terkait dengan permasalahan yang menimpa guru di seluruh Indonesia.

Seperti baru-baru ini kasus guru yang harus dipenjara karena dilaporkan oleh orang tua murid karena guru diduga mencubit anaknya, padahal guru sudah memasuki usia lanjut. Belum lagi kasus lainnya yang juga dilatar belakangi oleh tindakan guru yang dianggap diluar batas menurut kacamata orang tua siswa, contohnya guru dilaporkan karena memukul siswa dengan sajadah, guru dilaporkan karena memaksa membuka baju yang tidak sesuai aturan, guru dilaporkan karena memotong rambut siswa karena sudah terlalu panjang.

Bukankah hal-hal tersebut yang saya sampaikan adalah bentuk tindakan dalam upaya mendidik siswa, tetapi bisa menjadi hal serius ketika kemudian pihak siswa merasa tidak terima dengan perlakuan guru tersebut. Pemandangan yang unik dan menarik untuk kita kaji.

Pergeseran Budaya Malu dan Segan

Guru adalah profesi mulia yang memiliki peran penting dalam pembentukan karakter siswa disekolah, guru juga adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan. guru yang secara langsung berhadapan dengan siswa, dimana siswa adalah pembelajar yang beragam. Memiliki karakter dan watak yang bermacam-macam, siswa berasal dari keluarga yang berbeda.

Tentu dalam menjalankan tugasnya sehari-hari guru menghadapi tantangan yang banyak, semisal harus memenuhi tugas  administrasi sekolah, dimana guru juga dituntut memiliki kompetensi yang mumpuni, kompetensi sosial,kompetensi pedagogik, kompetensi profesional sebagai syarat berkualitas tidaknya seorang guru.

Kehidupan guru sebenarnya beberapa tahun ini sejak diberlakukannya aturan tentang sertifikasi sudah mulai membaik. Berbeda dengan guru jaman umar bakrie dulu dimana guru hanya sebagai masyarakat strata rendah dan sering disebut sebagai pahlawan tanda jasa. Meski secara materi guru jauh dari cukup tetapi keberadaan disekolah dan masyarakat profesi guru jaman dulu sangat terhormat dan disegani. Guru selalu menjadi orang penting di tengah kehidupan bermasyarkat.

Guru dianggap sebagai teladan yang patut dicontoh. Tetapi sepertinya meningkatnya taraf kehidupan guru sekarang tidak sejalan dengan produk pendidikan sekarang. Lihat saja bagaimana kelakuan siswa sekarang, beralasan kebebasan dan kritis kadang siswa melupakan etika yang seharusnya dijaga saat berkomunikasi dengan guru.

Memang benar kurikulum terakhir menganjurkan bahwa Stundent Centre Learning harus diterapkan. Siswa sebagai centredalam pembelajaran, siswa sebagai pusat belajar, sedangkan peran guru lebih banyak sebagai fasilitator, mediator dan organisator saja, hal ini menimbulkan polemik baru seputar cara komunikasi siswa dan gurunya.

Banyak siswa yang vokal dalam pembelajaran tetapi kurang memperhatikan sopan santun berbicara, budaya malu dan segan pada diri siswa terhadap gurunya seolah terkikis. Siswa cenderung kurang sopan dan seenaknya, bahkan banyak siswa yang melakukan tindakan yang kadang melecehkan guru, atau mengumbar kata-kata yang tidak pantas didepan guru. Siswa tidak merasa malu dan bersalah, mereka justru kadang merasa bangga dan merasa hebat karena sudah berani dengan gurunya.

Tak ayal kelakuan siswa ini kadang membuat guru jengah dan lelah, karena guru juga manusia biasa yang kadang memiliki masalah keluarga dan masalah-masalah kehidupan yang lain. Ada kalannya guru lelah, guru sedih, guru marah, dan guru tidak bisa mentolerir kelakuan siswa yang kadang memerahkan telinga. Pernahkan orang tua siswa berfikir hal ini?

Melihat Masalah Dari Sudut Pandang Lain

Kasus guru yang dipidanakan oleh orang tua siswa sebenarnya tidak sepenuhnya salah jika dipandang dari sudut pandang kita sebagai orang tua. Tapi pernahkan kita mencoba melihat masalah yang sama dari sudut pandang guru? Saat peristiwa terjadi sebenarnya bagaimana kronologinya? Semisal kasus guru yang dilaporkan oleh orang tua siswa hanya karena guru memotong rambut anaknya.

Nalarnya sebagai orang tua seharusnya berfikir bahwa kenapa bisa terjadi peristiwa pemotongan rambut itu. Setiap sekolah tentu berlaku aturan yang harus dijalankan oleh semua warga sekolah baik guru, karyawan TU, maupun siswa. Aturan itu harus ditegakan supaya proses pembelajaran dan proses pendidikan di sekolah berjalan lancar dan kondusif. 

Guru memotong rambut siswanya karena dianggap siswa tersebut sudah melanggar peraturan sekolah, dimana hampir sebagian sekolah negeri memberlakukan aturan bahwa siswa harus rapi dan tidak gondrong. Meskipun ada beberapa sekolah yang memiliki peraturan yang berbeda. Sebagai anak seharusnya ini menjadi peringatan untuknya bahwa di sekolah itu aturan tentang rambut ada dan harus dijalankan. Sudah sewajarnya seorang guru yang mengemban amanah besar harus menegakan aturan yang tegas dalam upaya mendidik siswa untuk disiplin.

Atau kasus yang lain, cobalah sebagai orang tua seharusnya kita tidak langsung bereaksi berlebihan dengan laporan anak ketika diperlakukan tidak baik disekolah. Lihat dulu apa yang terjadi, bisa jadi anak kita sendiri sebagai biang masalah, tidak bisa diatur dan sering melanggar aturan sekolah. Atau anak kita melakukan tindakan diluar batas wajar seperti mengumpat, menghina guru, dan membuat gaduh sekolah sehingga guru tersinggung. Sebagai orang tua seharusnya bisa bersikap bijaksana dalam menghadapi masalah, lebih sabar dan objektif. 

Semua tindakan orang tua cerminan bagi perkembagan anak nantinya. Seandainya kita sebagai orang tua tiba-tiba mendapatkan laporan anak tentang perlakuan guru terhadapnya tidak langsung bereaksi berlebihan termasuk melaporkan guru ke ranah hukum. Cobalah untuk menyelesaikan dengan baik, mencari tahu dan konfirmasi tentang kebenaran peristiwa itu. Cobalah untuk melihat dari sudut pandang lain.

Mungkin berbeda kasus jika memang tindakan guru tidak ada pemicunya, tindakan guru yang seenaknya, tindakan guru yang memang melanggar etika dan moral karena murni niat gurunya berbuat sesuatu yang menyalahi aturan. Boleh saja membawanya ke ranah hukum tentu dengan melalui proses yang jelas dan objektif.

Menjadi guru itu sulit apalagi di era sekarang, tuntutan guru yang sangat banyak terkait administrasi pembelajaran, beban mengajar dan beban terpenuhinya syarat mendapatkan tunjangan sertifikasi. Belum lagi guru sebagai anggota keluarga, guru sebagai warga masyarakat, dan guru sebagai warga negara Indonesia, guru memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dan dijalankan dengan sebaik-baiknya.

Guru adalah profesi mulia, di tangan guru masa depan pendidikan Indonesia ditentukan. Jika semakin banyak guru yang mulai kehilangan tujuan, banyak guru yang mulai ketakutan masuk bui, banyak guru yang hanya memenuhi syarat administrasi saja sudah pasti dipastikan masa depan pendidikan Indonesia akan semakin jatuh dan tertinggal.

Guru juga manusia.

Semoga nasib guru di Indonesia kembali ke masa kejayaan dulu, saat siswanya dengan santun menyambutnya di gerbang sekolah dengan ciuman hangat ditangannya, kebaikan siswa membawakan tas dan bawaan ke ruangannya sebagai bentuk penghormatan kepada gurunya, atau tekad siswa untuk berubah saat guru dengan tegas menegurnya. Menganggapnya sebagai teguran dan cambuk untuk membuat diri siswa menjadi manusia yang berpendidikan dan beradab, bukan sebagai manusia bodoh dan tak beretika...

Salam hangat

Septi Ambar

Guru Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun